Oleh : Nur Khoirin YD
Seminggu yang lalu saya dimintai tolong keponakan untuk melamarkan seorang gadis pilihannya di Jepara. Ketika saya tanya, “menikahnya kapan?” Dia menjawab, “tahun depan Pakde”. Lho kok masih lama? Mengapa tidak cepat-cepat saja, misalnya bulan depan, biar tidak menimbulkan fitnah? Keponakan saya itu menjawab, “tidak boleh Pakde, karena tahun ini tahun duda, yang kata orang-orang dilarang menikah agar tidak kena balak”.
Dalam hati saya penasaran karena baru mendengar ada tahun Duda. Saya tanya orang-orang tua yang hadir dalam acara lamaran tersebut, ternyata semuanya mengiyakan dan memaklumi.
Saya terus mencari apa sebenarnya Tahun Duda, asal-usulnya, kapan terjadinya, dan apa hubungannya dengan larangan menikah pada tahun tersebut. Ternyata sudah banyak tulisan atau opini yang membahas Tahun Duda ini dari berbagai perspektif, sosial budaya dan agama, khususnya budaya Jawa.
Tahun Duda ini konon digagas oleh Sultan Agung Hanyokro Kusumo, yang merupakan kakek dari Pangeran Diponegoro. Ia adalah seorang Sultan yang dikenal dengan keahlian ilmu falaq. Sultan Hanyokro Kusumo menyusun hitungan dengan memadukan tahun Islam dan tahun Jawa.
Hitungannya setiap 1 windu atau 8 tahun, yang setiap awal tahunnya tersebut jatuh pada hari yang berbeda dan pasaran yang berbeda pula. Menurutnya, tahun yang dianggap tidak memiliki pasangan dalam siklus satu windu kalender Jawa sebagai berikut :
Tahun ALIF awal suro Rabu Wage disingkat Aboge.
Tahun HA awal suro Ahad Pon disingkat Hahadpon.
Tahun Jim.Aeal awal suro Jumat Pon.
Tahun ZA awal suro Seloso Pahing.disingkat Zasopaing.
Tahun Dal awal suro Sabtu Legi. di singkat Daltugi.
Tahun BA awal suro Kamis Legi. di singkat Bamisgi.
Tahun Wawu awal suro Senin Kliwon. di singkat Wanenwon.
Tahun JIM KE 2 awal suro Jumat Wage di singkat Ja Ahge.
Tahun Alip, 1 Sura jatuh pada hari dan pasaran Rebo Wage, tahun Ehe, 1 Sura jatuh pada hari Akad Pon atau Minggu Pon, begitu seterusnya.(https://www.rctiplus.com)
Hari-hari dan pasaran-pasaran tersebut, pasaran Pon punya jodoh, yaitu di tahun Ehe dan Jimawal, pasaran Wage juga punya jodoh, yaitu di tahun Alip dan Jimakir, pasaran Legi juga punya jodoh, yaitu di tahun Dal dan Be.
Hanya pasaran Pahing dan Kliwon yang dianggap tidak punya jodoh/pasangan, yaitu tahun Je dan Wawu. Oleh karena tidak punya jodoh ini lah, orang Jawa menganggap 2 tahun tersebut sebagai Tahun Duda. Menurut hitungan tersebut tahun baru, 1 Suro/Muharram 1446H yang bertepatan jatuh pada tanggal 7 Juli 2024 jatuh tahun Duda. Tahun Duda berjalan selama satu tahun (12 bulan) berakhir sampai dengan tanggl 25 Juni 2025.
Mitos Larangan Menikah
Mitos yang berkembang di kalangan masyarakat Jawa, seperti di Jepara, Kudus, dan Pati, selama tahun Duda ini dilarang menikah. Jika seseorang nekat menikah maka akan tertimpa balak atau musibah. Perkawinan yang dilangsungkan pada tahun Duda, maka tidak akan langgeng dan akan putus di tengah jalan, sehingga si suami akan menjadi duda, baik karena bercerai atau karena istrinya meninggal.
Meskipun tidak ada hubungan yang rasional antara meninggalnya seseorang atau gagalnya sebuah terkawinan dengan tahun Duda, tetapi keyakinan yang berasal dari cerita gugon tuhon (boleh dipercaya boleh tidak) yang berkembang dari mulut ke mulut ini ternyata sangat berpengaruh.
Ada suatu penelitian skripsi yang dilakukan oleh Indar Wahyuni dengan jedul “Menguak Mitos Tahun Duda dari Catatan Pernikahan Perspektif Hukum Islam Di Kabupaten Pati”,(An-Nidzam Vol. 5 No. 1, 2018, Hal. 136-165), hasilnya menunjukkan, bahwa angka perkawinan pada tahun 2017 (Tahun Duda) turun drastis menjadi 34,2% dibandingkan dengan tahun-tahun biasa.
Ini artinya masyarakat Jawa percaya dengan mitos tahun Duda tidak boleh menikah.
Sebenarnya tidak hanya Tahun Duda yang terjadi dalam hitungan windu (8 tahun). Masyarakat Jawa juga percaya dengan mitos bulan Syoro (Muharram). Selama bulan Syuro ada semacam larangan orang menikah karena takut kenak balak atau tertimpa musibah.
Hal ini bisa kita buktikan selama bulan Syuro yang akan tiba beberapa hari nanti, akan sepi undangan resepsi atau bahkan tidak ada sama sekali. Sebaliknya, bulan-bulan yang baik untuk menikah adalah bulan Syawal dan Besar (Dzul Hijjah). Hal ini perlu pengkajian lebih lanjut mengapa bisa terjadi.
Memaknai Tahun Duda
Menurut Kiai Daroji (Ketua MUI Jateng), Tahun Duda jangan dimaknai yang negatif, kalau menikah tahun ini akan menjadi duda. Dampaknya tidak hanya menimpa yang akan menikah harus tertunda satu tahun. Tetapi berdampak ekonomi yang luas.
Pengusaha catering akan gulung tikar, penyewaan alat-alat pesta akan bangkrut, tukang rias, dekorasi, potografi juga kehilangan pekerjaan. Tahun Duda juga bisa dimaknai yang positif, bahwa tahun 1446H yang akan datang disebut tahun Duda, karena akan banyak duda.
Angka percerian akan terus meningkat dari tahun ke tahun, dan 73% yang mengajukan adalah istri (gugat cerai). Maka laki-laki harus terus waspada dan memperbaiki diri. Demikian para istri juga harus berfikir panjang jika akan mengajukan cerai, karena dampak buruknya akan panjang.
Dalam keyakinan Islam, sebenarnya tidak tahun baik atau tahun buruk, hari baik atau hari buruk. Semua waktu bernilai sama. Yang membedakan adalah momentum itu diisi untuk berbuat apa. Waktu adalah amanah dan nikmat yang berharga. Tidak boleh lewat begitu saja tanpa goresan amal saleh dan ibadah.
Ada waktu-waktu dan yang mustajabah untuk berdoa, misalnya waktu sepertiga malam, waktu dhuha, dan bulan-bulan yang dimulyakan (‘arba’tun hurum). Ada juga tempat-tempat yang mestajabah, seperti di Raudhah makam Nabi saw, di multazam di dekat Ka’bah, dan tempat-tempat lain. Tetapi semua harus berdasarkan petunjuk nash (Al Qur’an atau Hadits), dan dilarang membuat-buat sendiri.
Meyakini bahwa menikah di tahun Duda atau di bulan Syuro akan tertimpa musibah atau celaka, akan merusak akidah dan ketauhidan kita. Keyakinan semacam ini harus dijauhkan dari pikiran, agar tidak terjerumus kemusyrikan dan kesesatan. Yakinlah bahwa tidak ada kejadian yang menimpa diri kecuali melalui sebab akibat yang rasional dan karena kehendak Allah swt.
Prof. DR. H. Nur Khoirin YD, MAg, Guru Besar Hukum Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo/Advokat/Mediator/Arbiter Basyarnas/Ketua BP4 Propinsi Jawa Tengah/Ketua Nazhir wakaf Uang BWI Jawa Tengah/Komisi Hukum dan HAM MUI Jawa Tengah/Wakil Sekretaris II PP Masjid Agung Jawa Tengah/ Ketua Bidang Remaja dan Kaderisasi Masjid Raya Baiturrahman Semarang. Tinggal di Jln. Tugulapangan H40 Tambakaji Ngaliyan Kota Semarang. Jatengdaily.com-St