Banjir Rob di Kota Pekalongan, Sebuah Ironi, dan Ikhtiar Pemerintah

Oleh: Nurul Kurniasih, SST
ASN BPS Kota Pekalongan
BANJIR rob kembali melanda Kota Pekalongan dan kini debit air semakin meninggi akibat guyuran air hujan yang cukup deras sejak hari Minggu (14/11). Rob bukanlah hal baru di Kota Pekalongan, karena sejak 8 tahun terakhir luapan air laut ini seperti tak pernah luput menyapa kediaman warga kota batik.
Sesuatu yang sebenarnya sudah mulai dianggap ‘normal’ oleh sebagian warga Kota Pekalongan ini, kini harus diwaspadai. Pasalnya, pada dua tahun terakhir ini wilayah Kota Pekalongan yang terdampak rob semakin meluas. Banjir rob yang biasanya terjadi hanya ketika air laut mengalami pasang, kini sudah tak mengenal waktu lagi. Hampir setiap hari banjir rob menyapa. Minggu ini ratusan rumah terendam banjir rob hingga ketinggian 50 – 60 sentimeter.
Wilayah terdampak rob pun bukan hanya wilayah yang berbatasan langsung dengan pantai seperti kelurahan Panjang Baru, Panjang Wetan, Krapyak dan Degayu di Kecamatan Pekalongan Utara. Wilayah yang tidak berbatasan langsung dengan pantai pun kini tak luput dari serbuan air rob, seperti kelurahan Padukuhankraton dan Bandengan di Kecamatan Pekalongan Utara, kelurahan Tirto dan Pringrejo di Kecamatan Pekalongan Barat. Kelurahan Klego, Gamer, Setono dan Kauman di Kecamatan Pekalongan Timur pun begitu.
Begitu besar kerugian yang dialami masyarakat akibat seringnya mengalami banjir rob. Kerusakan rumah, barang-barang elektronik dan kendaraan bermotor adalah kerugian yang tampak langsung secara fisik. Kini, di pesisir Kota Pekalongan sudah makin lazim dengan munculnya ‘’rumah pendek’’, yaitu rumah dengan ketinggian atap kurang dari 1,5 meter. Banyaknya ‘’rumah pendek’’ ini tak lain dan tak bukan karena setiap tahun ketinggian banjir rob yang menahun semakin bertambah, sehingga warga melakukan pengurukan lantai rumahnya, namun karena keterbatasan kondisi ekonomi, mereka tak mampu untuk melakukan peninggian atap.
Selain contoh kerusakan-kerusakan fisik tersebut, seringnya terjadi banjir rob juga memberikan efek buruk pada kerusakan nonfisik, misalnya kesehatan masyarakat. Kondisi lingkungan yang nyaris selalu tergenang, becek dan lembab membuat kesehatan masyarakat pun menurun. Kondisi sanitasi yang memburuk dan kelangkaan air bersih juga berpengaruh terhadap kondisi kesehatan masyarakat. Efek buruk lainnya di bidang nonfisik yaitu pada skala psikologis. Perubahan psikologis ini tidak hanya terjadi pada orang dewasa yang sudah jenuh dengan seringnya sapaan banjir rob, efek buruk psikologis juga terjadi pada anak-anak karena mereka kehilangan kebebasan dan tempat bermain yang nyaman.
Di bidang ekonomi, efek buruk terjangan rob yang tak kujung usai tentu lebih terasa. Kerusakan fasilitas umum seperti jalan yang semakin hari makin hancur akibat tergerus air, fasilitas perdagangan yang tergenang, hilangnya lahan pertanian, rusaknya tambak akibat tergerus air, dan masih banyak kegiatan ekonomi lainnya yang harus berhenti beroperasi ketika banjir rob datang, menjadi contoh nyata penderitaan masyarakat Kota Pekalongan akibat banjir rob.
Mengapa Banjir Rob Semakin Sering Menyapa?
Banyak faktor yang menyebabkan semakin parahnya banjir rob di kawasan pantura Jawa ini. Kondisi pemanasan global/perubahan iklim ekstrim, topografi wilayah yang rendah, penyempitan bantaran sungai, pemanfaatan air tanah secara berlebihan hingga penurunan muka tanah menjadi faktor yang turut menyumbang semakin seringnya banjir rob terjadi.
Dikutip dari Radar Semarang Digital, Dr Heri Andreas, pakar geodesi dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB) menyatakan bahwa penurunan muka tanah di Kota Batik sangatlah cepat. Tiap tahun rata-rata penurunannya mencapai 10 sentimeter. Bahkan ada yang menyentuh angka 17 sentimeter. Penelitian itu dilakukan dengan pengambilan data dalam dua periode di Kota dan Kabupaten Pekalongan. Pada 2007 sampai 2011 melalui data satelit, dan 2013 dengan kombinasi pengukuran alat global positioning system (GPS). Menurut penelitian itu, 30 tahun lagi Kota Pekalongan akan hilang, tenggelam jadi laut.
Penurunan muka tanah di Kota Pekalongan juga terus dipantau dan diteliti oleh Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui patok penanda yang dipasang di Stadion Hoegeng, Kecamatan Pekalongan Barat dan di Kecamatan Pekalongan Selatan.
Menurut hasil penelitian dari Maret hingga September 2020, terjadi penurunan muka tanah sebesar 6 cm. Jika saat ini Kota Pekalongan berada pada ketinggian 100 sentimeter di atas permukaan laut dan rata-rata penurunan muka tanah adalah 6 sentimeter per tahun, maka senada dengan prediksi tim peneliti dari ITB, tim dari Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan diprediksi Kota Pekalongan akan tenggelam tahun 2036.
Keseriusan pemerintah daerah, pemerintah provinsi hingga pemerintah pusat dalam penanganan banjir rob sangat dibutuhkan agar prediksi tenggelamnya Kota Pekalongan tidak benar-benar terjadi di masa depan. Saat ini pemerintah daerah Kota Pekalongan bersama Kementerian PUPR melalui BBWS (Balai Besar Wilayah Sungai) Pemali Juana sedang menggarap mega proyek penanganan banjir rob di Kota Pekalongan, dengan menggelontor anggaran sebesar Rp 1,24 triliun.
Proyek tersebut akan dikerjakan tahun ini hingga 2023 yang dibagi menjadi tiga paket pekerjaan. Untuk Paket 1 meliputi kolam retensi, pembangunan parapet, pekerjaan bendung gerak, dan pekerjaan regular gate untuk Sistem Sungai Lodji. Paket 2 meliputi normalisasi Sungai Banger, pembangunan parapet, normalisasi Sungai Gabus, dan tanggul rob. Sementara Paket 3 meliputi pekerjaan pompa serta pekerjaan long storage Sibulanan sepanjang 2 km dan long storage Susukan dan Clumprit. Di masing-masing sungai tersebut, BBWS akan memasang 3×1 ditambah 2×1,5 meter/kubik pompa.
Dengan penanaman investasi besar pemerintah pada pembangunan mega proyek ini, diharapkan usaha penanganan rob kali ini benar-benar mampu mengatasi banjir rob di kota batik. Bayangan kurang optimalnya proyek tanggul raksasa sepanjang 7,2 kilometer yang sebelumnya sudah dilaksanakan dengan anggaran mencapai 496 miliar yang tidak terbukti efektif menghadang air laut pasang tentu masih membayangi.
Kurangnya ketinggian tanggul dan belum seluruhnya wilayah rawan banjir rob yang terlindungi, seperti hanya membuat pergeseran peta rob di Kota Pekalongan. Wilayah-wilayah yang hingga kini belum terlindungi oleh tanggul, justru merasakan efek buruk dari pembangunan tanggul ini. Daerah- daerah yang dulu tidak tersentuh oleh rob ini, kini justru merasakan genangan air asin. Tidak hanya itu, pada titik pasang, bahkan gelombang air laut pun mampu melewati tanggul yang konon didesain menjadi ‘’tanggul raksasa’’ yang menghabiskan dana APBN ratusan milliar rupiah tersebut.
Selain fokus pada pembangunan kolam retensi, parapet dan rumah pompa, pemerintah juga harus memberikan perhatian khusus pada hasil penelitian tentang tingginya penurunan muka tanah di Kota Pekalongan. Salah satu penyebab cepat turunnya muka tanah di Kota Pekalongan adalah pengambilan air tanah yang berlebihan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa ada kecenderungan meningkatnya penggunaan air tanah di Kota Pekalongan.
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2020 tercatat ada 31,61 persen rumah tangga yang menggunakan sumur bor/pompa. Angka ini meningkat dari tahun 2019 yang hanya sebanyak 21,98 persen rumah tangga. Sementara itu penggunaan sumber air ledeng semakin turun, tercatat pada tahun 2019 ada sebanyak 32,34 persen rumah tangga yang menggunakan sumber air ledeng dan turun menjadi 28,11 persen pada tahun 2020.
Air PAMSIMAS (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) yang menggunakan sumur bor memiliki harga lebih murah dari air ledeng dari Perumda Tirtayasa Kota Pekalongan, hal ini menjadi salah satu alasan banyak warga yang beralih menggunakan air dari PAMSIMAS, terutama para pelaku industri batik. Semakin banyaknya penggunaan air dari sumur bor atau air tanah ini memiliki andil besar terhadap penurunan muka tanah di Kota Pekalongan.
Pemerintah Kota Pekalongan memang telah mengeluarkan regulasi penghentian pengeboran baru oleh PAMSIMAS akan tetapi pemerintah tidak menyediakan solusi sumber air yang lebih baik dari PAMSIMAS. Hal ini menyebabkan volume air tanah yang disedot dari tahun ke tahun terus bertambah meski tidak ada pengeboran baru.
Terlebih kondisi air dangkal di Kota Pekalongan sudah mulai terkontaminasi oleh air laut dan limbah batik sehingga pilihan penggunaan air tanah dalam menjadi pilihan menarik bagi masyarakat. Selain mencari solusi penyediaan sumber air bersih yang lebih ramah lingkungan, pemerintah juga harus mempertimbangkan penggalakan pembuatan biopori pada masyarakat untuk meningkatkan daya serap tanah terhadap air.
Di ujung pengharapan, semoga dengan kombinasi usaha pemerintah melalui investasi mega proyek dan usaha pencegahan penurunan muka tanah melalui pengurangan eksploitasi air tanah di Kota Pekalongan, semoga dapat menjadi penangkal untuk munculnya cerita Legenda Kota Batik Pekalongan bagi anak cucu kita. Jatengdaily.com-st