Oleh Prof Dr KH Abu Rokhmad Musaki
Komisi Hukum MUI Jawa Tengah, Guru Besar FISIP UIN Walisongo
SELAMA pandemik covid-19 di Indonesia (Maret hingga Mei 2020), MUI Pusat–setidaknya telah mengeluarkan 5 fatwa, yaitu: fatwa nomor 14 tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi wabah covid-19, fatwa nomor 17 tahun 2020 tentang pedoman kaifiat shalat bagi tenaga kesehatan yang memakai APD saat merawat dan menangani pasien covid-19, fatwa nomor 18 tahun 2020 tentang pedoman pengurusan jenazah (tajhiz al-janaiz) muslim yang terinfeksi covid-19.
Lalu, fatwa nomor 23 tahun 2020 tentang pemanfaatan harta ZIS untuk penanggulangan covid-19 dan dampaknya, dan fatwa 28 tahun 2020 tentang panduan kaifiat takbir dan shalat idul fitri saat pandemik covid-19. MUI pusat tegas menggunakan istilah fatwa dalam pandangan keagamaannya yang berkaitan dengan penanganan pandemic covid-19.
MUI propinsi dan mungkin kabupaten/ kota, menggunakan istilah yang bermacam-macam. Ada yang menggunakan fatwa, tausiyah dan istilah lainnya. MUI Provinsi Jawa Timur menggunakan istilah “Analisis dan Evaluasi Penerapan Kebijakan PSBB di Jawa Timur terkait dengan Kegiatan di Rumah Ibadah Muslim.” Meski menggunakan istilah “analisis dan evaluasi,” struktur dan substansi fatwa sangat terasa dalam kajian tersebut.
MUI Propinsi Jawa Tengah—dari awal hingga akhir tidak menggunakan istilah fatwa, tapi istilah tausiyah yang ditulis dengan atau tanpa nomer. Misalnya yang tanpa nomer, Tausiyah MUI Propinsi Jawa Tengah tentang Penyelenggaraan Ibadah di Masjid dalam Situasi Darurat Covid-19 tertanggal 24 Maret 2020. Yang bernomor, tausiyah MUI Provinsi Jawa Tengah tentang Pelaksanaan Shalat Idul Fitri 1441 H/ 2020 M dalam Situasi Darurat Covid-19, nomor 04/DP-P.XIII/T/V/2020, tertanggal 07 Mei 2020 M, bertepatan dengan 14 Ramadhan 1441 H.
Sebagian masyarakat bertanya, apa bedanya fatwa dengan tausiyah? Bagaimana implikasi hukumnya dalam konstruksi keagamaan dan sosio-legal?
Fatwa
Pengembangan pemikiran hukum Islam setidaknya dilakukan oleh dua kelompok, yaitu para qadhi (hakim) dan mufti (pemberi fatwa). Kelompok pertama melakukan pemikiran hukum Islam melalui keputusan pengadilan, sedangkan golongan kedua melalui fatwa (Muzdhar, 1993: 1-2). Masih ada akademisi (pesantren dan perguruan tinggi) yang juga melakukan pengembaran pemikiran hukum Islam dalam bentuk kajian.
Menurut istilah, fatwa adalah suatu pendapat hukum Islam yang diberikan seorang ahli hukum Islam sebagai jawaban atas sebuah pertanyaan (Muzdhar: 2). Definisi lain menyebut, fatwa merupakan merupakan pendapat hukum (legal opinion) yang tidak mengikat dari seorang atau sekelompok ulama (mufti) kepada orang yang meminta fatwa [mustafti] (a fatwa is generally a non-binding legal opinion or ruling given by a recognized Islamic legal specialist) (Hosen: 83).
Menurut Abu Zahrah (h. 319), fatwa lebih khusus (atau lebih sempit) dibandingkan ijtihad. Salah satu perbedaannya, ijtihad dapat terus dikerjakan, baik ada maupun tidak ada pertanyaan dari seseorang atau sekelompok orang. Sedangkan fatwa hanya bisa terjadi bila terjadi persoalan empiris lalu ditanyakan kepada seorang ahli fiqh bagaimana hukum dari persoalan tersebut.
Menurut Surat Keputusan MUI Nomor: U-596/MUI/X/1997 tentang Pedoman Penetapan Fatwa MUI, Pasal 1 ayat (7) menjelaskan fatwa adalah jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan dan berlaku untuk umum. Berdasarkan hal ini, ada dua fungsi yang diemban oleh fatwa, yaitu fungsi tabyîn dan tawjîh. Tabyîn artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang memang mengharapkan keberadaannya. Sedangkan tawjîh adalah memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang permasalahan agama yang bersifat kontemporer.
Karena itu, jangan heran jika MUI mengeluarkan suatu fatwa, boleh jadi ada yang meminta (fungsi tabyin), boleh jadi karena kebutuhan MUI untuk memberi petunjuk (fungsi tawjih) kepada masyarakat. Apakah MUI punya wewenang mengeluarkan fatwa? Menurut pedoman dasarnya, fungsi MUI—salah satunya—sebagai pemberi fatwa umat Islam dan pemerintah, baik diminta atau tidak diminat (Pasal 4, ayat [4]). Jangankan MUI, orang per orang saja boleh mengeluarkan fatwa, bila memenuhi syarat.
Bagaimana implikasi hukum dari fatwa? Jumhur ulama berpandangan, fatwa hanya mengikat bagi orang atau lembaga yang meminta fatwa. Umat Islam secara umum boleh mengikuti fatwa dan boleh tidak mengikuti fatwa. Menurut pedoman fatwa MUI, fatwa berlaku umum. Artinya, umat Islam secara sukarela hendaknya mengikuti fatwa yang dikeluarkan oleh MUI.
Meski fatwa tidak mengikat, namun secara moral, umat Islam wajib mengikuti fatwa yang dikeluarkan oleh ulama atau lembaga keagamaan, manakala pada saat yang sama umat belum atau tidak memiliki pedoman mengenai hal tersebut. Lebih-lebih bagi umat Islam awam, mereka wajib taklid (mengikuti fatwa tapi tidak mengerti argumentasi fatwa) atau ittiba (mengikuti fatwa dan ia paham betul isi fatwa) kepada fatwa yang ada. Orang awam tidak boleh berfatwa sendiri-sendiri. Bagi umat islam yang kelasnya mujtahid, ia wajib berijtihad sendiri atau minimal ittiba dengan fatwa yang ada.
Dalam struktur ketatanegaraan, fatwa MUI bukan hukum positif yang mengikat seluruh masyarakat. MUI hanya majelis berkumpulnya para ulama, zuama dan cendekiawan, dan juga bukan lembaga negara. Pelaksanaan fatwa betul-betul mengandalkan kesadaran umat Islam. Aparat penegak hukum tidak boleh mengawal atau apalagi memaksa masyarakat untuk tunduk dan patuh pada fatwa. Yang mungkin dilakukan adalah sosialisasi fatwa kepada masyarakat luas.
Fatwa MUI baru menjadi hukum positif dan oleh karena itu memiliki sifat memaksa, jika negara telah menformalisasikannya dalam bentuk undang-undang atau bentuk regulasi lainnya. Contoh yang paling mudah adalah fatwa tentang ekonomi Syariah yang telah diformalkan dalam bentuk UU Perbankan Syariah dan juga diadopsi ke dalam berbagai keputusan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan lain-lain.
Tausiyah
Bagaimana dengan tausiyah MUI? Secara bahasa, tausiyah artinya pesan, wasiat, nasihat, himbauan, peringatan, bimbingan dan seterusnya. Belakangan, tausiyah berarti syiar agama (dakwah) seperti pengajian, ceramah, tablig dan seterusnya. Menurut istilah, tausiyah merupakan pesan, wasiat, nasihat, himbauan atau rekomendasi yang disampaikan kepada umat Islam atau pemerintah atau pihak-pihak lain yang terkait, baik mengenai masalah keagamaan Islam ataupun kemasyarakatan-kenegaraan tetapi memiliki keterkaitan dengan umat Islam yang disampaikan dengan pendekatan agama, bijak dan menyejukkan.
Menyampaikan nasihat atau wasiat kebaikan merupakan tugas kemanusiaan, sebagaimana tercantum dalam QS, al-‘Asr, baik secara individu maupun kelembagaan. Apabila memperhatikan Pedoman Organisasi (PO), MUI memiliki tugas, salah satunya adalah memberikan peringatan, nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada masyarakat dan pemerintah dengan bijak (hikmah) dan menyejukkan (Pasal 6 ayat 3). Jadi, MUI memiliki kewenangan untuk memberi tausiyah kepada umat Islam dan pemerintah.
Apakah umat Islam wajib mengikuti tausiyah? Sebagaimana fatwa, umat Islam tidak wajib mengikuti tausiyah. Mereka boleh mengikuti tausiyah, boleh juga tidak mengikuti. Umat Islam yang awam memiliki kewajiban moral untuk melaksanakan dan mengikutinya (taklid dan ittiba) jika di dalam tausiyah terkandung kemaslahatan bagi agama dan umat Islam, sementara pada saat yang sama umat belum atau tidak memiliki petunjuk lain mengenai hal tersebut. Umat Islam yang mampu berijtihad, mereka boleh ittiba dengan tausiyah yang ada atau wajib memberi tausiyah secara mandiri.
Apakah tausiyah bagian dari fatwa? Kalau mencermati Pasal 6 ayat (3) Pedoman Organisasi MUI, memberi fatwa dan nasihat merupakan fungsi dan tugas (usaha-usaha) MUI. Keduanya disebut dalam satu kalimat dan satu pasal, namun dipisahkan dengan konjungsi dan. Jika memperhatikan struktur kalimatnya, fatwa dan nasihat (istilah yang digunakan MUI bukan tausiyah) merupakan dua hal yang berbeda. Perbedaan ini tampak lebih jelas jika membaca Pedoman Penetapan Fatwa MUI (Surat Keputusan MUI Nomor: U-596/MUI/X/1997), sedikitpun tidak disinggung mengenai tausiyah. Tegasnya, fatwa dan tausiyah merupakan dua hal yang berbeda.
Dari sisi kesungguhan (badzlul juhdi) di dalam merumuskan, fatwa merupakan salah bentuk implementasi ijtihad yang sungguh-sungguh dalam perumusan isinya. Fatwa harus memenuhi prosedur dan tata cara penetapan yang cukup ketat. Sedang tausiyah relatif lebih longgar prosedur dan persyaratannya. Tausiyah juga sering menerobos jalur fatwa: penetapan hukum (perhatikan fatwa 28 tahun 2020 tentang panduan kaifiat takbir dan shalat idul fitri saat pandemik covid-19 MUI Pusat dan Tausiyah MUI Jawa Tengah). Oleh karena itu, MUI perlu memiliki SOP soal perumusan, substansi dan hal-hal apa diluar penetapan hukum yang boleh dikeluarkan tausiyah.
Atau, soal mengapa memilih istilah tausiyah daripada fatwa karena alasan kepraktisan saja. Lebih mudah merumuskan tausiyah daripada fatwa, yang umumnya, fatwa membutuhkan kajian berminggu-minggu, dan rapat berkali-kali. Itupun belum tentu fatwanya segera kelar. Padahal, MUI harus berhadapan dengan virus yang cepat menular. Jalan pintasnya adalah menyampaikan tausiyah kepada umat Islam. Apakah salah? Tidak. Yang penting umat Islam tidak bingung. Itulah inti penjelasan ini. Jatengdaily.com-st
GIPHY App Key not set. Please check settings