in

Sastrawan Tak Pikirkan Segmentasi Pembaca

Delegasi Munsi 3 asal Jateng berfoto bersama di acara Munsi. Fotodok

JAKARTA (Jatengdaily.com) – Para sastrawan pada umumnya tidak memikirkan segmentasi pembaca, apakah untuk orang Indonesia atau asing, usia muda atau sepuh. Selain itu, mereka tidak memikirkan geografi, apakah dibaca oleh orang Trenggalek atau Berlin. Mereka juga tidak menjadikan semua ofter-effect atau peristiwa pascapenerbitan sebagai tujuan akhir. Misalnya pujian, penghargaan, festival, atau seminar.

Hal itu dikatakan oleh sastrawati yang juga jurnalis Leila S. Chudori ketika berbicara dalam Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) III di Hotel Novotel, Mangga Dua, Jakarta, pada hari ketiga, Rabu (4/11) lalu. Kegiatan yang diselenggarakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Menurut Leila, pada dasarnya segala sesuatu yang lahir setelah buku diterbitkan, mempunya nilai nol  dalam proses penciptaan. Tugas utama seorang sastrawan adalah menciptakan sebuah jagat dengan  tokoh yang meyakinkan pembaca, siapa pun pembacanya.

“Ketika saya menciptakan novel Malam Terakhir, Nadira, Pulang, dan Laut Bercerita, bermula dari penciptaan tokoh, baru peristiwa. Semua diciptakan tanpa pretense memikirkan segmen pembaca lokal atau internasional. Karena saat itu menulis, bagi saya, adalah kebahagiaan pribadi,” ujarnya.

Namun, Leila menunjukkan pentingnya peran agen sastra, yang dapat menawarkan karya terjemahan kita yang masih berupa manuskrip ke berbagai penerbit asing. Kalau ada yang tertarik, mereka yang mewakili sastrawan dalam kontrak. Fungsi mereka adalah campuran, pengacara sekaligus publisis sastrawan dalam satu tubuh.

Sedangkan dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Faruk Tripoli mengatakan, dalam masyarakat dengan media yang belum terlalu termediatisasikan seperi sekarang ini sastra mengalami lokalisasi. Baik dalam bentuk naskah tertentu yang ada di tempat tertentu, maupun dalam ungkapan lisan yang diselenggarakan hanya dalam momen ritual tertentu. Karena itu, sastra tidak selalu menjadi bagian integral dari konstruksi realitas dominan, keseharian, melainkan juga konstruksi realitas alternatif.

Dengan kata lain, lanjut Faruk, keberadaan sastra menunjukkan, dalam suatu masyarakat bisa terdapat tidak hanya satu konstruksi realitas. Mimpi juga bisa menduduki posisi yang demikian, seperti yang dikatakan Berger. Hanya saja dalam masyarakat yang belum termediatisasikan, tetap ada perbedaan hirarkis antara konstruks yang dominan dengan yang subordinat, antara “kenyataan”, mimpi, dan imajinasi.

“Namun, sastra di era masyarakat yang termediatisasikan, karena banyaknya kemungkinan konstruksi realitas, sastra menjadi kesulitan menempatkan dirinya. Terutama sebagai sebagai konstruksi alternatif,” tandasnya.

Sementara dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Jakarta Manneku Budiman mengatakan, sastra Indonesia akan tetap diajarkan sebagai bagian dari kajian Indonesia. Dengan demikian, berfungsi sebagai dokumen sosial untuk membantu orang memahami kondisi sosial-politik Indonesia.

Manneke menunjukkan proyeksi masa depan sastra dalam negeri, di mana penerbit mulai menerbitkan karya sastra terjemahan untuk pasar internasional dan dalam dalam format digital. Selain itu, digitalisasi diharapkan dapat membangun minat internasional terhadap sastra Indonesia dalam terjemahan. Termasuk juga melalui partisipasi dalam pameran-pameran buku internasional.

Sebelum penutupan dan rekomendasi Munsi III yang dibacakan oleh Triyanto Triwikromo, diadakan diskusi yang terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama tentang pengembangan sastra, kedua pembinaan sastra, dan ketiga pelindungan sastra. Diskusi kelompok pertama, kedua, dan ketiga diketuai Sastri Sunarrti, Agus Sri Danardhana, dan Ganjar Harimansyah.

Rekomendasi Munsi III antara lain mengusulkan agar Badan Bahasa dan atau lembaga/instansi lain mengoptimalkan ekosistem digital dalam pengembangan sastra Indonesia. Selain itu, Badan Bahasa dan atau lembaga lain diharapkan memperbanyak dan memperluas pelatihan bagi tenaga pendidik dan komunitas sastra. Badan Bahasa juga diminta meningkatkan pelindungan hak kekayaan intelektual karya sastra, hak ekonomi, dan hak moral karya sastra.

Munsi III diikui oleh 200 sastrawan dari Sabang sampai Papua. Dari Provinsi Jawa Tengah pesertanya  ada 17 orang. Mereka adalah Gunoto Saparie, Abdul Aziz, Afiliasi Ilafi, Arif Fitra Kurniawan, Atmo Tan Sidik, Maufur, Dwi Supriyadi, Kartika Catur Pelita, dan S. Prasetyo Utomo. Selain itu juga Setia Naka Andrian, Siti Choiriyah, Soekoso DM, Titi Setiyoningsih, Theopilus Yudi Setiawan, Yunita Widyaningsih, Sosiawan Leak, dan Bandung Mawardi,

Munsi pertama kali diselenggarakan tahun 2016 di Hotel Bidakara, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Sedangkan Munsi II tahun 2017 di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta. Pada awalnya kegiatan ini memang berlangsung setahun sekali, namun sejak tahun 2017 disepakati diadakan menjadi tiga tahun sekali. Ini berarti, setelah Munsi III tahun ini, Munsi mendatang direncanakan diadakan tahun 2023.

Written by Jatengdaily.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Ganjar Minta Warga di Sekitar Merapi Tidak Panik, Pengungsian Disiapkan

Sekolah Tatap Muka, Pemerintah Harus Adakan Swab