SEMARANG (Jatengdaily.com) – Perempuan atau ibu merupakan figur sentral dalam memberikan pendidikan moral pada anak dan keluarga, maka fakta ini memberikan kesempatan untuk menggerakkan permasalahan korupsi melalui perempuan. Hal itu dikatakan Ketua Ikatan Karyawan Karyawati (IKAWATI) 17 Untag Semarang Dra Sri Redjeki MM, saat menyampaikan sosialisasi yang digelar oleh IKAWATI 17, bertema “Saya Perempuan Anti Korupsi” (SPAK) di Gedung Grha Kebangsaan, kampus Untag, Bendan Duwur Semarang, baru baru ini.
Pada acara sosialisasi tersebut dihadiri oleh seluruh karyawati yang tergabung dalam IKAWATI 17, termasuk Wakil Rektor bidang kerja sama Prof Dr Retno Mawarini Sukmariningsih, SH MHum dan Wakil Rektor bidang Administrasi dan Keuangan Dra Giyah Yuliari MM.
Sosialisasi dibuka oleh Rektor Untag Prof Dr Drs Suparno MSi. Dalam sambutannya Rektor menyampaikan terima kasih kepada para narasumber, Ny Mardiyah dari Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Asiyah, Muhamadiyah dan Ny Yuliati dari GOW Bayangkari Polri, yang menyosialisasikan apa itu gerakan SPAK, dan mengapa difokuskan kepada perempuan padahal korupsi tidak mengenal gender.
Dalam keterangannya disampaikan bahwa perempuan adalah segala galanya, hal itu pernah diriwayatkan dalam ajaran Islam, yaitu adanya umat yang menanyakan kepada Rosulullah Nabi Muhammad SAW, siapa yang anda cintai dalam rumah tangga? yang ditanyakan hingga tiga kali, maka oleh Rosulullah dijawab ibu.
Itu artinya bahwa ibu mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan rumah tangga, karena dia yang mengandung, menyusui, mendidik dan membesarkan, sehingga peran ibu sangatlah strategis dalam membentuk karakter moral anak anaknya agar menjadi anak yang sholeh dan sholehah, serta sebagai pendamping suami maka juga dapat melakukan kontrol dan pencegahan serta memberi peringatan sejak dini kepada suami agar tidak melakukan korupsi.
Melalui sosialisasi ini diharapkan para ibu IKAWATI 17 dapat mengimplementasikan dalam diri sendiri maupun rumah tangganya masing masing. Dalam sosialisasinya kedua narasumber, Ny Mardiyah dan Yuliati menyampaikan bahwa gerakan ini dilahirkan atas sebuah keprihatinan. Keprihatinan yang disampaikan oleh sebuah survei yang dilakukan KPK pada tahun 2012 – 2013 di kota Solo dan Jogjakarta. Studi ini menyajikan fakta bahwa ternyata hanya 4% orang tua yang mengajarkan kejujuran pada anak-anaknya dalam kehidupan sehari hari.
Dimana orang tua tidak bisa mengaitkan bahwa menyontek atau menyerobot antrian adalah bentuk-bentuk perilaku koruptif. Hal ini memberi pemahaman bahwa korupsi adalah mengambil hak orang lain untuk kepentingan diri sendiri. Dan bila kita percaya bahwa tindakan koruptif itu adalah bentukan atau evolusi dari perilaku-perilaku koruptif sejak kecil, maka fakta ini sungguh menakutkan.
”Dalam hal ini perempuan atau ibu masih dianggap figur sentral dalam memberikan pendidikan moral pada anak dan keluarga. Fakta ini memberikan kesempatan untuk menggerakan pencegahan korupsi melalui perempuan. Hasil inilah yang kemudian menjadi landasan kuat untuk melahirkan gerakan Saya, Perempuan Anti-Korupsi,” katanya.
Dalam sosialisasi ini difokuskan kepada perempuan, karena perempuan dengan segala kelembutannya memiliki kekuatan dan cara yang khas untuk melawan, melindungi keluarga dan lingkungan yang dikasihi dari hal-hal buruk yang mengancam kehidupan, maka ada kutipan yang menarik.
”Perempuan adalah arsitek pembentukan masyarakat yang sebenarnya. Jadi kenapa tidak mulai dari diri kita. Itulah sebabnya kita sebut dengan ‘Saya, Perempuan Anti Korupsi’. Menunjuk pada diri sendiri dan menjadi identitas diri. Saya, perempuan anti korupsi ingin menjadi bagian bangsa menuju Indonesia bebas dari korupsi, maka kami bergerak,” katanya. st