SEMARANG (Jatengdaily.com) – Perencanaan kota di Indonesia sering dimulai dengan kesalahan ontologis dan epistemologis. Namun, meskipun demikian, sulit menyalahkan para perencana dan perancang, karena tidak tersedia pengetahuan untuk mereka.
Arsitek dan budayawan Ir Marco Kusumawijaya MArch Eng mengungkapkan hal itu dalam Bedah Buku Kota-Kota Pesisir Jawa di Ruang Seminar Fakultas Teknik Universitas Islam Sultan Agung, Jalan Raya Kaligawe, Semarang, Jumat, 20 Oktober 2023. Buku yang dibedah kali ini berjudul “Kota-Kota Indonesia: Pengantar untuk Orang Banyak” karya Marco Kusumawijaya. Kegiatan ini diselenggarakan Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Islam Sultan Agung.
Sebagai pembahas dalam bedah buku tersebut adalah dosen Planologi Fakultas Teknik Universitas Islam Sultan Agung Dr Ir Mohammad Agung Ridlo dan pegiat Komunitas Baca Digital Ina Siti Mutmainah. Sedangkan Ketua Umum Satupena Jawa Tengah Gunoto Saparie sebagai moderator.
Dalam kegiatan yang dibuka oleh Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Islam Sultan Agung itu, Marco menyatakan sejak tahun 1980-an memprihatinkan tentang cacat-cacat perencanaan kota di republik ini. Sering terjadi salah rancang atau desain. Sering pula terlupa untuk direncanakan. Atau terlalu banyak perencanaan, namun terlalu sedikit pengetahuan.
Menurut Marco, perkembangan kota-kota di Indonesia agaknya menyumbang banyak kepada materialisme banal. Taman hanya menyenangkan mata tanpa makna. Prasarana tanpa sarana bagi komunitas sekitar. Tempat-tempat wisata “yang seperti di X atau di Z”, dengan titik pandang yang ditandai untuk ambil gambar. Jembatan atau bangunan lainnya yang tidak mengumpulkan makna eksistensial, dan seterusnya.
Dalam buku yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu dan Rujak Center for Urban Studies itu, Marco semacam bercerita tentang kota-kota di Indonesia. Misalnya, Ternate, Makassar, Tanjungpinang, Batam, Banda Aceh, Cirebon, Banjarmasin, Lasem, dan Surabaya. Kota Semarang memang terlupa disebutkan dalam buku, namun paparan Marco menunjukkan Semarang layak diperhitungkan dalam studi planologi.
Mohammad Agung Ridlo dalam pembahasannya mengatakan, buku karya Marco membangun pemahaman awal yang memadai bagi pembaca tentang tradisi dan persoalan- persoalan, keputusan-keputusan, aturan-aturan, norma-norma maupun adat istiadat yang ada dan sebelumnya, di mana dapat dipakai untuk membuat dan mengambil keputusan di masa yang akan datang di wilayah perkotaan. Buku ini juga bukan pemahaman utuh dari kota-kota yang dibahas. Namun, hanya fragmen-fragmen saja dari masing-masing kota tersebut. Harapannya, ia cukup memberikan gambaran tentang hal-hal esensial yang pernah dan sedang terjadi di kota-kota Indonesia.
“Buku ini cocok untuk diletakkan di perpustakaan atau referensi di rumah atau kantor terkait. Namun, buku ini tidak cocok untuk dibawa-bawa, karena terlalu berat dan tebal,” ujar Sekretaris Umum Satupena Jawa Tengah ini seraya mengusulkan alangkah baiknya jika suatu buku disusun berdasarkan tema.
Ina Siti Mutmainah yang juga mahasiswi Planologi Unissula mengingatkan pentingnya kembali kepada definisi tentang kota dan pesisir. Mengacu pada Amos Rappoport, kota adalah sebuah pemukiman yang cukup besar, padat, dan permanen, serta terdiri dari berbagai macam kelompok individu yang sifatnya heterogen dari segi sosial.
Dalam hal ini, Ina memberikan catatan sejumlah ciri perkotaan, yaitu ketersediaan sarana prasarana, penduduk padat, nonagraris, dan mobilitas tinggi.
Sedangkan mengenai kota pesisir, Ina menunjuk Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah dan Pulau-Pulau Kecil yang mendefinisikan wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. St