Oleh: Gus Anies Maftuhin
SALAH satu pelajaran penting dari ibadah puasa adalah bahwa segala sesuatu butuh perjuangan dan diperjuangkan. Tidak ada kebahagian yang langsung bisa dinikmati, baik itu bahagia dunia maupun akhirat.
Untuk menemukan kebahagiaan dunia (yang ukurannya materi dan pasti fana) saja, kita perlu bekerja keras dan cerdas. Banyak syarat dan rukun yang harus dipenuhi: mulai dari tekun bekerja, cermat berpikir, hemat waktu untuk berleha leha dan mengerahkan segala daya upaya untuk mendapatkan harta benda duniawi yang secara kasat mata menjadi ukuran kebahagian bagi kebanyakan orang.
Itu adalah bentuk perjuangan yang harus ditempuh untuk keduniaan yang tak bakal lama menemani kita. Lantas, bagaimana dengan kebahagiaan kita di akherat sebagaimana yang terucap dalam doa kita “Robbana atina fi Dunya Hasanah wa fil akhirati Hasanah”? Bukankah kebahagian akhirat itu abadi dan selama lamanya? Sudahkah kita berlaku adil pada diri kita?
Sederhananya: apakah perjuangan kita untuk akhirat kita sudah seteguh daya juang kita untuk dunia? Berapa banyak waktu, tenaga, harta dan pikiran yang sudah kita kerahkan untuk bahagia di akhirat?
Rasa rasanya banyak di antara kita –tentu termasuk penulis sendiri– yang belum benar benar memperjuangkan kebahagiaan akhiratnya. Padahal, harusnya daya juang untuk kebahagiaan di akhirat itu lebih besar dari daya juang untuk kebahagiaan dunia.
Ilustrasinya sangat mudah. Bila untuk memiliki rumah di dunia yang hanya ditempati puluhan tahun saja banyak orang berjuang keras, pergi kerja pagi dan pulang malam hari, bagaimana dengan rumah di akhirat yang akan kita tempati selama lamanya? Sudahkah kita memperjuangkannya?
Sayyidina Umar bin Khattab pernah berkata, “Jika aku tidur di siang hari, maka aku dhalim terhadap rakyatku. Namun, jika aku tidur malam hari berarti aku telah menyia-nyiakan diriku (baca; akhiratku).” Inilah arti beratnya perjuangan yang dirasakan oleh beliau untuk bahagia di dunia dan akhirat.
Dalam memaknai perjuangan itu, Guru dan Kyai Imam Zarkasyi (Pendiri Pondok Modern Gontor) pernah berpesan kepada santri santrinya seperti ini:
“Hidup itu Perjuangan. Hidup tanpa perjuangan bukan hidup namanya. Innal hayaata aqiidatun wa jihaadun” (Sesungguhnya hidup itu keyakinan dan perjuangan.”
Begitulah, hidup ini tak lain adalah perjuangan dan mempertahankan akidah. Artinya, kita tidak bisa memilih antara berjuang atau tidak berjuang. Selama kita ingin hidup, perjuangan itu mutlak dilakukan. Tanpa perjuangan kita akan mati dalam kehidupan.
Karena itu, marilah kita berlomba lomba memperjuangkan hidup kita dunia maupun di akhirat. Minimal seimbang, syukur syukur daya juang kita untuk akhirat bisa lebih besar.
(Bersambung)
*Gus Anies, Pengasuh Ponpes Wali Salatiga dan Pegiat Literasi Islam. Akun IG : @gus_anies. Jatengdaily.com-st