Oleh : H. Nur Khoirin YD
Nahi munkar artinya melarang orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang munkar. Yaitu berbuatan yang dilarang agama, perbuatan yang merugikan orang lain dan merusak diri sendiri, seperti mengonsumsi khamr (narkoba), membunuh, mencuri, korupsi, berzina, menganiaya, riba, dan perilaku buruk lainnya. Nahi munkar ini dalam Islam sering disandingkan dengan istilah amar makruf, yaitu menyuruh orang lain agar berbuat makruf atau berbuat baik, seperti mengerjakan shalat, puasa, zakat, haji, birrul walidain, giat belajar dan bekerja, berlaku jujur dan bertanggung jawab, dan hal-hal yang diperintahkan oleh agama.
Amar makruf nahi munkar
Amar makruf nahi munkar, memerintahkan orang lain agar berbuat makruf dan mencegah perilaku munkar, atau istilah lainnya dakwah, memiliki kedudukan yang penting dalam Islam. Bahkan menurut Madzhab Mu’tazilah dimasukkan termasuk salah satu rukun Islam. Islam tidak akan berkembang dan bertahan sampai hari ini kecuali dengan dakwah yang baik. Maka hukum amar makruf nahi munkar adalah wajib ‘ain bagi seluruh muslim. Artinya, berdosa orang yang tidak mengambil bagian dalam dakwah. Nabi saw bersabda :
مَا مِنْ رَجُلٍ يَكُونُ فِي قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي يَقْدِرُونَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا عَلَيْهِ فَلَا يُغَيِّرُوا إِلَّا أَصَابَهُمْ اللَّهُ بِعَذَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَمُوتُوا
“Tidak ada seorang laki-laki yang berada pada seatu kaum yang di dalamnya terdapat perilaku maksiat, padahal mereka mampu mengubah kemaksiatan tersebut, tetapi mereka tidak melakukannya, kecuali Allah akan menimpakan siksa sebelum mereka meninggal.” (HR. Abu Dawud dari Jarir, hadits no. 3776).
Banyak orang menyalahpahami, bahwa dakwah itu identik dengan pidato di panggung, mengajar dengan lisan atau tulisan, atau berorasi menjadi muballigh. Sehingga hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu seperti da’i, muballigh, dan ustadz. Dakwah billisan itu hanya cara nomor dua setelah dakwah dengan kekuasaan atau tangan. Nabi saw bersabda :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa yang melihat (mengetahui) satu kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman“. [HR Muslim]. Dalam Hadits yang lain Nabi saw bersabda :
Cara berdakwah sangat beragam. Orang bisa berdakwah melalui apapun yang baik. Profesi apapun bisa dijadikan sarana dekwah. Tidak harus dengan kata-kata. Nabi juga bersabda : lisanul hal afshahu min lisanil maqal (bahasa perbuatan lebih fasih dari bahasa perkataan). Cara dakwah yang efektif adalah melalui keteladanan dan akhlaqul karimah (uswah hasanah). Nabi saw dakwahnya sangat mengena dan berkembang sampai sekarang, antara lain adalah karena memberi contoh langsunglangsung.
Seperti Shalluu kama raitumuni ushalli (shalatlah kalian seperti aku shalat), khudzu ‘anni manasikakum (contohlah ibadah haji dariku). Apa yang disampaikan Nabi adalah apa yang dilakukannya.
Kewajiban berdakwah, yaitu mengajak orang lain agar menjadi baik dan mencegah perilaku munkar juga ditegaskan dalam beberapa Ayat Al Qur’an. Allah swt berfirman :
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena kalian menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. (QS. Ali Imran/3 : 110).
Dalam ayat yang lain disebutkan : “Hendaklah ada di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali Imran/3 : 104).
Nahi munkar dengan kekuasaan
Semua orang bisa melakukan amar ma’ruf dengan cara memberi nasihat kepada orang perorang atau dengan berceramah kepada jamaah. Ini hal mudah yang sudah biasa dilakukan oleh banyak orang. Tetapi untuk melakukan nahi munkar diperlukan kekuatan dan keberanian yang tidak setiap orang memilikinya. Orang perorang hanya bisa melakukan upaya preventif, dengan memberi nasihat atau menghimbau agar orang lain tidak terjerumus pada kemungkaran dan melanggar. Tetapi jika kemungkaran dan pelanggaran itu sudah nyata di depan mata, maka orang perorang tidak bisa berbuat apa-apa. Jika orang perorang mengambil tindakan, malah bisa disebut tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) yang justru dapat dipersalahkan. Misalnya ada seseorang tertangkap tangan mencuri, kemudian dipukuli ramai-ramai sampai babak belur atau mati, maka ini bisa dikatakan tindakan main hakim sendiri, dan bukan nahi munkar.
Kemungkaran harus diberantas dan ditindak dengan kekuasaan negara. Apa-apa yang dilarang oleh Syari’ah, seperti zina, narkoba, judi, riba dan perilaku-perilaku munkar lainnya tidak akan berjalan efektif kecuali diatur dengan hukum negara. Inilah yang dikemukakan oleh Imam Al Ghazali :
فَبَانَ أَنَّ السُّلْطَانَ ضَرُوْرِيٌّ فِيْ نِظَامِ الدِّيْنِ وَنِظَامِ الدُّنْيَا، وَنِظَامُ الدُّنْيَا ضَرُوْرِيٌّ فِيْ نِظَامِ الدِّيْنِ، وَنِظَامُ الدِّيْنِ ضَرُوْرِيٌّ فِيْ الْفَوْزِ بِسَعَادَةِ اْلآخِرَةِ ، وَهُوَ مَقْصُوْدُ الْأَنْبِيَاءِ قَطْعًا
“Maka jelaslah, bahwa kekuasaan itu penting demi keteraturan agama dan keteraturan dunia. Keteraturan dunia penting demi keteraturan agama, sedang keteraturan agama penting demi keberhasilan mencapai kebahagiaan akhirat, dan itulah tujuan yang pasti dari diutusnya para Nabi”. (Imam Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hal. 99).
Peraturan dunia yang dimaksud adalah undang-undang atau hukum positif yang berlaku memaksa bagi semua warga negara, dan diterapkan sanksi yang tegas bagi yang melanggar. Untuk kebaikan, orang harus dipaksa agar lama-lama menjadi terbiasa. Karena menunggu orang patuh dengan kesadarannya sendiri membutuhkan waktu yang lama. Misalnya saja tentang shalat jamaah disuatu kantor, dengan surat edaran Bupati dan contoh langsung dari pempinan, maka akan lebih efektif dan lama-lama akan berjalan menjadi kebiasaan. Apalagi jika disertai sanksi bagi yang tidak melaksanakan dan penghargaan bagi yang rajin. Oleh karena itu kekuasaan adalah alat dan bukan tujuan, alat dan media untuk melakukan amar makruf nahi munkar agar lebih efektif dan mengena.
Belajar dari Qatar
Piala Dunia 2022 di Qatar ini ternyata tidak hanya menghadirkan pertandingan sepak bola klas dunia yang menarik, tetapi oleh Qatar dijadikan media dakwah yang efektif untuk menyiarkan agama Islam pada dunia. Qatar telah berhasil merubah wajah Islam di mata dunia Internasional. Islam yang dikesankan berwajah buruk, miskin, kelaparan, kumuh, bodoh, terbelakang, teroris dan radikal, kini tampil dengan wajah yang tampan, gagah, cerdas, maju, modern dan elit.
Qatar telah berhasil menjunjukkan kepada dunia sebagai negara Islam paling aman dan paling makmur sedunia dengan pendapatan perkapita mencapai Rp1,7 milyar pertahun (gaji perbulan rata-rata Rp 141juta), warganya tidak dikenai pajak atau pungutan apapun, pendidikan gratis sampai sarjana, fasilitas kesehatan gratis, dan setiap bayi yang lahir sudah disediakan perumahan. Qatar juga diakui dunia sebagai penyelenggara Piala Dunia dengan fasilitas termegah dan termahal sepanjang perhelatan piala dunia. Qatar telah menginvestasikan dana sebesar $229 milyar untuk membangun infrastruktur, seperti stadion baru, hotel, rumah sakit, bandara, dan berbagai fasilitas pendukung lainnya. Sementara Rusia $20 milyar (2018), Brazil $11,6 milyar (2014), dan Afrika Selatan $3,3 milyar (2010).
Salah satu faktor yang menyebabkan misi dakwah Qatar dalam moment sepak bola dunia ini berjalan efektif dan berhasil mengislamkan ratusan orang secara bergelombang, adalah karena didesain melalui kekuasaan negara. Kekuasaan negara dijadikan alat dan media untuk “memaksa” semua orang mematuhi Syari’ah. Qatar tidak mungkin menghalau pesawat Jerman yang akan mendarat karena mengenakan atribut LGBT, kecuali dengan kekuasaan dan alat-alat negara. Selama penyelenggaraan Piala Dunia, Qatar dengan kekuasaannya melarang semua pengunjung meminum bir, seks bebas, dan wajib berpakaian sopan. Nahi mungkar ini tidak mungkin efektif kecuali dijalankan dengan kekuasaan negara. Benar kata Plato, “segenggam kekuasaan lebih berarti dari pada sekeranjang kebenaran”.
Maka umat Islam jangan alergi politik. Kekuasaan harus direbut agar bisa dijadikan sarana amar makruf nahi munkar yang efektif. Dakwah Nabi saw ternyata juga baru efektif setelah Beliau menjadi penguasa di Madinah.
- DR. H. Nur Khoirin YD, MAg, Ketua BP4 Propinsi Jawa Tengah/Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo/Advokat Syari’ah/Mediator/Arbiter Basyarnas, Tinggal di Tambakaji H-40 Ngaliyan Kota Semarang.Jatengdaily.com-st