Oleh : H. Nur Khoirin YD
Ketika mendengar istilah Moderasi Beragama yang gencar disosialisasikan oleh Kementerian Agama, belum apa-apa orang sudah curiga. Program ini disuudhdhani sebagai proyek “pesanan” dari luar yang bertujuan untuk melemahkan atau setidaknya menjinakkan umat Islam.
Bahkan dianggap sebagai proyek pendangkalan ajaran agama (Islam) yang bermuara kepada pemahaman semua agama adalah sama. Sikap suudhdhan sebagian orang ini dipicu oleh berbagai pernyataan dan sekap kontrovesial sebelumnya, seperti keharusan doa semua agama dalam suatu acara, Kantor Urusan Agama harus juga melayani semua agama, muballigh disertifikasi, pengaturan suara adzan, bahasa Arab dianggap menjadi sumber radikalisme, dan sebagainya.
Untuk tidak membuktikan kecurigaan dan apriori sikap masyarakat Islam ini, maka perlu diluruskan dengan cara terus-menerus disosialisasikan secara terbuka dan merata kepada semua kalangan, terutama tokoh agama dan ulama, program-program strategis yang menyangkut kepentingan umat Islam, termasuk pentingnya moderasi beragama.
Islam agama yang moderat
Dalam Buku Tanya Jawab Moderasi Beragama yang diterbitkan oleh Balitbang Diklat Kementerian Agama, moderasi artinya adalah jalan tengah. Tidak terlalu kekanan atau kekiri, tidak terlalu keras atau tidak terlalu lembek, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Sehingga moderasi adalah lawan kata terlalu. Apa saja yang terlalu adalah tidak baik. Yang baik adalah yang tengah-tengah.
Moderasi beragama adalah cara pandang dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan (pemahaman agama yang sangat kaku) maupun ekstrem kiri (pemahaman agama yang sangat liberal).
Beragama secara moderat ini sangat penting ditengah pergaulan masyarakat yang heterogen. Agar masyarakat tetap hidup rukun meskipun dalam perbedaan, dan agar perbedaan tidak memicu perpecahan dan permusuhan.
Syari’at Islam telah mengajarkan moderasi beragama secara mendalam dan lengkap jauh sebelum pemerintah mencanangkan gerakan ini. Bahkan salah satu karakteristik ajaran Islam adalah tawasuth (moderat), tawazun (seimbang) atau i’tidal (lurus/adil).
Dalam al-Quran Allah swt sendiri yang memberikan predikat kepada umat Islam sebagai ummatan wasathan (umat yang mederat), sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al Baqarah : 143, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”.
Nabi saw menegaskan, khairul umuri ausathuha, sebaik-baik perkara adalah yang moderat. Pada masa Nabi saw ada seseorang yang beribadah secara membabi buta, siangnya selalu berpuasa, dan malamnya dia habiskan untuk shalat.
Cerita ini sampai pada Nabi, sehingga Beliau bertanya, “dia mendapat makan dari siapa?”. Para sahabat menjawab, “dia diberi makan oleh saudaranya”. Nabi bersabda, “saudaranya itu lebih baik”. Pada riwayat yang lain dikisahkan, ada tiga orang sahabat yang datang kepada istri-istri Nabi, bertanya tentang ibadahnya Nabi. Maka mereka merasa ibadahnya sangat kecil dibandingkan dengan ibadahnya Nabi.
Padahal Nabi telah dijamin diampuni dosa-dosanya, baik yang telah berlalu maupun yang akan datang. Maka satu dari mereka berjanji akan shalat sepanjang malam, orang kedua berjanji akan berpuasa sepanjang tahun, dan orang ketiga berjanji akan menjauhi wanita dan tidak menikah selama-lamanya.
Lalu datang Rasulullah saw dan bersabda, “Kalian berkata demikian dan demikian. Sesungguhnya demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah diantara kalian, dan juga yang paling bertaqwa. Tetapi aku berpuasa dan juga berbuka. Aku shalat malam dan juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Barang siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka bukan termasuk umatku” (HR. Al Bukhari, No. 5063, Muslim, No. 1401). Masih banyak lagi riwayat yang menggambarkan Nabi adalah sosok yang moderat.
Prinsip tawasuth dan tawazun ini harus tercermin dalam berbagai aspek kehidupan seorang muslim, seimbang antara pemenuhan kebutuhan jasmanai dan rohani, seimbang antara duniawi dan ukhrawi, seimbang antara hak dan kewajiban, dan seimbang antara pemasukan dan pengeluaran.
Bukan orang Islam yang baik, meskipun shalatnya kuat, puasanya taat, haji dan umarahnya setiap saat, tetapi dia abai dengan problem-problem sosial disekitarnya, kebodohan dan kefakiran yang mendekati kekafiran. Muslim yang baik adalah yang ibadahnya kuat tetapi juga kehadirannya memberi manfaat.
Prinsip-prinsip moderasi beragama
Agar setiap orang bisa hidup damai, dan tentram berdampingan, meskipun diliputi dengan berbagai perbedaan, termasuk berbeda agama dan keyakinan, maka Islam mengajarkan beberapa prinsip yang harus ditegakkan.
Di antaranya adalah prinsip ukhuwah. Inti ukhuwah adalah persaudaraan dan kekeluargaan. Semakin banyak persamaan, maka semakin kuat ikatan. Untuk membangun ukhuwah, maka yang harus dikedepankan adalah mencari titik persamaan, dan bukan perbedaan.
Jika tidak ada kesamaan agama (ukhuwah Islamiyyah), ada kesamaan se tanah air (ukhuwah wathaniyyah). Jika tidak ada kesamaan sebangsa, maka masih ada kesamaan sesama manusia (ukhuwah basyariyyah). Jadi tidak ada alasan untuk tidak bersatu padu untuk sama-sama mengarungi kehidupan.
Ada beberapa etika yang harus kita tegakkan agar perbedaan tidak memicu perpecahan dan permusuhan, antara lain adalah : Pertama, setiap orang harus menyadari bahwa perpedaan adalah sunnatullah.
Menghilangkan peberdaan adalah hal yang mustahil. Di dunia ini tidak ada dua ciptaan yang sama persis, kecuali produk-produk pabrikan. Dalam QS. Al Maidah : 48 dijelaskan, bahwa sangat mudah bagi Allah menciptakan satu umat saja. Tetapi dengan perbedaan itulah manusia diuji dan memiliki identitas, berlomba-lomba dalam kebajika. Kedua, tidak boleh merasa benar sendiri, karena kebenaran mutlak adalah milik Allah.
Hasil olah pikir manusia bersifat relative dan subyektif. Bisa benar dan baik untuk suatu waktu, tetapi diwaktu yang lain belum tentu. Bisa cocok untuk tempat tertentu, tetapi ditempat yang lain belum tentu.
Ketiga, perlu kita tegakkan sikap toleran, teposeliro, saling menghormati, tidak saling mengejek dan menghina. (QS. Al Hujurat : 11). Keempat, kembangkan sikap khusnudhdhan, positif tingking, tidak mencari-cari kesalahan orang lain.
Pandangan orang lain sebagai manusia, bukan sebagai malaikat atau setan. Manusia biasa di samping memiliki kelebihan, di sisi lain pasti mempunyai kelemahan dan kekurangan. Kelima, jangan merasa paling berjasa sendiri, atau berjuang sendiri. Kita sendirian tidak akan bisa berbuat apa-apa.
Masing-masing ambil peran sesuai dengan pengalaman dan keahlian dalam kerja sama yang harmonis. Keenam, jangan memaksa orang lain agar manjadi sama dengan kita (QS. Yunus : 99). Ketujuh, tingkatkan silaturrahmi dan komunikasi yang tulus, dan bukan karena ada udang di balik batu.
Khutbah Jumat di Masjid Agung Jawa Tengah, 29 Rabiul Akhir 1446/ 1 Nopember 2024.
Prof. DR. H. Nur Khoirin YD, MAg, Sekretaris II PP Masjid Agung Jawa Tengah, Ketua BP4 Propinsi Jawa Tengah/Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo/Advokat Syari’ah/Mediator/Arbiter Basyarnas/Anggota Komisi Hukum dan HAM MUI Jawa Tengah/Ketua Nazhir Wakaf Uang Badan Wakaf Indonesia Jawa Tengah. Tinggal di Jln. Tugulapangan H40 Tambakaji Ngaliyan Kota Semarang. Jatengdaily.com-St