Loading ...

Pertanian Jawa Tengah dan Bayangan Resesi

0
m fatichudin

Oleh: Moh. Fatichuddin
Kepala Bidang Statistik Produksi BPS Provinsi Bengkulu
(putra Bumiayu Brebes)

SANGATLAH tepat kiranya pada saat memperingati Kemerdekaan Indonesia yang ke-75 ini Jawa Tengah juga tidak melupakan hari jadinya ke 70 (tepatnya 15 Agustus). Semangat kemerdekaan yang ada dalam diri ini dapat menjadi energi positif dalam tindakan dan sikap untuk membangun Jawa Tengah menghadapi ancaman resesi ekonomi.

Berdasar penghitungan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah yang dirillis di awal bulan Agustus 2020, pada triwulan II 2020 perekonomian Jawa Jengah mengalami konstraksi sebesar 5,94 persen. Angka yang lebih tajam jika dibandingkan dengan nasional konstraksi 5,32 persen. Kalau kita lihat dari rillis BPS Provinsi Jawa Tengah di triwulan II 2020 tersebut dapat diketahui bahwa selama beberapa tahun terakhir (2017-2020) pertumbuhan ekonomi secara triwulanan Jawa Tengah berada pada posisi di bawah angka nasional. Kondisi yang perlu mendapat perhatian dari stakehokder di Jawa Tengah sehingga tidak berlangsung berkepanjangan.

Dalam kesempatan ini penulis tidak akan membahas keterbandingan pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah dibanding nasional, tetapi penulis ingin membahas mampukah sektor pertanian di Jawa Tengah bertahan tumbuh positif di bawah bayangan resesi ekonomi yang sangat mungkin akan terjadi. Seperti diketahui dalam rillis tersebut menuliskan bahwa sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang masih tumbuh positif di triwulan II 2020 yaitu tumbuh sebesar 2,15 persen (yoy), mendampingi sektor informasi dan komunikasi kemudian jasa kesehatan dan kegiatan sosial, yang masing-masing tumbuh 18,79 persen dan 7,12 persen.

Pertumbuhan sektor informasi dan komunikasi sangat mungkin sebagai dampak dari penerapan PSBB di masyarakat. Masyarakat tidak dimungkinkan berinteraksi maksimal secara fisik tapi lebih memanfaatkan teknologi informasi. Sedangkan jasa kesehatan dan kegiatan sosial tumbuh karena implikasi secara langsung dari wabah COVID-19, baik tindakan penyembuhan ataupun pencegahannya. Sedangkan pertanian, masih positifnya pertumbuhan sektor pertanian sangatlah menarik dan sangat mungkin akan menjadi penambah semangat dalam mengarungi bayang-bayang resesi ekonomi di era new normal.

Penerapan protokol kesehatan ini kalau dikaitkan dengan proses bisnis sektor pertanian maka sangat mungkin kecil pengaruh negatifnya. Protokol kesehatan dalam era new normal sekarang ini meminta kita untuk mejaga jarak dengan manusia lain, selalu memakai masker saat di luar rumah dan ketentuan lainnya sehingga dapat meminimalkan penyebaran COVID-19. Kegiatan pertanian merupakan kegiatan yang cenderung didominasi dengan interaksi dengan alam, sehingga minim bersinggungan fisik dengan petani lain.

Potensi Alamiah
Pertanian merupakan sektor yang tidak hanya dipengaruhi oleh petani dengan kemampuan bertaninya tetapi juga sangat bergantung dengan alam, baik berupa alam yang berujud seperti lahan, air, bentangan hutan dan laut ataupun alam yang hanya bisa dirasa berupa cuaca. BMKG memprediksi bahwa cuaca di 2020 akan sangat mendukung kegiatan pertanian. Meski terjadi kemarau yang puncaknya menurut perkiraan akan terjadi di bulan Agustus, namun kemarau tersebut tidak seburuk tahun sebelumnya. Kemarau di 2020 masih akan diselingi turunnya hujan, sehingga sering dikenal dengan kemarau basah.

Secara geografis Jawa Tengah yang berada di tengah-tengah pulau Jawa dianugerahi oleh Sang Pencipta potensi alam yang sangat istimewa untuk pertanian. Ketersediaan lahan maupun airnya yang melimpah menjadikan bekal awal Jawa Tengah lumbung pangan.

Sebaran potensi pertanian Jawa Tengah dapat dikatakan lengkap di seluruh sub sektor pertanian, mulai dari tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan maupun kehutanan. Pada sub sektor tanaman pangan, Jawa Tengah menjadi lumbung nasional untuk beras, penghasil beras terbesar pada tahun 2019. Provinsi Jawa Tengah, dengan luas panen 1,7 juta ha menghasilkan padi 9,6 juta ton GKG atau setara 5,5 juta ton beras. Beberapa kabupaten di eks karesidenan Surakarta dikenal sebagai segi emas penghasil beras, karena tingginya produktivitas dari padi yang dihasilkan. Di pesisir utara Jawa Tengah merupakan pensuplai beras untuk pulau Kalimantan dan sekitarnya, serta pusat-pusat pasar beras di Ibu Kota Jakarta.

Di komoditi pangan lainnya, Jawa Tengah menjadi penghasil jagung terbesar ke dua setalah Jawa Timur. Pusat produksi jagung berada di Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Wonogiri. Untuk Ubi kayu Jawa Tengah juga menempati posisi ke dua setelah Jawa Timur. Tenggara Jawa Tengah ada Kabupaten Wonogiri yang dikenal sebagai sentra Ubi Kayu, hampir 25 persen produksi Ubi Kayu Jawa Tengah disumbangkan oleh Wonogiri. Sehingga di wilayah Gunung Kidul pun dibangunlah industri pengolahan ubi kayu untuk menampung produksi dari Wonogiri. Untuk komoidti kacang-kacangan tidak diragukan lagi kalau Jawa Tengah akan sangat membutuhkan karena adanya industri kacang di pesisir pantura Jawa Tengah.

Wilayah Jawa Tengah yang juga dikelilingi oleh gunung berapi dan pegunungan, sehingga sangatlah mendukung untuk pertanian hortikultura. Seperti dikenal daerah Tawangmangu Kab Karanganyar selain sebagai destinasi wisata juga merupakan sentra hortikultura baik untuk sayuran maupun tanaman hias. Bandungan Kab Semarang, Baturaden Kab Banyumas, Dataran Dieng Kab. Wonosobo dan Objek Wisata Guci di Kab. Tegal menjadi beberapa lokasi yang dikenal sebagai destinasi wisata dan penghasil produk hortikultura.

Untuk peternakan Jawa Tengah dikenalkan dengan sentra produksi susu sapi di sekitaran wilayah Kab. Boyolali, Kota Salatiga dan sekitarnya. Wilayah eks karesidenan Surakarta dikenal juga sebagai pemasok ternak besar untuk konsumsi daging ibu kota. Kalau diperhatikan di wilayah tersebut terjadi simbiosis mutualisme antara peternakan dengan komoditas lain. Kotoran ternak sapi digunakan untuk pupuk organik, sementara pelepah pisang, daun ubi kayu atau yang lainnya menjadi pakan ternak sapi. Tidak kalah dengan ternak besar, peranan ternak unggas yang ditunjukkan dengan adanya perusahaan/petani ternak unggas dihampir 35 kab/kota di Jawa Tengah.

Kehutanan dan perikanan Jawa Tengah juga sangat berpotensi, pesisir utara dan selatan Jawa Tengah menghampar pantai laut yang kaya. Nilai ekonomis dari produk laut menjadikan usaha di sektor ini bak madu. Di pesisir utara Jawa Tengah, Kota Tegal selain berdiri tempat pelelangan ikan juga memiliki lembaga pendidikan kelautan yang tidak pernah sepi dari peminat, lembaga yang mempersiapkan pemuda-pemuda menjadi pelaut handal. Di wilayah sekitarnya banyak pemuda memilih “mayang” menjadi pelaut dari pada bekerja di sektor lain.

Kehutanan Jawa Tengah tidak dapat dipandang sebelah mata, bagaimana tanaman Jati tumbuh dengan gagahnya, keindahan tanaman pinus dapat dinikmati juga sebagai destinasi wisata. Sinergi antara kehutanan dan tanaman pangan di beberapa wilayah melahirkan berbagai istilah seperti “pesanggem”, petani memanfaatkan lahan kehutanan saat tanaman tegakannya masih muda dengan menanam jagung atau padi ladang. Petani bertanggung jawab terhadap keberlangsungan tanaman tegakannya.

SDM dan Teknologi
Pelaku usaha pertanian juga menjadi potensi yang dapat diaharapkan untuk menghadapi ancaman resesi. Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) BPS bulan Februari 2020 menyebutkan sekitar 26,06 persen dari penduduk Jawa Tengah yang bekerja itu di sektor pertanian, betapa besar Sumber Daya Manusia (SDM) yang mendukung di belakang pertanian. Sebuah “energi potensial” yang sangat besar, keberhasilnya tergantung pada pengelolaan para stakeholdernya.

Berbicara SDM, di samping sebagai subjek pelaku kegiatan mereka juga sekaligus sebagai objek pasar yang sangat potensial juga. Jumlah penduduk lebih dari 34 juta merupakan angka yang sangat signifikan untuk menjadi pasar produk pertanian. Kebutuhan pangan penduduk terus bertambah, jenis dan ragam makanan terus berkembang. Kondisi tersebut sangat menguntungkan bagi pertanian, sekaligus sebuah tantangan bagi petani untuk terus menambah hasil pertaniannya.

Namun demikian janganlah dilupakan tentang kesejahteraan petani, kondisi yang dapat menjadi penambah semangat petani dalam kegiatan menghasilkan produk pertaniannya. Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai salah satu indikator kesejahteraan petani menunjukkan bahwa sampai bulan Juli 2020 petani Jawa Tengah masih menikmati kesejahteraan, dengan angka NTP 100,77 di atas angka nasional yang sebesar 100,09 namun turun 0,33 jika dibandingkan dengan bulan Juni 2020. Jika dicermati sampai tingkat sub sektornya, maka peternakan dan perikanan perlu mendapat perhatian karena angka masih di bawah 100 (peternakan Juni-Juli, sedangkan perikanan Juli). Stakeholder di Jawa Tengah harus jeli dalam pengelolaan petani ini sehingga mereka dapat optimal.

Dalam pengelolaan stakeholder, Jawa Tengah sangat diuntungkan dengan banyaknya lembaga pendidikan mulai tingkat menengah sampai perguruan tinggi yang ada. Keberadaan mereka dapat membantu para petani dalam pengembangan proses bisnis pertaniannya. Melalui penelitian-penelitian yang dilakukan oleh mereka diharapkan melahirkan inovasi-inovasi dalam pertanian. Bagaimana pemanfaatan benih, pupuk, pemberantasah hama, proses panen dan pasca panennya serta pemanfaatan teknologi dalam pemrosesan hasil.

Pemanfaatan teknologi yang mungkin sudah terasa adalah pada kegiatan penanaman benih padi dan proses pemanenan. Kita dapat menyaksikan bagaimana mesin menanam padi sehingga keteraturan jarak tanam dapat terjaga. Keteraturan jarak tanam tersebut akan memudahkan tanaman dalam menyerap makanan dalam tanah, tidak terjadi perebutan antar tanaman. Terdistribusikannya makanan dengan baik pada tanaman akan berdampak pada tingginya hasil panen. Kemudian teknologi yang lain adalah mesin melakukan pemanenan sekaligus perontokkan dalam waktu yang sama, proses pemanenan ini sangat mungkin akan meminimalkankan jumlah gabah yang hilang.

Regulasi yang Berpihak Petani
Tak kalah pentingnya dalam pengelolaan pertanian adalah peran pemerintah dalam menghasilkan regulasi-regulasi yang berpihak kepada petani. Regulasi yang dihasilkan adalah regulasi terkini, sudah mempertimbangkan kondisi pandemic COVID-19. Menurut para ahli pandemik COVID-19 belum dapat dipastikan kapan berakhirnya, sehingga kita dipaksa untuk berdampingan dengan covid -19 tersebut. Era new normal menjadi istilah yang “manis” saat ini dengan protokol kesehatan harus selalu dipatuhi, sperti diungkapkan sebelumnya.

Regulasi pemerintah hendaknya menyentuh sisi hulu dan hilirnya pertanian. Berawal dari regulasi lahan pertanian yang diusahakan, melihat kesesuaian dan fungsinya lahan pemerintah dapat menentukan lahan mana yang harus dipertahankan kelanjutannya untuk usaha pertanian. Pertambahan penduduk dan perkembangan kegiatan ekonomi akan memerlukan pijakan lahan. Ketegasan dan komitmen pemerintah dalam pemanfaatan lahan sangat diperlukan sehingga alih fungsi lahan (konversi) dapat diminimalkan dampaknya terhadap pertanian. Mengingat ancaman konversi lahan tersebut, mungkin pemerintah perlu mengeluarkan regulasi adanya “intensif” bagi petani agar mereka mempertahankan fungsi lahannya tidak menjadi fungsi selain pertanian.

Mekanisme penyediaan benih, pupuk, alat-alat pertanian serta bagaimana penyalurannya sangat penting. Mekanisme yang tepat waktu dan tepat tempat harus menjadi perhatian, sehingga saat petani memerlukannya dapat dipenuhi pada saat yang tepat dan sesuai tempatnya. Jangan lupa pula adalah proses pembinaan petani oleh pemerintah yang biasanya dilakukan oleh para penyuluh. Petugas penyuluh terus mengembangkan pengetahuannya sehingga petani mendapat ilmu yang terbaru dan lebih manfaat tentunya. Perguruan tinggi atas permintaan pemerintah melakukan penelitian dan hasilnya disampaikan kepada para penyuluh untuk di teruskan kepada petani. Dengan kebijakan ini sangat memungkinkan petani melakukan “upgrade” pengetahuan dan teknik pertanian. Peninglatan kemampuan petani ini akan menghasilkan produk pertanian yang optimal dan sesuai pasar.

Terkait pasar, pemerintah juga harus intervensi dengan regulasinya. Pandemi COVID-19 sangat tidak memungkinkan bagi petani untuk “bergerak” dalam proses pasca panennya. Dengan berbagai aturan yang membatasi di era new normal dan kekhawatiran tertularnya virus covid-19, maka petani sangat membutuhkan peranan pemerintah untum memasarkan produk. New normal sangat erat dengan teknologi, lompatan yang sangat “ekstim” telah dilakukan menausia delam kehidupan. Namun demikian sangat diyakini teknologi tersebut belum menyentuh semula lapisan petani. Dari 5,26 juta petani di Jawa Tengah yang tercatat dalam Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018 oleh BPS, hanya sekitar 14 persen dari jumlah tersebut memanfaatkan internet dalam usaha pertaniannya. Dari kondisi ini sangat jelas perlunya intervensi dari pemerintah dalam pelaksanaan proses pasca panannya hingga sampai ke tangan konsumen.

Meskipun demikian regulasi pemerintah juga harus menjamin tercapainya pertanian yang keberlanjutan (sustainable agriculture). Pertanian yang peduli dengan lingkungan sehingga kelestarian lingkungan akan terjaga. Stabilitas ekosistem alam yang mencakup sistem kehidupan biologis dan materi alam. Terpeliharanya keragaman hayati dan daya lentur biologis atau sumberdaya genetik, sumber air dan agroklimat, sumberdaya tanah, serta kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Pertanian yang menguntungkan secara ekonomi bagi petani, adanya peningkatan nilai tambah dan daya saing serta efisiensi sehingga tercapai kesejahteraan. Sustainable agriculture akan mengarah pada pertanian yang mewujudkan keharmonisan masyarakat, tidak terjadi konflik dalam masyarakat.

Sinergi antara petani, pemerintah daerah, Lembaga Pendidikan di Jawa Tengah akan menghasilkan pertahanan yang maksimal dari pertanian terhadap gempuran resesi ekonomi akibat wabah COVID-19. Jatengdaily.com-yds

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Exit mobile version