in

Urgensi Media dalam Demokrasi Pemilu

Oleh: Sapto Sari Jati

MEDIA massa atau pers adalah suatu istilah yang mulai digunakan pada tahun 1920-an untuk mengistilahkan jenis media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah ini sering disingkat menjadi media. (wikipedia).

Sementara sesuai UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tertulis, “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bnetuk lainnya dengan menggunkan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”

Seiring perkembangan jaman, istilah media sekarang tidak lagi berkutat pada media massa yang dihadirkan para insan jurnalis. Ada pula media sosial, tempat seluruh masyarakat dapat memberikan sebuah informasi melalui jejaring sosial maupun dalam bentuk sebuah forum, untuk menyampaikan berita maupun mencari sebuah sumber berita.

Media sosial (medsos) adalah media daring yang digunakan untuk kebutuhan komunikasi jarak jauh, proses interaksi antara user satu dengan user lain, serta mendapatkan sebuah informasi melalui perangkat aplikasi khusus menggunakan jaringan internet.

Adapun beda media massa dengan media sosial,

Media Massa :
1. Memiliki badan hukum dan diterbitkan oleh instansi yang legal dan formal.
2. Memiliki pengaruh luas dan umum
3. Merupakan bentuk komunikasi satu arah yakni antara pembuat dan pembaca namun pembaca tidak dapat memberikan feedback langsung
4. Memiliki relasi tidak lengsung antara instansi pembuat dengan pengguna.
5. Sebagai bentuk pertanggungjawaban yang dituliskan atau berita yang disebarkan, jurnalis pada media massa atau pers dibatasi oleh kode etik jurnalistik (KEJ).

Media Sosial :
1. Pembuat dapat perorangan maupun instansi yang dapat bersifat formal maupun tidak
2. Memiliki pengaruh luas namun dapat terjadi hubungan perorangan maupun umum
3. Bentuk komunikasi yang dapat terjadi satu arah maupun dua arah bergantung situasi dan faktor lain
4. Menggunakan media internet dan lebih fleksibel.
5. Penggiat media sosial atau selanjutnya disebut netizen berhadapan langsung dengan UU ITE.

KEJ dimaksudkan sebagai bentuk pertanggungjawaban sekaligus landasan moral dan etika profesi wartawan Indonesia dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati KEJ yakni :

1. Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
2. Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
3. Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
4. Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
5. Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
6. Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
7. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
8. Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
9. Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
10. Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
11. Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Sementara arti kata demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang mana tiap warga negaranya mempunyai hak yang sejajar dalam pengambilan keputusan yang bisa mengubah hidup mereka. Demokrasi melibatkan warga negaranya agar ikut berpartisipasi dalam jalannya pemerintahan, baik secara langsung maupun tidak.

Pemilihan umum atau Pemilu adalah proses memilih seseorang untuk mengisi jabatan politik tertentu. Jabatan tersebut beraneka ragam, mulai dari jabatan presiden/eksekutif, wakil rakyat/legislatif di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai.

Dilansir dari situs resmi Komisi Pemilihan Umum, dalam sebuah negara demokrasi, pemilu merupakan salah satu pilar utama dari proses akumulasi kehendak masyarakat.
Pemilu sekaligus merupakan proses demokrasi untuk memilih pemimpin. Di samping juga sebagai sarana bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatan dan merupakan lembaga demokrasi.

Alasannya, Pemilu disebutkan juga sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Melalui pemilu, rakyat dapat memilih wakil-wakil yang dipercaya untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingannya. Semakin tinggi kualitas pemilu, semakin baik pula kualitas para wakil rakyat yang bisa terpilih dalam lembaga perwakilan rakyat.

Dalam pelaksanaannya Pemilu menggunakan asas langsung, umum, bebas, jujur, adil dan rahasia. Artinya, dalam pemilu rakyat memilih secara langsung para pemimpin atau wakil rakyat yang dikehendaki. Berlaku umum, bebas tanpa paksaan, dilaksanakan secara jujur dan adil. Serta ada jaminan kerahasiaan terhadap hak pilih rakyat.

Mengenai urgensi media dalam demokrasi dan pemilu, Gloria Mp Djurubasa dalam tesisnya berjudul “Partisipasi Politik dan Demokrasi di Media Sosial: Analisis wacana pada Facebook dan Twitter dalam Pemilu Presiden 2014 tahun 2017” menyebutkan, ada beberapa kondisi tertentu yang menjadikan medsos justru menyesatkan jika tidak digunakan dengan tepat.

Meskipun tahun 2014 bukan menjadi tahun pertama penggunaan media sosial dalam kampanye Pilpres, namun media sosial bisa dibilang menguat dan sangat berperan besar sebagai sarana partisipasi politik saat memasuki kampanye Pilpres 2014.

Lulusan S2 Politik dan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM ini menyebutkan, kondisi ini memberikan gambaran betapa besarnya potensi media sosial dalam mempengaruhi partisipasi politik masyarakat.

Pertama, media sosial menyediakan ruang komunikasi, interaksi dan informasi antara penggunanya sehingga membuat tim kampanye masing-masing kandidat capres dapat memanfaatkannya untuk menggalang dukungan dengan lebih mudah.

Hal ini berbeda, karena biasanya partisipasi politik masyarakat sulit masuk dalam ruang publik karena tekanan dari pemilik modal. Sementara hari ini, berbagai strategi komunikasi dan interaksi dapat membentuk opini publik sekaligus memberikan pengaruh dan keuntungan yang cukup kuat kepada kandidat.

Kedua, kini dengan adanya medsos dan semakin banyaknya alternatif saluran partisipasi politik, maka semakin memperkuat demokrasi dan berpotensi meningkatkan kualitasnya.
Dikarenakan peluang masyarakat untuk mengawasi, mengontrol dan mengkritisi jalannya pemerintahan semakin besar. Artinya, kekuasaan bisa terus di jaga agar berada di jalur demokratisnya.

Di sisi lain, Gloria juga mengungkapkan bahwa keberadaan medsos tidak selamanya berarti positif dalam demokrasi. Ada beberapa kondisi tertentu yang menjadikan medsos justru menyesatkan jika tidak digunakan dengan tepat.

Menurutnya, medsos bisa menjadi pisau bermata dua, digunakan sebagai kekuatan demokrasi dan di sisi lain menjadi kelemahan demokrasi. Efek negatif anonimitas misalnya, seseorang bisa menyembunyikan identitas aslinya dan menggunakan identitas palsu untuk melakukan tindakan yang kontraproduktif yakni melakukan kampanye hitam atau menyebarkan isu negatif di media sosial.

Sementara Ning Sukma Mediasih, pewarta masyarakat aktif pada Kajian Sosial dan Publikasi Strategis menyebutkan, di tengah intensitas politik yang kian meninggi dalam kontestasi politik menjelang pemilu, posisi media harus berdiri di tengah-tengah kepentingan semua golongan. Prinsip-prinsip etis jurnalistik harus menjadi parameter media dalam menjalankan fungsi dan perannya sehingga media tidak pandang menjadi aparat kekuasaan dan juga aparat kapital.

Media seharusnya menjadi alat pendidik publik agar tercipta ruang kesadaran publik untuk saling menghargai dan menghormati sesama. Pengaruh utama pergulatan dan pergumulan aktivitas jurnalisme menjadi narator perdamaian di tengah pertentangan antar kekuatan, sebagai wujud tanggung jawab sosial media kepada publik.

Disebutkan pula, media seharusnya berperan menjaga kondusifitas masyarakat atas memanasnya suhu politik. Mengarahkan masyarakat untuk berpikir positif dalam memandang kekuatan dan kelemahan setiap kandidat capres dan cawapres, sehingga akan tercipta iklim demokrasi dengan nilai-nilai profesionalisme bukan emosionalisme.

Hal-hal itu muncul karena fungsi media yang seharusnya menjadi pewarta kebenaran, netralitasnya mengalami bias karena pemberitaanya jauh dari nilai-nilai objektivitas. Seperti diketahui, menjelang gelaran pesta demokrasi seringkali media semakin menjamur, baik dalam bentuk tabloid ataupun media-media online.

Para tim sukses memanfaatkan peran media sebagai strategi meningkatkan perolehan suara kandidatnya dan terus berupaya mencari titik lemah kandidat lain. Ironisnya sikap ini sering kali menabrak kode etik dan profesonalisme jurnalistik. Sehingga isi pemberitaan cenderung mengarah pada kampanye negatif atau kampaye hitam yang isinya berbasis fitnah, dengan kata lain media telah dimanfaatkan oleh kelompok elit politik tertentu sebagai alat untuk mengabadikan kekuasaannya.

Di sini lah pentingnya KEJ bagi pers maupun UU ITE bagi netizen. Sebab bagaimana pun, 90 persen yang ditulis dalam media massa sudah dianggap akurat kebenarannya. Sedangkan bagi para netizen kebebasan berpendapat bukan berarti bebas sebebas-bebasnya, karena ada hak orang lain juga dalam mendapatkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Bukannya hoaks atau hate speech atau ujaran kebencian.

Sama halnya Bawaslu yang memiliki tupoksi mengawasi dan menilai setiap tahapan pelaksanaan pemilu, Pers atau media massa, merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam menentukan sukses atau tidaknya pesta demokrasi. Media massa berperan mengawal demokrasi dalam sejumlah aspek.

Pertama, memberi suatu pengantar perkenalan terkait aturan atau regulasi tentang kepemiluan. Maksudnya, setiap pembahasan, rancangan hingga penetapan regulasi pemilu, media wajib untuk memberitakan sebagai bahan informasi yang dikonsumsi publik.

Kedua, pers harus merawat kegiatan-kegiatan jurnalistik yang memuat pandangan-pandangan para tokoh masyarakat yang terkait dengan kejadian atau persitiwa aktual. Dengan demikian, publik bisa lebih memahami berbagai persoalan atau kasus-kasus seputar kepemiluan. Pandangan tokoh-tokoh tersebut sangat penting untuk membantu masyarakat yang umumnya mungkin tidak mendalami segala aspek terkait pelaksanaan pilkada.

Ketiga, turut menjamin dan mengawal rakyat untuk mempergunakan hak pilihnya sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam demokrasi. Menjaga dan mengawal suara rakyat berdasarkan pada pemaparan data aktual terkait hasil suara dan sengketa pilkada.

Media massa sebagai corong rakyat wajib memberi informasi semua tahapan, aturan main, dan cara-cara rakyat menggunakan hak politiknya dalam pilkada. Suksesnya pesta demokrasi yang mengedepankan peran media massa, adalah hal yang tidak terbantahkan. (dari berbagai sumber)

Sebagai penutup, sinergitas pegiat demokrasi, kelompok-kelompok sipil, pers dan penyelenggara pemilu adalah sebuah keniscayaan untuk mewujudkan pilkada yang berintegritas. Itu lah mengapa pers atau pun media sosial adalah pilar keempat pesta demokrasi.

Alhamdulillah Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak 2020 berlangsung aman lancar berintegritas. Alhamdulillaah pula kekhawatiran banyak pihak terkait potensi munculnya cluster penyebaran covid-19 dalam pelaksanaan pilkada tidak terjadi di Kabupaten Demak.

Bahkan yang tak kalah pentingnya, angka partisipasi masyarakat di TPS pada 9 Desember 2020 cukup siginifikan peningkatannya. Dari semula 68 persen pada Pilbup Demak 2016 menjadi 73 persen pada Pilbup Demak 2020.

Keberhasilan pesta demokrasi ini tentunya bukan semata kerja keras KPU dan Bawaslu Kabupaten Demak semata sebagai penyelenggara, namun ada pula andil segenap elemen masyarakat juga stake holders terkait.

Sapto Sari Jati, wartawan peliput di Kabupaten Demak. Pengurus PWI Kabupaten Demak. Jatengdaily.com-st

Written by Jatengdaily.com

Jokowi Kecam Impor Pakaian Bekas, Rugikan Industri Tekstil

Peningkatan Partisipasi Perempuan dalam Politik Butuh Dukungan semua Pihak