Oleh Gunoto Saparie
Malam itu, 4 Juli 2019, saya terkejut mendengar kabar Prof. Dr. Abu Suud, Guru Besar Emiritus Sejarah Universitas Negeri Semarang dan mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang meninggal dunia. Kepala UPT Humas Unnes Muhammad Burhanuddin menuturkan, Prof. Abu Suud berpulang di RSUP dr Kariadi Semarang. Abu Suud meninggal menjelang ulang tahunnya yang ke-82, tanggal 27 Juli 2019 nanti.
Saya mengenal Abu Suud sejak awal 1980-an, karena kebetulan saya pernah kos di rumah yang berhadapan dengan tempat tinggalnya di Jalan Tampomas Selatan, Semarang. Saya saat itu bekerja di sebuah perusahaan konstruksi di Jalan Kelud Utara. Abu Suud waktu itu telah saya kenal lewat tulisan-tulisannya, terutama di Suara Merdeka. Beberapa kali saya bertandang ke rumahnya untuk sekadar bersilaturahmi dan berdiskusi. Saya terkesan dengan pribadinya yang sederhana dan ramah.
Abu Suud memiliki rasa humor yang tinggi. Di Semarang kebetulan saya mengenal dekat Prof. Ir. Eko Budihardjo, M.Sc., salah seorang guru besar Undip yang suka bercanda. Namun, berbeda dengan Prof. Eko, guyonan Prof. Abu terasa lebih ndesa, rural dan agraris. Saya terpingkal-pingkal ketika beliau menceritakan kisah masa kecilnya sampai kemudian terpilih sebagai Ketua PW Muhammadiyah Jawa Tengah.
Abu kecil dulu tinggal di Tegal setelah sebelumnya berumah bersama orang tuanya di Comal, Pemalang. Abu dilahirkan di tengah keluarga pedagang. Ayahnya, Abdul Rasyid, dan ibunya, Siti Robiah, adalah pedagang tembakau. Abu bercerita, ayah dan ibunya sama-sama perokok.
Mereka merokok dengan rokok bikinan sendiri, rokok klobot. Cara membuatnya tembakau
dibungkus dengan daun jagung kering yang telah dimasak. Ayah dan ibunya berasal dari dua desa yang bertetangga, yaitu Randugunting Cleret dan Randugunting Santren. Namun, meski bertetangga, kultur kedua desa ini berbeda. Randugunting Cleret tidak punya musala. Di sana juga tidak pernah terdengar azan. Bahkan saat Ramadan, tidak tampak pula orang-orang berbondong-bondong menuju masjid. Di sini orang-orang hanya puasa di awal dan akhir Ramadan.
Laki-laki di Randuginting Cleret tidak memakai peci. Para perempuan juga tidak memakai
kerudung. Mereka hanya menggunakan kain yang disampirkan di pundak. Namun, di desa tempat ibu Abu berasal kondisinya berbeda. Selain ada sebuah masjid jami`, di sini ada sebuah langgar. Laki-laki dewasa di sini menggunakan peci hitam dan perempuan banyak yang memakai kerudung.
Dua latar belakang keluarga yang berbeda ini memiliki andil membentuk kepribadian Abu.
Sebagai turunan keluarga santri, ia tumbuh jadi anak yang gemar ngaji. Namun, berbeda dengan santri lain, Abu termasuk anak yang kritis. Suatu ketika Abu saat mau salat memakai celana panjang. Ustadnya mengingatkan agar menggantinya dengan sarung. Namun, Abu justru bertanya. “Apa Kanjeng Nabi Muhammad kalau salat juga pakai sarung, ustad?” “Cilik-cilik wis Muhammadiyah!”, jawab sang ustad kesal.
Hal serupa terjadi saat ia pamit mau sekolah ke IKIP Bandung. Neneknya menyampaikan pesan dari ustadnya, “Hati-hati di kampus ya, nanti jadi Muhammadiyah.” Padahal pada usia itu Abu belum mudheng soal Muhammadiyah. Oleh karena itu, ketika pada tahun 1995 Abu terpilih menjadi Ketua PW Muhammadiyah Jateng, beliau ingat ustadnya di masa kecil. Abu mengakui ini berkat “doa” sang ustad itu, “Cilik-cilik wis Muhammadiyah.”
Tentu saja saya terbahak mendengar candanya. Abu hanya tersenyum tipis sambal membetulkan kaca matanya.
Entah siapa yang mengundang (mungkin Prof. Eko Budihardjo), Abu sering hadir dalam
kegiatan-kegiatan Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT). Bahkan saat rapat-rapat pendirian DKJT tahun 1993, Abu yang selalu mengaku bukan seniman itu menyumbangkan sejumlah pikiran dan gagasannya. Tentu saja dengan tak lupa menyelipkan humor di sana-sini yang membuat Prof. Eko, Darmanto Jatman, Bambang Sadono, dan Wakil Gubernur Jateng saat itu Soejamto, tertawa seraya bertepuk tangan.
Selamat jalan, Prof. Abu Suud.
*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah. st
GIPHY App Key not set. Please check settings