in

Pengarang Perempuan Kini Lebih Berani

Suasana acara Bianglala Sastra di Semarang TV dengan topik Ibu dalam Sastra Indonesia. Dari kiri: Driya Widiana MS, Sri Humaini Adisusilo, dan Gunoto Saparie. Foto:dok


SEMARANG (Jatengdaily.com) – Para pengarang perempuan kini lebih berani dalam mengemukakan gagasan dan pikiran mereka melalui karya-karya sastra. Bahkan dalam penggambaran seksualitas sekarang lebih terbuka. Hal itu bisa dilihat dari karya-karya Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan lain-lain. Tidak seperti para pengarang periode awal kesusastraan Indonesia, misalnya Selasih, Maria Amin, atau Hamidah, yang masih menganggap soal seks sebagai hal tabu.

Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) Gunoto Saparie mengatakan hal itu pada acara Bianglala Sastra di Semarang TV dengan topik Ibu dalam Sastra Indonesia belum lama ini.

Acara yang dipandu oleh Ketua Kumandang Sastra Driya Widiana MS itu menghadirkan pula wartawan senior dan aktivis perempuan Sri Humaini Adisusilo. Topik tersebut berkaitan dengan peringatan Hari Ibu 22 Desember. Tampil menyelingi perbincangan itu Nugroho Wahyu Utomo dan Uun membacakan beberapa puisi karya mereka.

Menurut Gunoto, sejak dulu para pengarang perempuan sangat sedikit. Masih bisa dihitung dengan jari tangan. Boleh dikatakan kita mengalami paceklik pengarang perempuan. Sastrawan Indonesia sejak dulu didominasi oleh para pengarang laki-laki. Celakanya, sampai sekarang masih ada pandangan diskriminatif terhadap pengarang perempuan.

“Hal itu tak terlepas dari pembagian kerja secara seksual yang sebenarnya diciptakan oleh kaum lelaki. Seakan sudah merupakan kodrat kalau perempuan itu tempatnya di sektor domestik, sedangkan lelaki di sektor publik,” tandasnya seraya menambahkan banyak perempuan ketika lajang aktif mencipta karya sastra, namun begitu mereka berumah tangga justru tak lagi terlihat aktivitasnya di kepenulisan.

Sri Humaini menambahkan, rubrik opini dan kewanitaan di surat kabar tempat dulu ia bekerja para penyumbang tulisannya tidak banyakperempuannya. Namun, para perempuan agaknya baru tergerak untuk menulis yang sifatnya tematik. Misalnya ketika Hari Kartini atau Hari Ibu. Banyak perempuan yang mengirimkan karya-karya artikel atau sastranya ke media massa dengan tema keperempuan.

“Memang harus diakui, masalah atau isu perempuan selalu menarik di media massa,” ujarnya.

Gunoto dan Humaini sependapat mengenai pentingnya pengarusutamaan gender di segala bidang, termasuk kesusastraan dan jurnalistik. Apalagi sampai hari ini pernyataan yang bersifat bias gender tidak hanya datang dari kaum lelaki, tetapi juga kalangan perempuan sendiri.Hal ini karena ideologi patriaki memengaruhi dalam penulisan dan cara pandang dalam membuat suatu karya sastra.

“Dominasi patriarki dalam dunia sastra Indonesia memberikan pengaruh terhadap cara pandang dan penempatan perempuan sebagai pengarang maupun sebagai tema karya..Karena itu perlu para sastrawan Indonesia, terutama di Jawa Tengah, perlu didorong untuk menulis karya-karya yang memiliki perspektif feminisme,” kata Gunoto. Ugl–st

Written by Jatengdaily.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Pemkot Raih Penghargaan Tertinggi pada IRSA Award 2019

Lima Organisasi Islam Sepakat Bentuk Sekber