Penutupan Lokalisasi SK Tinggal Menunggu Ketok Palu

0

\SEMARANG (Jatengdaily.com)   – Lokalisasi yang kondang di Kota Semarang dan melekat dengan nama Sunan Kuning kini tinggal beberapa hari lagi bakal tinggal kenangan. Penutupan praktik prostitusi yang dulu juga sempat  pernah dikenal ‘Kali Banteng Belok Kiri’ kini hampir tinggal menunggu detik-detik ketok palu dari Pemkot Semarang.

Kendati masih tarik ulur soal rencana penutupan, namun tetap membuat gusar bagi para penghuni Sunan Kuning, baik warga binaan atau para wanita pekerja seks (WPS), warga asli, bahkan sampai kegelisahan menyelimuti budayawan.

“Sunan Kuning adalah salah satu ciri khas dari Kota Semarang,” kata Bambang Iss Wirya, budayawan Kota Semarang.

Menurut Bambang, terlepas dari stigma negatif sebagai tempat pelampiasan syahwat lelaki hidung belang, Sunan Kuning merupakan identitas penanda jejak sejarah pengelolaan prostitusi yang telah dilokalisir dan tertata dengan baik.

“Sejarahnya panjang. Orang mendengar nama Sunan Kuning, pasti yang dituju Semarang. Lepas dari sebutan negatif, itu juga bagian  mengenalkan Kota Semarang,” ucapnya.

Dia mengaku gelisah, ikon tersebut bakal hilang. Karena itu, dia mencoba ‘mengabadikan’ sejarah nama Sunan Kuning dalam bukunya yang berjudul Ough ! Sunan Kuning (1966-2019). Berisi sejarah perjalanan Sunan Kuning hingga sekarang.

“Prostitusi di Semarang mengalami evolusi, tahun 1960 an ada tersebar di beberapa spot, di Gendingan, Bojong, Stadion, dan lainnya. Pemkot menerima keresahan masyarakat, lalu di lokalisir,” katanya.

Dalam bukunya dia menceritakan, awal lokalisir prostitusi ditempatkan di sebuah daerah bagian paling jauh di pinggiran Kali Banteng pada tahun 1963. Tempat itu, kata Bambang, dahulu masih padang ilalang, baru beberapa rumah tak ada listrik. Hanya penerangan lampu teplok.

“Warga protes banyak rumah gubuk dirobohkan, karena di situ ada sumber air Kali Garang, warga khawatir kali bisa tercemar akibat aktivitas itu,” katanya.

Wali Kota Semarang saat itu, Hadi Subeno, kemudian memindahkan di Jalan Sri Kuncoro (lokasi saat ini). Dari situ muncullah embrio nama Sunan Kuning yang awalnya dinamakan Sri Kuncoro, sesuai nama jalan di tempat itu. Di situ juga mendapat protes warga karena nama jalan perkampungan diidentikkan sebagai tempat prostitusi.

“Diprotes akhirnya Wali Kota Hadi Subeno mengganti nama Resosialisasi Argorejo, berjalannya waktu nama SK merujuk pada Sunan Kuning yang dilekatkan pada sebuah makam ulama Muslim Tionghoa Soen An Ing,” katanya.

Makam itu berjarak sekitar 100 meter dari Resos Argorejo. Melalui Wali Kota Semarang saat itu Hadi Subeno, diterbitkan SK Nomor 21/15/17/66, menetapkan komplek Argorejo sebagai lokalisasi. Penempatan resminya pada 29 Agustus 1966 dan tanggal itu diperingati Hari Jadi Resosialisasi Argorejo.

“Meski begitu, masih banyak PSK yang kembali ke jalanan, terutama di sekitar Simpang Lima Semarang. Mereka dinamai gadis Ciblek,” katanya.

Nama Ciblek sempat booming pada tahun 1981 sampai 1982, disebut pula gadis poci, karena saat itu di sekitar Jalan Pandanaran sampai Simpang Lima banyak berdiri warung pinggiran yang menjajakan minuman teh poci.

“Modusnya, pemilik warung menjual minuman poci, yang melayani para ciblek, pembeli langsung bertransaksi dan eksekusi di hotel terdekat lokasi,” katanya.

Fenomena itu meresahkan masyarakat, lalu para gadis Ciblek direlokasi ke kawasan Argorejo. Namun begitu, evolusi prostitusi kembali muncul. Lalu ini dinamakan gadis matik, karena dalam bisnis esek-esek nya itu,  mengendarai kendaraan jenis matik.

“Itu muncul sekitar 2015 sampai sekarang masih ada. Mangkal di Jalan Tanjung, Poncol. Mereka jemput bola, pelanggan mengendari motor matik,” katanya.

Terkini, evolusi prostitusi di Kota Semarang hampir dipastikan akan mengalami mandek. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengeluarkan ultimatum untuk segera ditutup komplek prostitusi seluruh Indonesia pada 2019.

“Sejarah yang bisa hilang, ikon kota Semarang akan hilang, simbol khas Semarang akan hilang, tapi saya yakin ini (prostitusi) masih jalan, tapi pakai nama lain, di Dolly meski tutup tapi masih ada aktivitas,” katanya. Ugl–st

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *