Memahami Orang-Orang Miskin di Perkotaan

Oleh: Mohammad Agung Ridlo
MEMAHAMI orang-orang miskin di perkotaan tidak sekadar secara fisik saja, tetapi juga dari aspek sosial dan ekonomi yang sangat kompleks. Pertama, si miskin dilihat dari aspek fisik. Parameter dari aspek fisik tentang “si miskin” baik secara secara individu maupun berkelompok adalah merupakan suatu set kehidupan manusia yang tinggal dan bermukim pada suatu kawasan yang tidak layak huni atau kumuh. Suatu kawasan yang tidak memenuhi standar untuk dijadikan sebagai permukiman yang layak bagi kehidupan manusia.
Secara geografis, mereka akan kita temui pada kawasan-kawasan yang strategis dan biasanya berada pada lahan yang tidak sesuai dengan tata ruang, seperti di bantaran sungai atau pinggir kali, sekitar TPA, di pinggir pantai (sebagai nelayan), kolong jembatan, sepanjang rel KA, sekitar pasar tradisonal, daerah rawan bencana banjir, longsor atau gempa dan sebagainya, pada kawasan permukiman dengan kondisi kumuh.
Rumah atau perumahan selain sebagai tempat berlindung (shelter), juga merupakan benda kebutuhan sosial (sosially desirable good) yang banyak berpengaruh terhadap kesehatan, kesejahteraan dan berfungsinya keluarga. Perumahan atau permukiman bukan sekedar benda mati tetapi sebagai aktivitas, yang menurut J.F.C. Turner (1976), the concept of housing should be viewed as a verb, rather than as a noun: housing is not just shelter, it is a process, and activity”. Oleh karenanya, perlu dipahami bahwa rumah tidak sekedar komoditi bisnis semata melainkan juga masalah sosial suatu komunitas masyarakat.
Kedua, si miskin dilihat dari aspek ekonomi. Ada parameter atau indikator materi yang sering dianggap paling penting tentang ”si miskin” adalah dilihat dengan ukuran-ukuran ekonomi. Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Mereka dikatakan berada dibawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok, seperti pangan, pakaian, tempat berteduh dan lain-lain. (Sayogyo, 1996). Kebutuhan hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang dapat hidup secara layak.
Jika tingkat pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan minimum, maka orang atau rumah tangga tersebut dikatakan miskin. Dalam kaitan ini Bank Dunia mendefinisikan keadaan miskin sebagai: “Poverty is concern with absolute standard of living of part of society the poor in equality refers to relative living standards across the whole society” (World Bank, 1990). Oleh karenanya kemiskinan dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok (Emil Salim, 1984), seperti kelaparan, kekurangan gizi, ditambah pakaian dan perumahan yang tidak memadai, tingkat pendidikan yang rendah, tidak ada atau sedikit sekali kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang elementer, dan lain-lain (Ajit Ghose and Keith Griffin, 1980).
Artinya bahwa, diperlukan adanya batas minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok. Namun demikian batas minimum tersebut, dapat berbeda-beda, karena akan sangat dipengaruhi oleh persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan untuk bisa hidup secara manusiawi. Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, adat istiadat, sistem nilai yang dimilikinya serta posisi manusia dalam lingkungan sekitarnya.
Ketiga, Si Miskin dilihat dari aspek sosial budaya, mereka rawan terhadap penyakit sosial (pathology social) yang erak kaitannya dengan masalah kriminalitas dan ”vandalism”. Banyak kejadian-kejadian yang melanggar hukum yang berlaku di suatu kota, seperti: pencurian, perampokan, penodongan, pencopetan, penipuan, perkosaan, kejahatan, perjudian, mabuk-mabukan, penindasan dan perilaku negatif lain, hal ini berkaitan dengan masalah “religius” dan “moral”, yang semua itu sebagian diantaranya dilakukan oleh golongan “Have nots” yang sering dikatakan sebagai “kelompok marginal”.
Kenapa Mereka Menjadi Miskin?
Bukunya Robert Chambers (1983) rural development putting the last first merupakan sebuah otokiritik, beliau membongkar berbagai kepalsuan di balik orientasi pembangunan untuk rakyat. Tampaknya bahwa pembangunan yang sudah dijalankan ini orientasinya kearah yang lebih menguntungkan atau mengabdi pada kepentingan orang-orang kota atau golongan elite tertentu. Dengan kata lain bahwa pembangunan yang sudah dilakukan ini sulit untuk dikatakan bahwa pemerintah telah memperhatikan pembangunan perdesaan atau pembangunan pertanian.
Karena itu problem yang masih punya validitas untuk dipertanyakan hanyalah, apakah pembangunan pertanian dan perdesaan yang memang diprioritaskan itu lebih menguntungkan orang desa ataukah orang kota?. Akar masalahnya kenapa mereka menjadi miskin? dan kenapa mereka lari dari desa asalnya menuju kekota-kota besar ? apakah hal itu bisa diartikan bahwa desa sudah tidak menjanjikan lagi, dan kota menjadi alternatif untuk perbaikan hidup.
Dengan demikian perlu dipahami bahwa mereka menjadi miskin karena ada beberapa sebab. Pertama, Tampaknya suatu kebijakan pemerintah dapat menjadikan seseorang menjadi miskin, karena akibat adanya perubahan terhadap tatanan ekonomi secara keseluruhan. Sebagai contoh akhir-akhir ini adanya kebijakan impor beras secara nasional tanpa memperhatikan ketersediaan beras yang ada ”surplus” atau ”minus”. Jika kondisi ketersediaan beras nasional ”surplus”, maka dengan adanya kebijakan impor beras, nasib petani kita akan terpuruk, belum lagi dengan kebijakan harga saprotan yang kurang memihak pada petani. Petani tidak memiliki posisi tawar, sehingga mereka akan mempunyai nasib sebagai golongan yang tidak mampu dan miskin.
Kedua, mereka menjadi miskin karena memang potensi dari sumber daya alam yang tersedia pada suatu daerah memang benar-benar sangat minim dan kritis serta aksesibilitas terhadap daerah lain rendah atau merupakan daerah terisolasi.
Ketiga, masyarakat desa atau petani dengan komoditas yang ditanamnya sesuai dengan faktor klimatologis, sewaktu-waktu mereka akan jatuh miskin, jika mereka tidak mempunyai aktivitas lain. Dengan kata lain bahwa perekonomiannya tidak menentu karena faktor alam yang menentukan, kapan mereka harus menanam (bagi petani), berlayar (bagi nelayan). Oleh karena itu variasi atau diversifikasi kegiatan harus mereka miliki.
Catatan Akhir
Mereka “si miskin” seringkali merupakan kaum yang terabaikan (neglected) dari program-program pemerintah. Orang luar yang sok pintar dan sok tahu, yang tidak pernah merasakan dan mendalami menjadi orang miskin, namun banyak berbicara tentang orang miskin, maka dalam memaknai tentang orang miskin terkadang dapat meleset atau bahkan malah jauh dari apa yang dirasakan oleh orang miskin itu sendiri.
Oleh karenanya, jika Pemerintah akan mengentaskan nasib orang miskin atau kaum papa agar dapat keluar dari belenggu kemiskinannya, perlu program-program yang serius, jangan membuat kebijakan hanya sekedar lips services, tanpa perhitungan yang jelas. Menangani golongan have nots ini jangan seperti model sinterklas dengan memberi ikan, bukan kail. Jika benar-benar ingin membantu, perlu dipikirkan program yang lebih bersifat memberdayakan rakyat, khususnya yang miskin. Tetapi tolong jangan main-main dengan orang miskin.
Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, MT, Sekretaris Jenderal Forum Doktor Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA).Jatengdaily.com–st