Oleh Prof Dr H Ahmad Rofiq MA, Wakil Ketua Umum MUI Jateng
Rasulullah Muhammad saw menerima wahyu pertama 17 Ramadhan. Inilah awal penugasan pertama sebagai utusan. Jika Nabi adalah manusia pilihan yang tidak ada kewajiban menyampaikan kepada orang lain, maka sebagai Rasulullah saw, beliau berkewajiban untuk menyampaikan kepada orang lain. Membayangkan betapa sulitnya beliau meyakinkan orang-orang di sekitarnya, bahwa beliau telah menerima wahyu di Gua Hira’ Jabal Nur, tentang perintah membaca (iqra’). Berawal dari “Gunung Cahaya” ajaran Islam menerangi dunia.
Wahyu pertama tersebut, menegaskan dasar atau fondasi utama bagi kehidupan manusia adalah “membaca yang dilandasi fondasi keimanan kepada Tuhan Dzat Menciptakan. Perintah membaca diulang dua kali, dengan penegasan teologis bahwa Allah, Tuhan kita, adalah yang paling mulia. Allahlah yang mengajarkan (memberikan ilmu pengetahuan) dengan perantaraan Qalam – yang secara harfiah diartikan pena – semua ilmu yang semula tidak diketahuinya sama sekali” (QS. Al-‘Alaq 1-5).
Membaca dalam arti bacaan teks yang kasat mata, baik ayat-ayat Qur’aniyah maupun ayat-ayat kauniyah (semesta alam) yang kasat mata. Kalam (Firman) Allah yang membacanya adalah ibadah (al-muta’abbad bi tilawatih) dan “teks-teks” alam semesta. Membaca teks yang tampak, dan membaca beyond the tex artinya filosofi, pesan, maksud, dan tujuan apa di balik karya penciptaan Yang Maha Mencipta. Karena itu Al-Qur’an, menurut para Ulama, disebut sebagai bacaan untuk semua jenjang umur. Rasulullah saw menerima wahyu pertama disepakati para Ulama, tanggal 17 Ramadhan, yang disebut nuzul al-Qur’an atau “turunnya Al-Qur’an”, yang karena itu bulan Ramadhan dijadikan momentum bulan tadarrus (membaca, memahami makna dan pesan, dan mengamalkannya).
Bulan Rabi’ul Awwal Bagi sebagian masyarakat pengagum dan pencinta Rasulullah saw, bulan Rabi’ul Awwal adalah momentum untuk membaca, menghayati, dan merenungkan Tarikh atau sejarah hidup dan perjuangan Beliau. Banyak Ulama menuliskan sejarah hidup Rasulullah saw. Yang dibaca dan dilagukan dalam tradisi budaya religi Maulid ad-Diba’iy (Jawa Diba’an) yang ditulis oleh Imam ‘Abd al-Rahman al-Diba’’, ada Maulid Simthu al-Durar fi Akhbaar Khairi al-Basyar (Tali yang Bermutiara tentang Berita Sebaik-baik Manusia) karya Al-‘Arif bi Allah ‘Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi, ada juga Maulid al-Barzanjy Natsar wa Nadhaman, biasanya diterbitkan dalam Kumpulan Kelahiran Sempurnanya Manusia, karya Sayyid Ja’far bin Hasan bin ‘Abdul Karim bin Muhammad bin Rasul al-Barzanjy al-Husainy (1126- 1177 H), dan masih banyak buku-buku lainnya yang ditulis dengan kaidah akademik.
Yang dibaca dalam kisah-kisah Maulid, isinya mengupas sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw, mulai dari suasana menjelang kelahiran, saat lahir, tumbuh, berkembang menjadi remaja, dan kehidupan masa mudanya, dari menjadi penggembala kambing, pedagang, dan terutama masa-masa kegelisahan beliau menghadapi situasi social Mekkah. Kegelisahan beliau mengusik keprihatinan dan kegalauan, maka beliau bermunajat ke Gua Hira’ di atas Jabal Nur.
Banyak pendapat yang “mengusik” dan menganggap bahwa tradisi shalawatan, barzanjen, simthu al-durar, dan diba’an tersebut, sebagai praktik bid’ah. Artinya, mengada-ada, karena pada zaman Rasulullah saw tidak ada dan beliau tidak memerintahkannya. Apalagi kemudian mereka mengemukakan dalil-dalil bahwa “kullu bid’atin dlalalatun, wa kullu dlalalatin fi n-nar” artinya “semua bid’ah (mengada-ada sesuatu yang tidak/belum ada pada masa Rasulullah saw) adalah sesat dan semua yang sesat di neraka”, ini kata Gus Mus – KH. A Mustofa Bisri” karena mereka yang berpendapat demikian, kurang mengaji. Mereka belum memahami, bahwa mempelajari sejarah manusia mulia, Rasulullah saw, adalah bagian penting agar kita bisa makin mencintai dan berusaha meneladani akhlak beliau.
Imam al-Ghazaly menyatakan, “kesempurnaan dan kebahagiaan seorang hamba adalah berkahlak dengan akhlak Allah dan menampakkan diri dengan Sifat dan Asma Allah sekuat apa yang digambarkan dalam kebenaran-Nya”. Ini akan bisa dilakukan, dengan mencintai, mencontoh, dan menedani Rasulullah saw, sebagai manusia sempurna (insan kamil) yang oleh Allah ditegaskan sebagai teladan yang baik (uswatun hasanah) bagi orang-orang yang mengharapkan (Ridha) Allah dan (kebahagiaan) akhirat, dan senantiasa banyak berdzikir kepada Allah (QS. Al-Ahzab (33): 21, Al-Mumtahanah (60):6).
Allah ‘Azza wa Jalla menjanjikan melalui Rasulullah saw dalam QS. Ali ‘Imran (3): 31 “Katakanlah (wahai Muhammad) jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (kata Rasulullah), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Semoga kita semua diberi kemampuan oleh Allah untuk senantiasa mempelajari sejarah hidup dan perjuangan manusia sempurna Rasulullah Muhammad saw, memperbanyak shalawat dan salam baik melalui tradisi membaca Barzanjy, Dibaan, Sumtu al-Durar, untuk menghayati, makin mencintai dan meneladani Rasulullah saw. Rasulullah saw juga menegaskan : “Barangsiapa menghidupkan sunnahku, maka sungguh ia mencintai aku, dan barang siapa mencintai aku, ia akan bersamaku di surga”. Shallu ‘ala n-Nabiy. Allah a’lam bi sh-shawab.
GIPHY App Key not set. Please check settings