Prof. Anggraeni EK Dikukuhkan sebagai Guru Besar Untag Semarang

SEMARANG (Jatengdaily.com) – Suasana khidmat dan penuh kebanggaan menyelimuti Grha Kebangsaan Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang, Sabtu (20/6/2025), saat Prof. Dr. Anggraeni Endah Kusumaningrum resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar.

Pengukuhan ini menandai tonggak penting dalam perjalanan akademik Prof Anggraeni EK, sekaligus menjadi momen bersejarah bagi civitas akademika Untag Semarang.

Prosesi pengukuhan dihadiri para dosen Untag Semarang, ketua Yayasan 17 Agustus 1945 beserta para pengurus, Plt Kepala LLDIKTI Wilayah VI, Prof. Dr. Harun Joko Prayitno, M.Hum, dan sejumlah undangan.

Dalam sidang senat terbuka prosesi pengukuhan berlangsung dengan penuh khidmat. Prof. Anggraeni Endah menyampaikan orasi ilmiah bertajuk “Transaksi Terapeutik sebagai Poros Perlindungan Hukum Pasien dan Dokter di Era UU Kesehatan 2023. Orasi ini mendapat perhatian dan apresiasi luas dari para tamu undangan.

Rektor Prof. Suparno dalam sambutannya menyampaikan bahwa pengukuhan guru besar ini merupakan bukti nyata komitmen Untag Semarang dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi serta memperkuat peran akademisi dalam menjawab tantangan zaman.

“Prof. Anggraeni bukan hanya teladan dalam bidang akademik, tetapi juga sosok yang konsisten mengembangkan inovasi pembelajaran dan pengabdian kepada masyarakat,” ujar Prof. Suparno.

Pengukuhan ini menambah daftar guru besar aktif di lingkungan kampus merah putih tersebut, yang terus berupaya memperluas kontribusi akademik bagi bangsa dan negara.

Prof. Anggraeni sendiri telah lama dikenal sebagai akademisi yang produktif, aktif dalam berbagai penelitian dan kegiatan tridarma perguruan tinggi.

Dalam orasinya, Prof Anggraeni menekankan dalam konteks implementasi UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan, urgensi akademik untuk mengkonstruksikan kerangka teoritik transaksi terapeutik menjadi semakin krusial, sebagai fondasi perlindungan hukum yang komprehensif.

“Kemajuan pengobatan genomik dan terapi personalisasi menimbulkan tantangan baru bagi proses informed consent. Model tradisional yang hanya menyoroti risiko dan manfaat jangka pendek tak lagi memadai, mengingat dampak intervensi genetik bisa muncul puluhan tahun kemudian, ” katanya.

Oleh karena itu, lanjut Prof Anggraeni, diperlukan model dynamic consent yang memungkinkan persetujuan berkelanjutan dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan iptek.

“Sebagai komunitas akademik, kita memiliki responsibility untuk memimpin transformasi ini leading melalui penelitian, pengajaran yang inovatif dan keterlibatan aktif dengan policy processes, ” katanya.

Acara pengukuhan ditutup dengan ucapan selamat dari para hadirin serta penyerahan cinderamata, dilanjutkan dengan ramah tamah yang berlangsung hangat dan penuh keakraban. St

 

 

Mungkin Anda juga menyukai

Exit mobile version