Perda Bahasa Jawa Tak Bergigi

SEMARANG (Jatengdaily.com) – Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa (yang sering disebut sebagai Perda Bahasa Jawa) ternyata tidak bergigi alias ompong. Akibatnya, ketika amanat dari sejumlah pasal perda itu tidak dapat dilaksanakan, kita tidak bisa berbuat apa-apa karena tak ada sanksi bagi yang memiliki kewajiban melaksanakan. Perda itu boleh dikatakan tanpa materi muatan yang bersifat pengaturan

Hal itu dikemukakan Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) Gunoto Saparie ketika berbicara tentang evaluasi pelaksanaan Perda Bahasa Jawa itu pada acara Bianglala Sastra Semarang TV di Ngesrep beberapa waktu lalu.

Dipandu oleh Driya Widiana MS, hadir juga sebagai narasumber pengamat budaya Jawa Prof Dr Teguh Supriyanto MHum dan mantan Wakil Ketua Badan Legislasi Daerah DPRD Jawa Tengah Zaenal MZ. Kegiatan itu juga diselingi pembacaan geguritan (puisi berbahasa Jawa) oleh guru SMAN 1 Pegandon Kendal Firly Kurniawati.

Menurut Gunoto, perda adalah salah satu instrumen hukum yang bersifat mengatur.  Seharusnya perda itu memiliki norma yang melarang subjek yang diatur untuk melakukan sesuatu.  Selain itu harus ada norma yang mengharuskan subjek yang diatur untuk melakukan sesuatu.

“Ada pula norma yang memperbolehkan subjek yang diatur untuk melakukan sesuatu. Bahkan norma yang membebaskan atau memberikan pengecualian subjek yang diatur dari sebuah larangan atau perintah harus tercantum,” tandas penyair ini seraya menunjukkan bagaimana banyak ditemukan rumusan pasal yang tidak mengandung norma yang jelas.

Namun, Teguh Supriyanto yang termasuk pengusul Raperda Bahasa Jawa, menunjukkan sejumlah amanat dari perda itu telah dilaksanakan. Misalnya, peningkatan kualitas tenaga pendidik bidang studi Bahasa Jawa. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng telah melakukan pelatihan terhadap guru mata pelajaran Bahasa Jawa secara rutin. Selain itu pengembangan kurikulum tentang bidang studi Bahasa Jawa yang harus disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Teguh mengakui, ada kemajuan ketika nilai pelajaran Bahasa Jawa tercantum bukan hanya di rapor, namun juga di ijazah. Meskipun demikian Teguh mengusulkan agar Bahasa Jawa masuk dalam ujian nasional.

“Meskipun demikian saya gembira ketika sudah ada penetapan dan pengembangan materi pengajaran bahasa, sastra, dan aksara Jawa dalam kurikulum muatan lokal wajib di setiap jenjang dan satuan pendidikan formal dannon formal,” ujarnya.

Sedangkan Zaenal yang ikut dalam proses pembentukan perda itu mengatakan, Perda Bahasa Jawa berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Sebelum Raperda Bahasa Jawa itu disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur, Komisi E selaku alat kelengkapan yang melakukan pembahasan bersama dengan eksekutif juga telah melakukan konsultasi akhir kepada Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri.

“Hasilnya, Raperda Bahasa Jawa itu dapat disahkan dan diberlakukan karena tidak ada norma-norma yang bertentangan dengan tata peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta Provinsi Jawa Tengah memiliki kewenangan untuk melaksanakan materi muatan yang ada dalam raperda tersebut. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra Jawa untuk memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman, dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.

Baik Gunoto, Teguh, maupun Zaenal sama-sama mengapresiasi penetapan hari Kamis sebagai hari berbahasa Jawa, baik dalam kegiatan pendidikan, pemerintahan, dan kemasyarakatan. Namun, mereka menyayangkan amanat perda tentang perlunya penulisan aksara. Jawa untuk nama-nama tempat, jalan, bangunan yang bersifat publik selain penggunaan bahasa lainnya tidak dilaksanakan sepenuhnya. Padahal hal itu penting bagi upaya pelestarian dan sosialisasi aksara Jawa.

“Upaya mendorong dan memfasilitasi organisasi dan lembaga kemasyarakatan dalam penggunaan, pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara Jawa juga tidak banyak dilakukan. Begitu juga Pemprov Jateng sering absen dalam upaya pemberian penghargaan kepada pihak-pihak yang menunjukkan upaya yangbermanfaat bagi kepentingan penggunaan, pemeliharaan, dan pengembangan bahasa, sastra, dan aksara Jawa,” tandas Gunoto seraya menunjukkan perlunya memperkaya khazanah buku bahasa Jawa di perpustakaan. Ugl—st

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Exit mobile version