Membaca Arah Demokrasi Indonesia

Oleh: Iskandar,
Statistisi Ahli pada BPS Provinsi Jawa Tengah
SEPEKAN terakhir ini, pemberitaan media massa baik cetak maupun online diliputi seputar pro kontra pemberian bintang tanda jasa kepada dua politikus yang cukup terkenal pada saat era pemerintahan Jokowi pertama. Sosok politikus tersebut adalah Fahri Hamzah dan Fadli Zon yang merupakan bagian dari 53 orang lainnya yang dipanggil Jokowi bersama dengan 53 orang lainnya dalam sebuah acara di Istana Negara, Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2020.
Mereka berdua dianugerahi Jokowi Bintang Mahaputra Nararya Penganugerahan bintang tanda jasa dan tanda kehormatan itu dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan ke-75 Republik Indonesia.
Pemberian bintang tanda jasa kepada kedua politikus, Fahri Hamzah dan Fadli Zon menjadi kontroversi karena keduanya adalah pimpinan DPR Periode 2014-2019 yang sangat vocal mengkritisi kinerja pemerintahan pertama Jokowi bersama dengan Jusuf Kalla. Ditinjau dari kesehatan demokrasi maka sebenarnya kritikan yang konstruktif menjadi nutrisi demokrasi sebagai check and balance sehingga jalannya pemerintah tidak melenceng dari arah tujuan yang menjadi visi misi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Presiden Jokowi sendiri pun memberikan pernyataan yang meneduhkan. Beliau mengatakan berbeda dalam politik bukan berarti bermusuhan dalam berbangsa dan bernegara. Ini namanya negara demokrasi dan inilah Indonesia.
Ukuran Demokrasi Indonesia
Pada tanggal 3 Agustus 2020, BPS telah merilis Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2019. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) adalah suatu indikator komposit yang menunjukkan tingkat perkembangan demokrasi di Indonesia. Tingkat capaiannya diukur berdasarkan pelaksanaan dan perkembangan 3 aspek (Aspek Kebebasan Sipil, Aspek Hak-hak Politik dan Aspek Lembaga Demokrasi), 11 variabel (Kebebasan Berkumpul dan Berserikat, Kebebasan Berpendapat, Kebebasan Berkeyakinan, Kebebasan dari Diskriminasi, Hak Memilih dan Dipilih, Partisipasi Politik Dalam Pengambilan Keputusan dan Pengawasan Pemerintahan, Pemilu yang Bebas dan Adil, Peran DPRD, Peran Partai Politik, Peran Birokrasi Pemerintah Daerah, dan Peran Peradilan yang Independen), dan 28 indikator demokrasi. Metodologi penghitungan IDI menggunakan 4 sumber data yaitu : pertama, review surat kabar local; kedua, review dokumen (Perda, Pergub, dll); ketiga, Focus Group Discussion; dan keempat, wawancara mendalam.
Dan IDI 2019 mencapai angka 74,92 dalam skala 0 sampai dengan 100. Pencapaian IDI 2019 ini hampir memenuhi target IDI 2019 pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019 sebesar 75,00. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (IDI 2018) maka terjadi peningkatan sebesar 2,53 poin dari sebelumnya 72,39. Capaian kinerja demokrasi Indonesia ini termasuk kategori sedang. Dimana tingkat demokrasi dikelompokkan menjadi tiga kategori, yakni “baik” (Indeks >80), “sedang” (Indeks 60-80), dan “buruk” (Indeks <60). Dan selama satu dekade sejak IDI dirilis oleh BPS pada tahun 2009, nilai demokrasi Indonesia terus mengalami perbaikan dan peningkatan, dari mulai 67,30 (2009) menjadi 74,92 (2019). Hal ini menunjukkan proses demokrasi Indonesia mengalami pendewasaan diri dan ini menjadi modal kuat bagi Indonesia untuk melangkah menjadi negara maju.
Pencapaian IDI 2019 ini perlu ditingkatkan lagi pada tahun-tahun selanjutnya dengan mempertimbangkan dan mengevaluasi 28 indikator yang menjadi ukuran pencapaian IDI 2019. Pada IDI 2019, terdapat 15 indikator yang memiliki skor dengan kategori “baik”, 7 indikator dari aspek Kebebasan Sipil (Indikator 2: ancaman/penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berkumpul dan berserikat; indikator 5: aturan tertulis yang membatasi kebebasan menjalankan ibadah agama; indikator 6: tindakan/pernyataan pejabat pemerintah yang membatasi kebebasan menjalankan ibadah agama; indikator 7: ancaman/penggunaan kekerasan dari kelompok masyarakat terkait ajaran agama; indikator 8: aturan tertulis yang diskriminatif dalam hal gender, etnis atau terhadap kelompok rentan lainnya; indikator 9: tindakan/pernyataan pejabat pemerintah yang diskriminatif dalam hal gender, etnis atau terhadap kelompok rentan lainnya; indikator 10: ancaman/penggunaan kekerasan oleh masyarakat karena alasan gender, etnis atau terhadap kelompok rentan lainnya), tiga indikator dari aspek Hak-hak Politik (indikator 11: hak memilih atau pilih terhambat; indikator 12: ketiadaan/kekurangan fasilitas sehingga penyandang cacat tidak dapat menggunakan hak memilih; indikator 14/partisipasi pemilih dalam pemilu) dan lima indikator dari aspek Lembaga Demokrasi (indikator 18: netralitas penyelenggara pemilu; indikator 19: kecurangan dalam penghitungan suara; indikator 24: persentase perempuan pengurus partai politik; indikator 27: keputusan hakim yang kontroversial; indikator 28: penghentian penyidikan yang kontroversial oleh jaksa atau polisi). Kelima belas indikotor tersebut perlu dipertahankan dan ditingkatkan lagi.
Di sisi lain masih ada 6 indikator demokrasi dengan kategori “buruk”. Kenam indikator tersebut meliputi indikator 4: ancaman/penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat (aspek Kebebasan Sipil); indikator 15: persentase perempuan terpilih terhadap total anggota DPRD Provinsi; indikator 16: demonstrasi/mogok yang bersifat kekerasan (aspek Hak-hak Politik); indikator 21: Perda yang merupakan inisiatif DPRD; indikator 22: rekomendasi DPRD kepada eksekutif dan indikator 26: upaya penyediaan informasi APBD oleh Pemerintah Daerah (aspek Lembaga Demokrasi). Dan pada tahun ini perlu menjadi perhatian serius dari pemerintah dan semua elemen masyarakat agar capaian keenam indikator tersebut bisa diperbaiki dan nilainya bisa menjadi kategori “sedang” bahkan “baik” sehingga secara keseluruhan nilai IDI Indonesia bisa dikategorikan “baik”. Jatengdaily.com-yds