in ,

Mitigasi Kegelapan Korupsi di Indonesia Menggunakan TPB dengan Niat Whistleblowing

Sri Dewi Wahyundaru

SEMARANG (Jatengdaily.com)- Whistleblowing, sebagai sebuah konsep, memiliki potensi besar untuk menjadi alat yang efektif dalam memberantas korupsi. Tindakan ini memungkinkan individu untuk melaporkan pelanggaran tanpa harus melalui proses hukum yang panjang. Namun, keberhasilan whistleblowing sangat bergantung pada perlindungan hukum dan dukungan organisasi yang diberikan kepada whistleblower (Near & Miceli, 2016)

Skandal Watergate
Dari hasil wawancara dengan Rocky Gerung 1 Oktober 2024 di Lombok bahwa pada dasarnya, skandal Watergate bermula dari penyusupan ke markas besar Komite Nasional Demokrat di kompleks Watergate pada tahun 1972, yang dilakukan oleh sekelompok individu yang terhubung dengan kampanye Presiden Nixon.

Ketika investigasi berlangsung, ditemukan bahwa penyadapan ilegal, manipulasi politik, dan penyalahgunaan dana oleh pihak-pihak yang terkait dalam pemerintahan Nixon terjadi. Semua ini terungkap berkat keberanian seorang whistleblower anonim yang dikenal dengan nama Deep Throat. Belakangan diketahui bahwa ia adalah William Mark Felt Sr., seorang pejabat senior di FBI yang memilih untuk mengungkapkan kebenaran meskipun risikonya sangat besar.

Keberanian Felt untuk membocorkan informasi penting kepada jurnalis Bob Woodward dan Carl Bernstein menjadi faktor utama dalam pembongkaran skandal ini. Informasi yang disampaikan Felt membuka pintu bagi investigasi lebih lanjut, yang akhirnya berujung pada pengunduran diri Richard Nixon sebagai Presiden AS pada 1974. Skandal ini mengingatkan kita akan pentingnya keberanian individu dalam menjalankan whistleblowing dan dampaknya terhadap integritas sistem pemerintahan.

Dalam hal ini, teori yang dapat digunakan untuk memahami mengapa seseorang melakukan whistleblowing adalah Theory of Planned Behavior (TPB), yang dikembangkan oleh Ajzen pada tahun 1991.

Theory of Planned Behavior (TPB) adalah teori yang dikembangkan oleh Icek Ajzen pada tahun 1991, yang digunakan untuk memprediksi niat dan perilaku individu dalam melakukan tindakan tertentu. TPB mengidentifikasi tiga faktor utama yang mempengaruhi niat individu untuk bertindak, yaitu: sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan kontrol perilaku yang dipersepsikan.

Ketiga faktor ini sangat relevan dalam konteks whistleblowing, di mana seseorang harus membuat keputusan apakah akan mengungkapkan informasi yang dapat membahayakan atau merugikan pihak-pihak tertentu. Sikap terhadap perilaku (attitude)
sikap terhadap perilaku merujuk pada penilaian individu terhadap konsekuensi dari suatu tindakan. Dalam kasus whistleblowing, sikap ini berkaitan dengan seberapa positif atau negatif seseorang memandang tindakan mengungkapkan informasi yang dapat merugikan pihak tertentu, terutama dalam konteks organisasi atau pemerintah.

Whistleblower seperti William Mark Felt mungkin percaya bahwa tindakan mereka akan membawa perubahan positif bagi masyarakat, meskipun ada risiko pribadi yang besar, seperti kehilangan pekerjaan atau menjadi sasaran balas dendam. Dalam hal ini, sikap positif terhadap perilaku whistleblowing sering kali muncul dari keyakinan bahwa mengungkapkan kebenaran adalah tindakan yang etis dan perlu dilakukan demi kepentingan publik.

Norma subjektif (subjective norms). Norma subjektif mengacu pada pengaruh sosial yang dirasakan individu, yaitu bagaimana keyakinan orang lain, seperti rekan kerja, teman, atau keluarga, memengaruhi niat seseorang untuk bertindak. Dalam konteks whistleblowing, norma subjektif dapat berperan besar dalam keputusan seseorang untuk mengungkapkan informasi penting.

Jika individu merasa bahwa tindakan tersebut didukung oleh masyarakat atau kelompoknya, mereka lebih cenderung untuk melakukannya. Sebaliknya, jika norma sosial di sekitar individu lebih mendukung kesetiaan kepada organisasi atau pihak berwenang, maka niat untuk melakukan whistleblowing bisa jadi berkurang. Dalam kasus Watergate, meskipun Felt harus menghadapi risiko kehilangan pekerjaan dan reputasi, ia akhirnya memilih untuk melawan norma sosial yang ada di lingkungannya karena ia percaya bahwa kebenaran harus diungkapkan.

Kontrol perilaku yang dipersepsikan (Perceived Behavioral Control). Kontrol perilaku yang dipersepsikan mengacu pada sejauh mana seseorang merasa memiliki kendali atas kemampuan untuk melaksanakan suatu tindakan. Faktor ini mencakup penilaian individu terhadap hambatan atau dukungan yang mungkin mereka hadapi dalam melaksanakan whistleblowing.

Dalam kasus Watergate, Felt mungkin merasa memiliki kontrol tertentu karena posisinya sebagai pejabat senior di FBI yang memiliki akses informasi yang diperlukan untuk membongkar skandal tersebut. Namun, ia juga harus mempertimbangkan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi tindakannya, seperti potensi perlawanan dari pihak yang berkuasa atau konsekuensi hukum yang mungkin timbul. Jika Felt merasa bahwa ia memiliki cukup kontrol atas situasi tersebut, ia lebih mungkin untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengungkapkan kebenaran.

Harapan diterapkannya Whistleblowing untuk menekan fraud dan korupsi di Indonesia. Isu korupsi dan fraud (penipuan) telah menjadi masalah yang sangat kompleks dan mengakar dalam berbagai sektor, baik pemerintahan, perusahaan, maupun lembaga-lembaga lainnya. Meskipun telah ada berbagai upaya untuk memberantas praktik-praktik tersebut, seperti penguatan lembaga-lembaga penegak hukum dan sistem pengawasan internal, namun korupsi dan fraud tetap menjadi tantangan besar yang sulit diberantas secara tuntas. Dalam konteks ini, whistleblowing dapat memainkan peran yang sangat penting dalam upaya menekan praktik-praktik tersebut, terutama jika diterapkan dengan cara yang sistematis dan mendukung.

Beberapa harapan utama yang dapat dicapai melalui penerapan whistleblowing adalah meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, mengurangi risiko korupsi dan penipuan, memberikan perlindungan kepada whistleblower, menumbuhkan budaya anti-korupsi. Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi publik dan swasta.

Penerapan histleblowing di Indonesia memiliki potensi besar untuk menekan praktik korupsi dan fraud yang masih marak terjadi, baik dalam sektor publik maupun swasta. Dengan menggunakan teori TPB sebagai landasan, dapat dipahami bahwa niat individu untuk melaporkan ketidakberesan sangat dipengaruhi oleh sikap terhadap perilaku tersebut, norma subjektif di sekitar mereka, dan sejauh mana mereka merasa dapat mengontrol situasi tersebut.

Oleh karena itu, untuk memastikan whistleblowing efektif dalam menanggulangi fraud dan korupsi, dibutuhkan dukungan yang kuat baik dari segi kebijakan, sistem perlindungan whistleblower, maupun pembentukan budaya yang mendukung keberanian individu dalam melaporkan tindakan ilegal. Jika diterapkan dengan baik, whistleblowing dapat menjadi salah satu solusi paling efektif dalam menciptakan sistem pemerintahan dan organisasi yang lebih transparan, akuntabel, dan bebas dari penyalahgunaan kekuasaan, dan menghilangkan kegelapan. ***she

Penulis: Sri Dewi Wahyundaru Dosen Unissula, Mahasiswa S3 UII Yogyakarta, Rifqi Muhammad UII Yogyakarta, Arief Rahman UII Yogyakarta.

Written by Jatengdaily.com

Wisuda Ke-71 USM, Rektor USM Berharap Alumni Berpartisipasi Aktif dalam Pembangunan

Bersama Industri, Campus Hiring 2025 Digelar di Sekolah Vokasi Undip