Oleh: Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, MT
MASALAH kemiskinan sesungguhnya merupakan masalah yang sudah sejak lama ada dan hampir bisa dikatakan akan tetap menjadi “kenyataan abadi” dalam kehidupan. (Gunawan Sumodiningrat, 1999). Pengertian kemiskinan sendiri merupakan suatu konsep ilmiah lahir sebagai dampak ikutan dari istilah pembangunan. Karena itu dalam setiap pembahasan tentang pembangunan, maka pembahasan kemiskinan mendapatkan tempat yang cukup penting.
Kemiskinan dipandang sebagai bagian dari masalah dalam pembangunan, yang keberadaannya ditandai oleh adanya pengangguran, keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Secara bersamaan kenyataan tersebut bukan saja menimbulkan tantangan tersendiri, tetapi juga memperlihatkan adanya suatu mekanisme dan proses yang tidak beres dalam pembangunan.
Terkadang kita menyaksikan adegan yang memprihatinkan, terdapatnya serombongan orang-orang miskin yang saling berebut barang (sampah) yang baru diturunkan dari truk pengangkut sampah. Tidak jarang kita juga dapat menyaksikan adegan orang-orang miskin yang terkategorikan sebagai pemulung, masih bersedia dan saling berebut makanan bekas yang sudah ada di tempat sampah.
Kebiasaan mereka orang-orang miskin yang hidup dalam kekurangan terkadang membuat cara hidup mereka tidak lagi memperhatikan kadar (nilai-nilai) kebersihan dan kesehatan. Kebanyakan dari mereka waktunya tidak cukup untuk memikirkan hal-hal lain di luar kegiatan berusaha mencari sesuap nasi.
Tak jarang kita lihat ada pengemis dan gelandangan tua (homelessness) yang terlunta-lunta dengan mendorong sepeda tua dan butut, yang kemudian berhenti di emper-emper toko atau bangunan-bangunan tua untuk sekedar melepas lelah dan berteduh dari sengatan matahari dan hujan. Di sudut lain, tampak orang-orang miskin yang tinggal di kolong jembatan, sempadan (pinggir) kali, membentuk enclave-enclave kehidupan yang kumuh dan kotor di perkotaan. Hidup dengan tradisi kebersihan dan kesehatan kurang terjaga dan kadang terabaikan.
Realita diatas menimbulkan tanda tanya besar, dapatkah kita membuat titik pijak atau tolok ukur dalam menilai tingkat realisasi suatu nilai kemanusiaan ?
Kita bisa mengukur tingkat kemiskinan dengan memakai tolok ukur Menurut Sayogyo tentang “Garis Kemiskinan”. Untuk kota: (1) miskin = pengeluaran rumah tangga di bawah 480 kg nilai tukar beras / orang / tahun; (2) miskin sekali: dibawah 380 kg nilai tukar beras / orang / tahun; (3) paling miskin: di bawah 270 kg nilai tukar beras / orang / tahun.
Sedangkan untuk perdesaan: (1) miskin = pengeluaran rumah tangga dibawah 320 kg nilai tukar beras / orang / tahun; (2) miskin sekali = pangan-tak-cukup di bawah 240 kg nilai tukar beras /orang / tahun; (3) paling miskin dengan pengeluaran di bawah 180 kg nilai tukar beras / orang / tahun.
Tolok ukur garis kemiskinan dari sayogyo perlu dibarengi dengan tolok ukur (nilai-nilai) lain seperti nilai-nilai kebersihan atau standar-standar kesehatan. Jika standar kebutuhan hidup seseorang secara ekonomi tidak terpenuhi, juga nilai-nilai kebersihan dan kesehatan terabaikan, maka dapat dikatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang terpuruk dan bergelut dengan kemiskinan, sebagai golongan yang tidak mampu (have not) yang hidup dalam kondisi kemanusiaan yang serba kurang dengan nilai yang sangat rendah.
Fakta-fakta lain menunjukkan bahwa orang-orang miskin semakin merebak hidup di permukiman slums dan squatter, gelandangan (kaum homeless) juga tidak sedikit dan anak jalanan semakin merajalela di tempat-tempat strategis di pusat kota.
Sudah barang tentu mereka yang hidup dalam kubangan kemiskinan (the have not) akan membangun atau membentuk nilai-nilai tersendiri, yang khas, dan tidak sama dengan golongan lain diatasnya. Kesemuanya itu tentu bukan sekedar dramatisasi kehidupan orang-orang miskin, melainkan suatu realita yang nyata terjadi di negeri ini. Suatu set gambaran kehidupan kelas bawah yang sangat memilukan, memprihatinkan, mengenaskan, dan menyedihkan.
Masih adanya orang-orang yang hidup berkubang dalam kemiskinan dengan sendirinya memberikan bukti bahwa kondisi pengelolaan di negeri ini tentang kemanusiaan masih sangat memprihatinkan.
Masalah kemiskinan merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian dari kita semua; pemerintah, swasta maupun masyarakat yang merasa berada diluar garis kemiskinan. Penanganan terhadap penyandang kemiskinan memang sudah dilakukan dan melibatkan banyak pihak, namun usaha tersebut secara empiris belum menunjukkan hasil sesuai dengan yang diharapkan.
Catatan Akhir
Masalah kemiskinan tidak bisa disederhanakan atau sekedar diukur sebagai masalah ekonomi belaka. Masalah ekonomi hanya salah satu faktor penyebab kemiskinan, dan ini bisa menjadi picu pada masalah lain yang lebih rumit. Permasalahan kemiskinan pada dasarnya merupakan rajutan permasalahan yang saling kait-mengkait, baik secara internal maupun eksternal wilayah. Pada gilirannya akan membawa akibat yang lebih luas, tidak sekedar persoalan kekurangan ekonomi. Namun juga kesenjangan antar wilayah.
Oleh karenanya untuk mencari solusi atau mencari jalan keluar bagi masyarakat agar terlepas dari belenggu kemiskinan, maka perlu dilakukan: Pertama, upaya membangun atau memperbaiki ekonomi kerakyatan baik di kota maupun di desa, sehingga kesenjangan antar wilayah kota-desa (kota dengan hinterlandnya) dapat dihindari seminimal mungkin. Kedua, mencari solusi dalam jangka pendek secara spesifik dan tepat bagi mereka yang saat ini tengah bergelut sebagai kaum marginal atau golongan have not. Ketiga, melakukan perencanaan dan penataan ruang kota dan desa dengan mempertimbangkan dan mencegah jangan sampai terjadi adanya kemiskinan pada suatu wilayah.
Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, MT, Sekretaris Jenderal Forum Doktor Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA).Jatengdaily.com-st
















