Pemuda Harapan Bangsa Bisa Menjadi Bencana

Oleh: Nurul Kurniasih, S.ST
Profesi: ASN pada Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Pekalongan

PARA pakar demografi memprediksikan bahwa pada 2020 hingga 2030 Indonesia akan mengalami fenomena bonus demografi yang ditandai dengan penurunan rasio ketergantungan (dependency ratio) yang disebabkan oleh transisi demografi. Semakin tinggi persentase rasio ketergantungan menunjukkan semakin tingginya beban yang harus ditanggung penduduk usia produktif untuk membiayai hidup penduduk usia belum produktif (usia 0-14 tahun) dan penduduk tidak produktif lagi (usia 65 tahun ke atas).

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa Bonus Demografi adalah kondisi ketika penduduk usia produktif lebih banyak daripada penduduk usia non produktif. Dalam ilmu ekonomi kependudukan, bonus demografi dimaknai sebagai keuntungan ekonomis yang disebabkan oleh semakin besarnya jumlah tabungan dari penduduk produktif sehingga dapat memicu investasi dan pertumbuhan ekonomi (Jati, 2015).

Berdasarkan data dari BPS, rasio ketergantungan (dependency ratio) tahun 2020 sebesar 47,70 persen. Artinya setiap 100 penduduk usia produktif harus menanggung 48 penduduk usia non produktif. Angka ini menurun 2,80 persen dari rasio ketergantungan 2010 yang sebesar 50,50 persen. Penurunan rasio ketergantungan akan berdampak positif pada penurunan besarnya biaya pemenuhan kebutuhan penduduk usia non produktif sehingga sumber daya yang ada dapat dialihkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan penduduk.

Sayangnya harapan akan semakin banyaknya penduduk usia produktif berkualitas yang dapat menanggung biaya hidup usia belum produktif (usia 0 – 14 tahun) dan penduduk tidak produktif lagi (usia 65 tahun ke atas) sepertinya belum tercapai. Indonesia memiliki tantangan besar dalam menangani penduduk usia produktif tapi berstatus tidak memiliki kegiatan.

BPS mencatat pada tahun 2020 di Indonesia ada sebanyak 24,28 persen penduduk usia muda (15 – 24 tahun) yang tidak bekerja, tidak sekolah, dan sedang tidak mengikuti training/pelatihan (Youth Not in Education, Employment, and Training/NEET). Dan ironinya angka NEET tercatat cukup besar pada pemuda dengan pendidikan tinggi yaitu, 28,49 persen dengan pendidikan terakhir SMA, 31,72 persen dengan pendidikan terakhir SMK dan 29,43 persen lulusan perguruan tinggi.

Banyak penyebab penduduk usia produktif berada dalam kategori ini. Efek pandemi Covid-19 yang membuat perekonomian lesu dan banyak pengurangan tenaga kerja pada perusahaan-perusahaan menyebabkan para pemuda menjadi lebih sulit mencari pekerjaan. Selain itu selama ini banyak yang terjebak untuk berkarir pada profesi umum dan populer sehingga abai terhadap profesi-profesi kurang populer yang justru membutuhkan tenaga & pemikiran anak-anak muda.

Tingginya Youth NEET pada lulusan pendidikan SMA ke atas juga mengindikasikan adanya fenomena semakin tinggi pendidikan maka akan lebih pilih-pilih pekerjaan dan memiliki daya tawar upah yang lebih tinggi. Sedangkan yang berpendidikan lebih rendah lebih mudah mendapatkan pekerjaan karena cenderung nrimo untuk bekerja apa saja demi memenuhi kebutuhan hidupnya.Hal ini tentu harus menjadi perhatian bagi pemerintah dalam membuat kebijakan dalam penciptaan lapangan pekerjaan bagi penduduk usia muda.

Banyak hal yang bisa ditempuh, mulai dari mengevaluasi sistem pendidikan agar bisa selaras dengan kebutuhan dunia kerja (link & match), pembatasan jumlah mahasiswa pada jurusan-jurusan yang sudah berlebih dalam pasar tenaga kerja, memberikan bekal ketrampilan, membangun jiwa kreativitas dan inovasi pada para pemuda dan lain sebagainya. Karena untuk menghasilkan SDM unggul tidak hanya membutuhkan ijasah pendidikan yang lebih tinggi tapi juga kecakapakan teori & praktik, motivasi kerja, tanggung jawan dan juga sikap yang baik.

Tidak hanya pada sisi penyiapan SDM unggul, pada tahapan penyediaan lapangan pekerjaan, pemerintah juga dapat berperan memberikan insentif di bidang keuangan dan bimbingan keterampilan untuk menumbuhkan ekonomi kreatif yang berbasis UMKM, sehingga penduduk berusia produktif dapat berkarya, meenciptakan lapangan kerja baru sehingga mampu menjadi pondasi ekonomi Indonesia di masa yang akan datang.

Tanpa melakukan berbagai upaya tersebut, apa yang sering digembar-gemborkan pemerintah dan para ahli demografi tentang bonus demografi akan berbalik arah dari berkah menjadi bencana. Kehadiran para pemuda harapan bangsa ini justru akan menjadi beban di masa depan karena mereka tidak produktif, banyak pemuda pintar tapi pengangguran.st