Oleh: Eko Suharto
ASN/Fungsional Statistisi Madya
BPS Provinsi Jawa Tengah
HARGA gabah di tingkat petani di Jawa Tengah Maret-April 2021 berada pada posisi terendah selama pandemi COVID-19. Kondisi ini mulai terbaca awal tahun saat dimulainya musim tanam subround satu. Biasanya harga gabah awal tahun naik mengingat jumlah panen sedikit. Selain itu stok gabah akhir tahun juga mulai berkurang. Wajar jika petani berharap memperoleh harga bagus saat melepas stok di awal tahun.
Namun ternyata apa yang diharapkan tidak sesuai kenyataan. Awal 2021 terjadi anomali saat harga gabah turun. Disinyalir penurunan harga salah satunya karena bansos digelontorkan pemerintah dalam bentuk beras. Akibatnya permintaan beras masyarakat menurun sehingga stok beras di pedagang dan penggilingan tinggi.
Di sisi lain, wacana impor beras turut menekan harga. Penebas menahan diri untuk membeli gabah dalam jumlah banyak. Terbayang kerugian jika membeli dalam jumlah besar, tetapi pasar tidak menyerapnya. Kalaupun membeli, penebas memberikan harga rendah. Petani semakin terjepit mengingat kebutuhan menanam padi memerlukan biaya.
Mencoba Bertahan
Belajar dari peristiwa krisis ekonomi di masa lampau, sektor pertanian lebih resilience. Saat sektor lainnya goyah dan mengalami kontraksi, sektor pertanian mampu bertahan. Kondisi ini terjadi karena sektor pertanian khususnya tanaman pangan memiliki elastisitas rendah. Dalam artian, pada saat ekonomi meningkat tajam, permintaan produk pertanian juga tidak langsung melonjak. Demikian pula saat ekonomi mengalami resesi, permintaannya tidak anjlok drastis.
Pada triwulan II 2020, pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah mengalami kontraksi sebesar -5,94 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan negatif dicatat sebagian besar sektor lapangan usaha. Namun demikian beberapa sektor masih tumbuh positif, salah satunya sektor pertanian yang tumbuh 2,15 persen. Ini membuktikan sektor pertanian mampu menahan kontraksi ekonomi agar tidak turun terlalu dalam.
Dari sisi tenaga kerja, sektor pertanian juga mengalami peningkatan. Rilis data ketenagakerjaan BPS Provinsi Jawa Tengah menunjukkan persentase penduduk bekerja pada sektor pertanian meningkat. Awal pandemi pada Februari 2020 persentasenya mencapai 25,75 persen meningkat menjadi 27,72 persen pada Februari 2021. Saat sektor industri manufaktur, pariwisata, akomodasi dan penyediaan makan minum goyah, banyak pekerjanya dirumahkan. Sektor pertanian menerima banyak limpahan tenaga kerja tersebut.
Sayangnya sisi positif sektor pertanian dibayangi keprihatinan. Bagaimana tidak, selain harga komoditas pertanian yang fluktuatif, permasalahan lain turut membayangi. Salah satunya semakin berkurangnya lahan pertanian di Jawa Tengah. Data Kementerian ATR BPN menunjukan luas baku sawah Jawa Tengah 2013 sebesar 1,103 juta hektar, sementara pada 2019 turun menjadi 1,049 juta hektar.
Faktanya pengalihan fungsi lahan baik untuk infrastruktur, pemukiman maupun kawasan industri membuat lahan pertanian menyusut. Bayangkan jika luasan semakin mengecil sementara tenaga kerja semakin banyak maka produktivitas sektor pertanian juga mengecil.
Terbitnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2021, semakin memukul petani. Kementan menaikkan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi antara Rp 300 hingga Rp 450 per kilogram. Ditambah dengan turunnya harga komoditas mengakibatkan Nilai Tukar Petani (NTP) merosot. Karena harga yang diterima petani tidak mampu mengimbangi kenaikan harga yang dibayar petani.
NTP Jateng dari awal 2021 terus mengalami penurunan. Pada Januari NTP berada pada angka 100,98 terus menurun sampai dengan 98,71 pada April. NTP dibawah 100 menunjukan defisit. Kenaikan harga barang produk pertanian lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsi dan biaya produksi. Kondisi ini menunjukan bahwa sektor pertanian kurang menjanjikan.
Membuka Peluang
Salah satu faktor yang membuat sektor pertanian tumbuh positif karena kebutuhan pangan tidak bisa dinihilkan. Suka tidak suka petani harus bekerja untuk menghasilkan makanan bagi masyarakat Jawa Tengah. Beberapa mampu bertahan dan berhasil sukses, sebagian besar tetap bertahan denagn kondisi apa adanya. Rasanya sulit berkembang tanpa campur tangan dari pemerintah. Perlu strategi dan kebijakan tepat menata kembali sektor pertanian.
Pertama adalah industrialisasi pertanian. Petani Jawa Tengah sebagian besar masih menggunakan teknologi tradisional. Sejauh ini, penggunaan mesin tanam dan panen mulai marak digunakan. Itu belum cukup membantu terutama pengelolaan pasca panen. Lumbung modern dengan pengelolaan profesional sangat membantu penyimpanan hasil panen. Petani terbantu untuk menyimpan produk pertanian saat harga murah dan menjual saat harga naik.
Perlu dibuat cara meningkatkan nilai tambah hasil pertanian. Gabah tidak dijual dalam bentuk beras tapi dalam bentuk tepung beras. Jagung dijual dalam bentuk sereal atau pakan ternak siap pakai. Kreatifitas Pemerintah Desa diperlukan dalam mengelola Dana Desa agar tidak hanya untuk infratruktur jalan dan bangunan. BUMDes dimanfaatkan untuk memberdayakan petani dan menciptakan turunan hasil pertanian.
Kedua petani milenial. Profesi petani tidak menjadi pilihan utama generasi milenial. Data Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018 Jawa Tengah menunjukan 72 persen di antaranya adalah petani yang berusia di atas 45 tahun. Hanya 28 persen berusia produktif. Kaum muda menganggap bekerja sebagai petani masih kurang menjanjikan.
Pekerjaan rumahnya bagaimana membuat sektor pertanian menarik bagi milenial. Jika menjadi petani lebih sejahtera dibanding bekerja di pabrik atau sektor usaha lain, akan ada perbedaan. Terlebih penggunaan alat pertanian modern membuat daya tarik tersendiri. Fleksibilitas waktu, tidak menguras tenaga dan lebih maksimal hasilnya mendorong generasi muda masuk ke sektor pertanian.
Ketiga digitalisasi pertanian. Era indutri 4.0 menuntut proses kerja efisien dan efektif melalui otomatisasi dan komputerisasi. Sudah saatnya mendorong penggunaan teknologi Internet of Things, Artificial Intelligent, Big Data maupun Robotic pada sektor pertanian.
Kegiatan proses produksi mulai dari pembenihan, pengolahan lahan, pembesaran tanaman, panen dan pasca panen dipantau berbagai macam teknologi. Unsur penunjang seperti pengaturan air, komposisi pupuk dan penggunaan pembasmi hama dikontrol secara otomatis. Hasilnya mampu meningkatkan produktivitas hasil pertanian dengan lebih efisien dan efektif.
Keempat korporasi pertanian. Pengelolaan bersama produksi pertanian membuat petani semakin kuat. Pembentukan badan usaha pertanian sebagai lembaga ekonomi dalam mengelola proses produksi hingga pemasaran.
Sebagai lembaga, petani mempunyai daya tawar kuat untuk bermitra dengan industri pupuk, produsen benih dan alat pertanian. Termasuk juga kerjasama dengan perbankan dalam akses permodalan. Korporasi mengubah dari sekedar bertani menjadi petani pengusaha.
Sektor pertanian Jawa Tengah mampu bertahan pada saat pandemi COVID-19. Namun bertahan saja tidak cukup. Momen ini harus dimanfaatkan untuk menata kembali pertanian. Peluang masih terbuka lebar untuk menyejahterakan petani Jawa Tengah. Jatengdaily.com-yds
GIPHY App Key not set. Please check settings