in

Hari Ibu: Mewaspadai Malin Kondang Modern

Prof Dr H Nur Khoirin MAg

Oleh : Nur Khoirin YD

DIKISAHKAN, konon di perkampungan nelayan di pinggiran Pantai Air Manis, di daerah Padang, Sumatera Barat, hiduplah seorang janda miskin bernama Mande Rubayah bersama anak laki-lakinya bernama Malin Kundang. Mande sangat menyayangi anaknya si Malin, sehingga apa saja ia lakukan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Malin juga sangat menyayangi ibunya, karena hanya ibu yang ia punya.

Ketika Malin beranjak dewasa, ia mmeinta ijin ibunya untuk merantau ke daerah seberang untuk mencari pekerjaan. Dengan berat hati, akhirnya ibunya mengijinkan. Dilepaslah si Malin dengan sepenuh doa dan air mata semoga berhasil cita-cita. Hampir setiap hari sang ibu pergi ke dermaga, memandangi setiap kapal yang berlabuh, berharap anaknya datang.

Hari-hari berganti, bulan-bulan berlalu, tahun demi tahun berjalan, rindupun semakin membuncah di hati, tetapi si Malin tidak kunjung tiba. Siang malam sang ibu terus tidak lelah memanjatkan doa, semoga anaknya baik-baik saja. Terdengarlah kabar, bahwa anaknya telah berhasil menjadi saudagar kaya, hidup di kota, dan sudah menikah dengan putri bangsawan yang cantik jelita. Hati si Mande semakin berbunga-bunga, penuh syukur karena dikabulkan doanya. Rasa kangen bertemu dengan anak kesayangannya semakin menggumpal di dada.

Terdengarlah kabar, bahwa ada kapal besar sedang bersandar di dermaga. Si Mande tergopoh-goboh mendekat. Terlihatlah seorang pangeran gagah didampingi putri cantik berbusana mewah turun dari kapal. Si Mande berlari segera menghampiri seraya memanggil-manggil, “Malin, Malin, anakku, ini ibumu nak!!”. Dipeluklah erat-erat si anak yang lama menghilang itu dengan sekuat tangannya yang sudah keriput itu. Tetapi apa yang terjadi? Jangankan membalas pelukan, Si pangeran itu justru mendorong perempuan tua sehingga terjatuh, sambil berkata-kata kasar :”Siapa kau perempuan tua yang lusuh, mengaku-ngaku ibuku?. Aku tidak memiliki seorang ibu yang miskin dan kotor seperti kau”.

Perempuan tua itu menangis sejadi-jadinya, kecewa, sedih, dan sakit hati, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa selain berdoa : ”Ya Allah, sekiranya dia bukan anakku, maka ampunilah kesalahanku. Tetapi jika dia adalah anakku, aku mohon keadilan Ya Tuhan”.

Tidak lama setelah adegan Malin Kundang dengan ibunya itu, di tengah laut turun hujan deras disertai angin badai, petir menyambar, ombak menerjang, sehingga kapal yang ditumpangi si Malin hancur berkeping-keping. Seluruh penumpang mati. Keesokan harinya di pinggir pantai ditemukan batu menyerupai orang yang sedang sujud meminta ampun, yang diyakini oleh masyarakat adalah batu Malin Kundang yang durhaka kepada ibunya.

Malin Kundang Modern
Kisah Malin Kundang ini masih sangat relevan menjadi bagian dari proses menanamkan nilai-nilai budaya luhur dan mendidik anak agar berbakti kepada orang tua. Sekarang ini mulai luntur penghgormatan dan penghargaan anak-anak kepada ibunya. Kisah Malin Kundang si anak durhaka kepada ibunya yang kemudian dikutuk menjadi batu, tidak hanya ada dalam cerita dibuku-buku, tetapi menjadi kisah nyata di tengah-tengah kehidupan modern.

Kita sering mendengar berita, seorang anak tega menggugat ibunya di pengadilan, anak tega mengusir ibunya dari rumahnya sendiri, anak tega membiarkan ibunya yang sudah tua berjalan kali menyusuri jalanan yang panas menjajakan daun singkong sekedar untuk bertahan hidup, padahal anaknya berlimpah harta. Anak-anaknya yang sudah kaya hidup di kota, tidak jarang lebih memetingkan burung atau anjing piaraannya yang harganya ratusan juta, dari pada menengok ibunya di desa yang sudah renta. Beberapa ibu malah diperdaya untuk menjaga rumah dan momong anaknya, agar lebih ngirit dan tidak perlu biaya. Ini barangkali sosok modern dari si Malin Kundang yang durhaka.

Gambaran suram seorang ibu juga sering dipertontonkan oleh peran-peran antagonis dalam sinetron atau film-film kita. Adegan-adegan yang tidak mendidik, seorang anak yang membantah dan membentak ibunya sepereti temannya atau bawahannya. Ibunya juga disosokkan tidak berdaya, tidak punya power dihadapan anak-anaknya. Tontonan inilah yang sering menjadi tuntunan, banyak ditiru oleh para penggemarnya. Kedudukan ibu yang mestinya harus ditaati, dihormati, dan bahkan dipuji-puji untuk mendapat ridhonya, sekarang ini menjadi sosok yang biasa dan bukan siapa-siapa.

Momentum untuk berbakti
Peringatan Hari Ibu 22 Desember yang diputuskan melalui Dekrit Presiden RI Nomor 316 Tahun 1953, ini selain untuk mengangkat harkat dan martabat seorang perempuan, juga harus menjadi momentum simbol kebaktian seorang anak kepada ibunya. Momentum untuk mengingat kembali jasa-jasa ibu yang tidak terperi, kasih sayangnya yang meliputi, kegigihannya yang menghidupi, ketulusannya yang menyinari, kesabarannya yang teruji, pengorbanannya yang dari hati, dan doanya yang tidak putus sepanjang hari.

Jasa-jasa ibu kepada anaknya sungguh tidak ada kata-kata yang dapat mewakili. Kedudukan seorang ibu yang harus dihormati dan dimulyakan oleh anak-anaknya adalah pandangan dunia, disepakati oleh semua agama dan disetujui oleh semua budaya. Oleh karena itu, peringatan Hari Ibu atau Mother’s Day dirayakan oleh hampir semua negara di dunia termasuk Indonesia, sebagai momentum untuk menghormati dan memulyakan ibu.

Kedudukan orang tua, khususnya ibu dalam Syari’at Islam sudah sangat jelas. Banyak ayat Al Qur’an yang memerintahkan, agar anak-anak birrul walidain (berbakti kepada orang tuanya). Allah SWT menyandingkan perintah berbakti kepada kedua orangtua dengan perintah bertauhid hanya kepada-Nya (Q.S Al-Isra: 23, Al-Baqarah: 83, Al-An’am: 151, Al-Ahqaf: 15-18)). Anak-anak dilarang keras berkata kasar, uf atau ah.Aapalagi menyakiti hatinya. Anak-anak wajib bersikap lemah lembut, merendahkan diri, dan selalu berdoa untuk kedua orang tua (QS. Al Isra : 23-25).

Bahkan ketika orang tua berbeda keyakinan dan berbeda prinsip sekalipun, anak-anak harus tetap berhubungan dengan baik (QS. Luqman : 14-15). Khusus mengenai kedudukan seorang ibu, maka Rasulullah swa pernah ditanya oleh salah seorang sahabat tentang siapakah orang yang harus dihormati di dunia ini, maka Rasul menjawab, “Ibumu, ibumu, ibumu”, baru kemudian bapakmu.

Meskpun perintah untuk berbakti kepada orang tua harus dilakukan sepanjang waktu, dan dimanapun, tetapi dengan adanya peringatan Hari Ibu setiap Tanggal 22 Desember ini setidaknya menjadi momemtum memperbaharui niat dan semangat, menyediakan waktu dan uang saku, agar ibunya ikut senang dan bahagia disisa-sisa umurnya yang sudah tua.

Hari ibu mengingatkan kepada semua anak, kepada semua orang, bahwa ia dulu dikandung dengan susah payah dalam rahim seorang ibu, ia dilahirkan dengan taruhan nyawa, darah dagingnya berasal dari tetesan air susunya, dan ia dibesarkan menjadi orang dengan keringat dan air mata perjuangan.

Berbahagialah anak-anak yang masih ditunggui oleh orang tua, karena memiliki waktu untuk berbakti, dan panjatan doa-doanya dikabulkan menjadi kenyataan. Jangan sampai terlambat. Kebanyakan orang baru merasa betapa besar jasa-jasa orang tua, ketika ia sudah mengalami sendiri sebagai orang tua. Timbul kesadaran ingin mengabdi, berbakti, tetapi kedua orang tua sudah tidak ada lagi. Penyesalan selalu muncul terlambat.

Prof. Dr. H. Nur Khoirin YD, MAg, Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah UIN Walisongo Semarang, Ketua BP4 Propinsi Jawa Tengah/Katua Nazhir Wakaf Uang BWI Jawa Tengah/Advokat Syariah/Mediator/Arbiter Syari’ah/Nazhir Kompeten. Tinggal di Jl. Tugulapangan H-40 Tambakaji Kota Semarang, Telp. 08122843498. Jatengdaily.com-st

Written by Jatengdaily.com

USM Terima Penghargaan dari KIP Jateng

Bawaslu Telusuri Dugaan Pj Gubernur Jateng Temui TKN Gerindra, Nana Sebut Bukan Agenda Kampanye