in

Antara Bahagia dan Sejahtera

Prof Dr Masrukhi MPd

Oleh Prof. Dr. Masrukhi, M.Pd, Guru Besar PKn Unnes, Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang

DALAM sebuah perbincangan silaturahmi, KH Musman Tholib, salah seorang ulama senior di Jawa Tengah, mengemukakan tiga terminologi bahagia yang terdapat dalam Al Qur’an. Tiga terminologi itu adalah alfalah, al faizun, dan  al farah, yang disebut secaraberuang-ulang. Tiga terminologi tersebut muncul ketika perbincangan mengarah pada hakekat kehidupan, apa sebenarnya  yang hendak dicari dalam kehidupan ini. Kendatipun diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan arti yang sama, yaitu bahagia, akan tetapi ketiganya memiliki makna yang berbeda.

Bahagia, sebuah kata yang menjadi cita-cita hidup semua orang, berarti keadaan atau perasaan senang dan tenteram serta bebas dari segala yang dirasa menyusahkan. Oleh karena itu bahagia merupakan kondisi perasaan di mana seseorang terbebas dari segala beban yang menganggu perasaannya, baik lahir maupun batin. Biasanya kondisi bahagia itu terjadi karena usaha yang dilakukannya memperoleh kesuksesan. Atau bahagia pun dapat diperoleh karena keberuntungan yang diperoleh tanpa diduga-duga.

Kata Alfalah disebutkan di dalam Al Qur’an sebanyak 40 kali, sudah tentu dengan berbagai derivasinya, dan ada yang dalam bentuk nomina (ishim), ada pula yang berbentuk verba (fi’il). Kata Al falah ini bermakna kemakmuran, kesuksesan atas pencapaian prestasi dari apa yang selama ini diusahakan. Sehingga orang tersebut merasa merasa senang dan bahagia, menimati ketenteraman dan ketenangan, sebuah gambaran kehidupan yang penuh keberkahan yang secara terus menerus dan berkelanjutan. Inilah prestasi kehidupan yang sebenarnya ; dia sukses sekali gus bahagia.

Sedangkan kata  ‘al faizun’ yang disebutkan di dalam Al Qur’an sebanyak 4 kali, menggambarkan kehidupan para penghuni syurga, yang dikatakan sebagai orang-orang yanng beruntung. Mufassir Ibnu Katsir memaknainya sebagai orang-orang yang beriman yang selamat dari azab Allah. Kebalikan dari kata ‘al faizun’ ini adalah al khosirun yaitu orang-oranng yang merugi. Syaukani memberikan makna terhadap kata ini sebagai orang-orang yang memenangkan apa saja yang diinginkan dan selamat dari segala hal keburukan.

Kalau melihat konteks surat Al Hasyr  dijelaskan bahwa al faizun itu pemenang kehidupan yang sesungguhnya di masa depan, yaitu menjadi penghuni syurga.  Pemenang sejati adalah kehidupan di syurga, meskipun selama hidup di dunia dia mengalami kekalahan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti kekuasaan, kekayaan, politik, ekonomi, dan sebagainya.

Tidak akan sama antara penghuni neraka dan penghuni syurga. Penghuni syurga itulah oranng-orang yang beruntung”.  Dalam konteks kehidupan di dunia al faizun ini menunjukan orang yang bahagia meskipun tidak sukses.

Terminologi ketiga adalah al-farah, yangberarti juga bahagia. Di dalam al-Qur’an, kata al-farah terdapat pada 22 ayat dengan derivasi yang beragam. Adapun ragam derivasi kata al-farah yang terdapat dalam al-Qur’an adalah fariha, farihū, yafrahu, yafrahū, yafrahūna, tafrahu, tafrahū, tafrahūna, farihun, farihūna, dan farihīn.

Adalah mufassir Rasyid Ridha mengungkapkan bahwa al-farah ialah perasaan senang dan gembira dalam jiwa. Menurutnya kata ini satu makna dengan kata al-surur (bahagia, sukacita), yaitu sebuah perasaan di dalam hati disebabkan karena nikmat, baik yang terlihat atau tidak, yang dapat mengenakkan hati dan melapangkan dada. Kata alfarah, di dalam beberapa ayat Al Qur’an pun ada yang memiliki makna negatif. Hal ini seperti terlihat dalam firman Allah: “innallaha lā yuhibbu al-farihīn”  yang artinya

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri” (QS, 28:76).  dan firman Allah Swt: “innahuu lafarihun fakhuur” yang berarti  “sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga’. (QS, 11:10). Al farah ini berarti kebahagiaan yang berlebihan sehinggaa berkecenderungan mendekati pada sifat membanggakan diri. Oleh karenanya kebahagiaan yang diperolehnya tidak menemukan maknanya yang hakiki.

Pada saat membanggakan diri pada saat itu pula mengharapkan orang lain mengakui dan memujinya. Ketika kemudian oranng lain tidak mau melakukan itu, kebahagiaan itu pun akan sirna. Oleh karena itu pada terminologi al farah ini, kerapkali dimaknai mencapai kesuksesan akan tetapi tidak memperoleh kebahagiaan. 

Saya jadi teringat perbincanngan saya dengan seorang sahabat yang kebetulan sedang menjadi pejabat. Dia kebetulan menjadi pejabat eselon dua di pemerintahan, sebuah jabatan yang cukup prestisius dalam jajaran birokrasi pemerintaahan. Sebagai seorang pejabat pastilah semua orang mengenalinya dan menghormatinya. Sebagai sahabat, saya pun sangat mengagumi dan menghormatinya, atas prestasi kerja yang diraihnya. Akan tetapi saya sempat kaget, ketika dalam sebuah pembicaraan dari hati ke hati, dia menyatakan kegelisahannya dan kecemasannya.

Dia merasa diasingkan dan disingkirkan atasannya, kerapkali tidak diajak bicara untuk pengambilan sebuah keputusan penting kendatipun menyangkut bidang pekerjaan yang ditanganinya. Dalam kesempatan lain pun kerapkali pula merasa dilangkahi oleh bawahannya ketika akan berdiskusi dengan atasannya itu. Dia bahkan seringkali merasa sakit hati dengan teman-teman di lingkungaan pekerjaannya. Maka meskipun penghasilan besar, fasilitas tercukupi, posisi terhormat, ada sopir pribadi sebagai fasilitas negara sebagai konsekuensi dari jabatannya itu, akan tetapi hari-harinya terisi dengan kesedihan, sakit hati, kecemasan, kekecewaan, dan sejenisnya.

Di kantor fasilitas lengkap, di rumah peralatan mewah, masyarakat sekelilingnya pun begitu sangat menghormatinya, akan tetapi sahabat saya ini tidak memperoleh kebahagiaan. Dia hidup dengan sangat sejahtera, akan tetapi sama sekali tidak memperoleh kebahagiaan.

Paradoks dengan kisah sahabat saya di atas, ada kisah lain tentag seorang tetangga, yang hidupnya sangatlah sederhana. Rumahnya sederhana, fasilitaspun seadanya. Orang sekitar  tidak terlalu mengenal karena dia dianggap tidak memiliki prestasi di tengah masyarakatnya. Akan tetapi dia hidup degan sangat bahagia dengan keluarganya. Kerapkali dia berceritera membanggakan isterinya yang setia, anak-anaknya yang baik. Dia terlihat sangat mensyukuri nikmat kehidupan yang dianugerahkan Tuhan pada diri dan keluarganya. Inilah potret orang yang bahagia meskipun tidak sejahtera.

Dalam ajaran Islam, kita diperintahkan untuk menggapai keduanya secara paralel, yaitu kebahagiaan yang sejahtera, sekaligus kesejahteraan yang membahagiakan. Hal ini akan tercapai manakala upaya untuk memperolehnya dilakukan dengan cara-cara yang benar, dan setelah tercapai pun diperuntukan pada hal-hal yang benar, dalam parameter Agama Islam. Prestasi inilah yang disebut dengan al falah.    

Written by Jatengdaily.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Kota Semarang Raih Prestasi Kinerja Tertinggi

3 KPPS dan 1 Linmas di Demak Meninggal saat Bertugas