in ,

Laju Inflasi di Bulan Suci

Gunoto Saparie

Oleh Gunoto Saparie

Setiap menjelang dan selama bulan Ramadan,  sampai Lebaran, selalu ada kecenderungan inflasi akan naik. Hal ini bahkan bisa berlangsung sampai Lebaran usai, meskipun akan mereda sebulan setelahnya. Bahan pangan yang rentan naik harganya saat bulan Ramadan adalah daging dan sembako. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pada April 2019, terjadi inflasi sebesar 0,44 persen. Angka itu lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 0,11 persen. Salah satu pemicunya adalah kenaikan tarif udara yang memberi andil ke inflasi sebesar 0,03 persen. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, kelompok bahan makanan menyumbang inflasi terbesar dengan andil 0,31 persen. Kenaikan harga pada kelompok ini rata-rata mencapai 1,45 persen.

Memang, paling tidak ada tiga komoditas kontributor inflasi yang menjadi langganan di bulan Ramadan dan Lebaran, yakni bahan makanan, makanan dan minuman, dan transportasi. Tahun 2018 bahan makanan dan makanan jadi seperti beras, daging, daging ayam ras, telur ayam ras, dan bumbu dapur adalah pemicu inflasi pangan. Oleh karena itu, kalau pemerintah masih saja melakukan kebijakan seperti pada tahun-tahun sebelumnya, maka lonjakan inflasi akan kembali terjadi di tahun 2019. Boleh dikatakan selama ini tidak ada Bulan Suci tanpa inflasi.

Inflasi menurut teori ekonomi adalah suatu keadaan terjadinya kenaikan harga barang-barang secara umum dan terus menerus berkai­tan dengan mekanisme pasar (permin­ta­an dan penawaran). Secara umum ada dua faktor penyebab inflasi, yaitu yang di­kenal dengan istilah cost push inflation dan demand pull inflation. Cost push inflation secara singkat dapat diartikan dengan inflasi yang ter­jadi akibat kenaikan biaya suatu ko­mo­ditas. Sedangkan demand pull inflation me­rupakan inflasi yang terjadi karena me­ningkatnya permintaan barang dan jasa oleh masyarakat, yang biasanya terjadi pada saat-saat tertentu. Satu contohnya ada­lah inflasi yang terjadi saat bulan Ramadan.

Berdasarkan teori inflasi dan fakta yang selama ini terjadi, tingginya ang­ka inflasi karena melonjaknya per­min­taan masyarakat terhadap barang-ba­rang kebutuhan selama bulan puasa. Atau dengan kata lain, bisa dikatakan bah­wa masyarakat Indonesia lebih ba­nyak menghabiskan uangnya pada bulan Ramadan dibanding bulan lainnya. Bukankah di bulan Ramadan kita sedang berpuasa dan diajarkan untuk mengendalikan hawa nafsu, namun menga­pa justru tingkat konsumsi barang dan jasa malah meningkat? Suatu pertanyaan yang membuat kita tertegun.

Memang, seharusnya Ramadan adalah bulan pengendalian diri. Tentu termasuk di dalamnya pengendalian konsumsi. Namun, faktanya justru berkebalikan. Pertemuan momentum religi dengan tradisi budaya menjadikan Ramadan merupakan hajatan nasional. Gairah “perayaan” menumbuhkan potensi pasar. Permintaan barang dan jasa meningkat. Uang beredar lebih banyak dan cepat. Imbasnya, nilai riil uang merosot. Harga mayoritas barang dan jasa melonjak.

Inflasi musiman sepanjang Ramadan disusul Lebaran agaknya memang tak mungkin dihindari. Ia bahkan cenderung menjadi keniscayaan. Oleh karena itu, pemerintah pada Ramadan dan Lebaran tahun ini diharapkan mampu menekan inflasi ke titik yang sangat rendah.  Kita tahu, kompleksitas persoalan perekonomian yang harus dihadapi pemerintah sudah terlalu rumit. Gejolak kecil, termasuk di dalamnya sebagai akibat inflasi Ramadan,  harus bisa diatasi. 

Permintaan barang dan jasa meningkat sejak menjelang Ramadan sampai setidaknya sepuluh hari setelah Lebaran. BPS mencatat peningkatan permintaan secara rata-rata terutama didominasi oleh barang kebutuhan pokok seperti beras, aneka daging, dan aneka bumbu. Peningkatan permintaan didorong oleh kecenderungan budaya konsumtif sesaat sebagai bagian dari semangat perayaan.  Di samping itu, kewajiban konstitutif pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kepada tenaga kerja dan masifnya kiriman uang dari tenaga kerja di luar negeri menyebabkan jumlah uang yang beredar di masyarakat meningkat.

Sesungguhnya desentralisasi pemerintahan memungkinkan masing-masing kepala daerah lebih aktif menjaga perekonomian masing-masing daerah dari ancaman inflasi. Fungsi ini dijalankan oleh Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang kemudian bersinergi antardaerah untuk mengefektifkan sistem deteksi harga dan memperlancar jalur pasokan barang.

*Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Wilayah Jawa Tengah

Written by Jatengdaily.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Rakerda Kwarda Pramuka Jateng Agendakan Jambore Daerah

ATM Beras Solusi Pemkot Bantu Warga Tak Mampu