Oleh: Dwi Agus Styawan
Statistisi Pertama BPS Kabupaten Kebumen
PANDEMI COVID-19 bukan hanya merusak tatanan sosial-ekonomi, tetapi juga mengancam masa depan anak-anak di seluruh dunia. Pandemi yang menghambat sebagian besar aktivitas ekonomi telah mengguncang denyut nadi kehidupan rumah tangga. Guncangan ini berisiko menyeret anak-anak masuk dalam pasar kerja, meninggalkan pendidikan, serta mengubur semua impian dan harapan kesuksesan.
Oleh karena itu, walaupun dalam situasi pandemi, International Labour Organization (ILO) tetap berupaya menggaungkan penentangan pekerja anak kepada dunia internasional. Upaya ini dilakukan melalui peringatan hari dunia menentang pekerja anak pada 12 Juni lalu. Peringatan ini bertujuan mengajak pemerintah, organisasi pekerja dan pengusaha, serta seluruh masyarakat internasional untuk concern terhadap permasalahan pekerja anak.
ILO dalam publikasinya Child Labour Global Estimates 2020, Trends and The Road Forward, menyatakan pada awal 2020 jumlah pekerja anak mengalami peningkatan secara global menjadi 160 juta anak. Hampir separuh pekerja anak tersebut berada dalam pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keamanan, dan perkembangan moral mereka.
ILO juga menunjukkan bahwa sejak 2016, kemajuan global dalam melawan pekerja anak relatif stagnan. Selama empat tahun terakhir, persentase pekerja anak relatif tidak berubah tetapi jumlah absolut pekerja anak meningkat 8,4 juta anak. Hal ini berarti selama 2016 – 2020, sebanyak 8,4 juta anak terdorong menjadi pekerja. Lebih jauh lagi, ILO juga menyatakan bahwa 9 juta anak akan berisiko mengalami hal yang sama pada akhir 2022 sebagai imbas dari pandemi COVID-19.
Situasi Pekerja Anak di Indonesia
Lantas bagaimana situasi pekerja anak di Indonesia? Berdasarkan data Profil Anak yang merupakan kolaborasi KEMENPPPA dan BPS mencatat bahwa selama periode 2010 – 2019 tren persentase pekerja anak di Indonesia cenderung menurun, yakni dari 8,96 persen menjadi 6,35 persen. Hal ini mengindikasikan keberhasilan pemerintah dalam menarik anak dari pekerjaan selama hampir satu dekade terakhir.
Keberhasilan ini tidak lepas dari berbagai upaya pemerintah melalui pembentukan Program Aksi Menuju Indonesia bebas Pekerja Anak Tahun 2022. Salah satu kegiatan program tersebut adalah Penghapusan Pekerja Anak dalam rangka mendukung Program Keluarga Harapan (PPA-PKH).
Pemerintah Indonesia melalui Program Keluarga Harapan berhasil mengembalikan pekerja anak untuk kembali bersekolah. Prioritas sasaran program ini adalah Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Penetapan prioritas sasaran ini berdasarkan hasil-hasil kajian terkait pekerja anak yang menyebutkan bahwa kemiskinan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan anak terlibat dalam usaha pemenuhan nafkah rumah tangga.
Kajian-kajian tersebut juga menunjukkan bahwa program bantuan tunai bagi masyarakat miskin cukup membantu mengurangi kerawanan keluarga untuk mengalami krisis ekonomi sehingga peluang anak untuk bekerja sebagai respon terhadap krisis menjadi berkurang.
Pertanyaan menarik terkait situasi pekerja anak di Indonesia adalah siapa mereka, bagaimana profil sosio-demografi mereka, dan di mana mereka tinggal. Berdasarkan wilayah tempat tinggal, data Profil Anak menyebutkan bahwa pada 2019 persentase anak berumur 10 – 17 tahun yang bekerja di wilayah perdesaan hampir dua kali lipat lebih tinggi daripada wilayah perkotaan.
Hal ini sejalan dengan penelitian Mohamud (2016), dalam artikel “Child labour and School Attendance in Somalia”, yang mengungkapkan bahwa anak-anak yang tinggal di perdesaan cenderung memiliki resiko lebih tinggi untuk bekerja dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal di perkotaan.
Dominasi Sektor Pertanian
Kondisi ini tidak lepas dari dominasi sektor pertanian di perdesaan. Sebagian besar penduduk perdesaan menjadikan pertanian sebagai tumpuan utama mata pencaharian. Sektor ini relatif tidak mengenal gender. Bahkan keterlibatan perempuan dalam sektor pertanian relatif tinggi. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2021 mencatat secara absolut jumlah perempuan yang bekerja di sektor pertanian sebesar 14,2 juta jiwa, lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki yang sebesar 13,1 juta jiwa.
Relatif tingginya keterlibatan perempuan (ibu) ini lah menurut kajian yang dilakukan oleh Self (2011), dalam artikel “Market and Non-market Child Labour in Rural India: The Role of the Mother’s Participation in the Labour”, memiliki andil meningkatkan resiko anak ikut bekerja menambah pendapatan rumah tangga. Kondisi ini tercermin dalam data Profil Anak yang mencatat bahwa pada 2019 lebih dari separuh pekerja anak di wilayah perdesaan bekerja di sektor pertanian.
Persentase pekerja anak yang relatif berbeda juga tampak jika ditinjau berdasarkan jenis kelamin. Secara keseluruhan pekerja anak di Indonesia didominasi oleh lak-laki, yakni sebesar 60,59 persen. Hal tersebut sesuai dengan temuan ILO yang menunjukkan bahwa anak laki-laki memiliki risiko lebih besar menjadi pekerja anak daripada perempuan.
Hal yang menarik adalah pada kelompok umur 10 – 12 tahun, persentase anak perempuan yang bekerja lebih tinggi daripada anak laki-laki. Hal ini disebabkan budaya masyarakat Indonesia yang cenderung memiliki preferensi pada anak laki-laki. Apabila jika dalam satu rumah tangga terdapat anak dengan jenis kelamin yang berbeda, maka anak laki-laki lebih diutamakan bersekolah dibandingkan anak perempuan.
Kondisi ini mengakibatkan anak perempuan cenderung memilih bekerja sebagai pengganti dari kegiatan bersekolah. Pilihan pekerjaan bagi anak perempuan pun relatif beragam, salah satunya membantu perekonomian rumah tangga sebagai pekerja keluarga atau pekerja tidak dibayar. Hal ini tercermin pula dalam data Profil Anak yang mengungkapkan bahwa persentase anak perempuan berumur 10 – 17 tahun yang melakukan pekerjaan tanpa dibayar atau sebagai pekerja keluarga cenderung lebih tinggi daripada anak laki-laki.
Sementara itu berdasarkan partisipasi pendidikan, lebih dari separuh anak berumur 10 – 17 tahun yang bekerja masih bersekolah. Hal ini menggambarkan bahwa kondisi pekerja anak di Indonesia relatif baik, sebab mereka masih mendapatkan hak mengenyam pendidikan. Walaupun demikian, kondisi ini tetap perlu diperhatikan pemerintah karena bekerja tentu akan mengurangi waktu anak dalam bersosialisasi dan belajar optimal.
Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah adalah masih terdapatnya anak-anak yang bekerja tetapi sudah tidak bersekolah lagi. Bahkan persentase pekerja anak yang tidak bersekolah lagi ini relatif tinggi, yaitu hampir mencapai 40 persen. Kondisi ini harus segera ditangani secara bijak dan tepat agar anak-anak tersebut dapat kembali ke bangku sekolah dan memperoleh hak pendidikannya.
Menghapus Pekerja Anak
Terlepas dari berbagai situasi pekerja anak di Indonesia, pemerintah tidak boleh hilang fokus dalam menghapus pekerja anak, terlebih pada masa pandemi ini. Pemerintah harus terus berupaya memulihkan hak-hak anak untuk bermain, bersosialisasi, dan belajar. Terkait hal ini, Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziyah, ketika menjadi keynote speech di forum “End Child Labour Virtual Race 2021” menyatakan keseriusan dan ketegasan pemerintah dalam mengurangi pekerja anak di Indonesia.
Dalam forum yang diselenggarakan oleh ILO secara virtual tersebut, Menteri Tenaga Kerja juga memaparkan tujuh upaya konkret pemerintah untuk menekan jumlah pekerja anak di Indonesia (Jateng Daily, 13/06/2021). Upaya pertama adalah meningkatkan kesadaran masyarakat agar peduli pada pemenuhan hak anak dan tidak melibatkan anak dalam pekerjaan berbahaya. Kedua, melakukan koordinasi dan asistensi untuk mengembalikan anak-anak ke pendidikan dengan menggunakan berbagai pendekatan. Ketiga, memberi pelatihan pada pekerja anak dari kelompok rentan dalam program pelatihan berbasis komunitas dan pemagangan pada lapangan pekerjaan.
Keempat, memfasilitasi intervensi bantuan sosial atau pelindungan sosial pada keluarga miskin terdampak Covid-19 yang memiliki kerentanan terhadap anggota keluarga untuk menjadi pekerja anak. Kelima, melakukan supervisi/pemeriksaan ke perusahaan yang diduga mempekerjakan anak. Keenam, melakukan sosialisasi/penyebarluasan informasi norma kerja anak kepada stakeholder. Adapun upaya ketujuh adalah pencanangan zona bebas pekerja anak di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.
Pada akhirnya seluruh upaya tersebut membutuhkan sinergitas yang solid dari berbagai pihak. Penghapusan pekerja anak bukan semata tugas pemerintah, Kementerian Tenaga Kerja, atau Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Penghapusan pekerja anak juga tanggung jawab perusahaan, industri, rumah tangga, dan masyarakat secara umum.
Pandemi memang menjadi tantangan tersendiri dalam mengeksekusi upaya-upaya tersebut. Pandemi COVID- 19 yang telah berlangsung hampir dua tahun ini benar-benar mengguncang kehidupan rumah tangga, khususnya rumah tangga rentan atau miskin. Ketidakberdayaan ekonomi orang tua sebagai dampak dari pandemi memaksa anak-anak terlibat dalam pekerjaan yang membahayakan atau bahkan terjerumus dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang sangat merugikan keselamatan, kesehatan, dan tumbuh kembang anak.
Namun demikian, pandemi bukanlah alasan pembenaran bagi anak terlibat dalam pekerjaan. Justru pandemi ini harus menjadi penguat sinergitas berbagai pihak untuk menghapus pekerja anak di Indonesia. Pada Juni ini, mari kita gaungkan semangat menghapus pekerja anak di Indonesia. Stop pekerja anak! Mari dukung upaya pemerintah dengan meningkatkan kepedulian kepada anak-anak di sekitar kita. Jatengdaily.com-yds
GIPHY App Key not set. Please check settings