in ,

Ganjar Harimansyah Kritik Desain Cover Buku Puisi Moderasi Beragama

Para pembicara dan peserta bedah buku antologi puisi moderasi beragama berfoto bersama. Foto:dok

SEMARANG (Jatengdaily.com) – Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah (BBPJT) Dr Ganjar Harimansyah MHum mengkritik desain cover buku antologi puisi  moderasi beragama “Kusebut Nama-Mu dalam Seribu Warna” pada kegiatan bedah buku tersebut di Aula Cipto Mangunkusumo instansi itu, Minggu, 11 Desember 2022. Ganjar menginginkan warna dan sketsa desain cover buku tersebut tidak terlalu konvensional.

Bedah buku tersebut diselenggarakan Satupena Provinsi Jawa Tengah, BBPJT, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Tengah. Buku setebal 188 halaman itu memuat puisi-puisi bertema moderasi beragama karya 65 penyair dari berbagai kota di Indonesia. Editor buku ini adalah Mohammad Agung Ridlo, Bambang Iss Wirya, dan Taslim Syahlan, dengan koordinator Gunoto Saparie.

Ganjar mengatakan, setiap kita mendengar kata moderasi beragama, multikulturalisme, pluralisme, kebinekaan, maka bayangan orang sering pada gambar atau lukisan masjid, gereja, vihara, kelenteng, yang berdampingan. Gambar atau asosiasi semacam itu sudah sangat biasa dan membuat kita jenuh. Bukan berarti tidak baik, namun kita berharap desain cover buku antologi puisi moderasi beragama tersebut keluar dari konvensi atau kemapanan seperti itu.

“Saya juga perlu mempertanyakan, mengapa warna sampul buku antologi puisi ini didominasi warna hijau?” ujarnya.

Ganjar yang tampil sebagai pembedah atau penyelisik buku itu bersama Dra Esthi Susanti Hudiono MSi dari Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga mengapresiasi upaya Satupena Jateng, FKUB Jateng, Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Tengah menerbitkan antologi puisi bersama tersebut. Oleh karena itu, BBPJT sangat senang dapat bekerja sama dengan Satupena Jateng dalam kegiatan bedah buku ini.

Dipandu oleh Bendahara II Satupena Jawa Tengah yang juga guru SMAN 5 Semarang Dr Sutji Harjanti MPd, Ganjar juga menyebutkan tentang moderasi sebagai wacana. Menurut dia, bentuk nonlinguistik dari moderasi dapat berupa kepentingan ideologi, politik, ekonomi, atau budaya, di balik keekstreman, keradikalan, kekerasan, dan sebagainya. Komponen ini juga yang membedakan cara kita beraksi, berinteraksi, berperasaan, berkepercayaan, atau cara menilai seorang komunikator dengan komunikator lainnya dalam mengenali atau mengakui diri sendiri dari orang lain.

Menurut Ganjar, ada tiga poin puisi moderasi beragama dalam buku antologi puisi ini. Pertama, perbedaan inklusif yang berarti melebur, beradaptasi, dan bergaul. Puisi-puisi karya Taslim Syahlan, Sugiyatno DM, Zaimatul Chasanah, Siamir Marulafau, dan Noor Hayati menunjukkan hal itu. Kedua, diksi keberagaman, di mana memberi makna keindahaan kodrati sebagai makhluk, antara lain muncul dalam puisi-puisi karya Soekoso DM, Nia Samsihono, Tirta Nursari, FX Purnomo, Ni Luh Murni Asih, dan lain-lain.

“Sedangkan ketiga, ranah renungan. Penyair merasa sebagai makhluk yang daif dan rindu kedamaian. Hal ini terdapat misalnya dalam puisi-puisi Wanto Tirta, Yuliana Kumudaswari, Della Red Pradipta, Adnan Ghiffari, dan Afa Asifuddin,” tambahnya.

Proyek Besar

Sedangkan Esthi Susanti Hudiono yang juga Ketua Bidang Nonfiksi Satupena Jawa Tengah melihat ada unsur subyektivitas berdasarkan pengalaman dan perspektif penyair dalam puisi-puisi yang termuat dalam buku tersebut. Moderasi beragama merupakan proyek besar yang sistematis dan terstruktur dari Kementerian Agama dengan konsep, definisi, nilai dan prinsip dasar, sumber rujukannya dalam tradisi berbagai agama, dan indikatornya.

“Hal itu telah dimulai sejak zaman Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan kini dilanjutkan Yaqut Cholil Qoumas,” katanya.

Para penyair dalam buku ini, tambah Esthi, dengan bacaan dan pengalaman empiriknya tentang moderasi beragama, mencoba merefleksikan dalam puisi-puisi mereka. Latar belakang dan konteks sosial-budaya masing-masing penyair yang beragam terefleksikan dalam karya-karya mereka. Mereka mencoba memaknai moderasi beragama sebagai cara pandang atau perspektif dalam praktik kehidupan beragama.

Esthi mempertanyakan kelanjutan setelah penerbitan antologi puisi moderasi beragama ini. Mungkin Satupena Jawa Tengah perlu memetakan langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk melakukan penguatan dan implementasi moderasi beragama. Mungkin perlu sosialisasi gagasan, pengetahuan, dan pemahaman tentang moderasi beragama dengan karya tulis esai.

Sebelum acara bedah buku, tampil membacakan puisi Ardi Susanti (Tulungagung), Rohadi Noor (Kudus), Tirta Nursari (Ungaran), dan Yuliani Kumudaswari (Semarang). Pada kesempatan tersebut Ketua Umum Satupena Jawa Tengah Gunoto Saparie membagikan secara simbolis kartu anggota Satupena kepada Roso Titi Sarkoro, Gunawan Trihantoro, dan Tri Dewi Nugrahini.

Gunoto Saparie mengatakan, ada sejumlah permintaan dari beberapa Koordinator Satupena kabupaten/kota di Jawa Tengah agar pembacaan puisi dan bedah buku antologi puisi moderasi beragama ini dilakukan juga di daerah-daerah dan tempat lain. Tentu saja atas permintaan tersebut Satupena Jawa Tengah menyambut dengan baik.

“Insyaallah awal tahun depan kita adakan parade baca puisi dari para penyair buku antologi bersama ini. Tempatnya sangat unik, yaitu di Vihara Watugong,” katanya. st

 

Written by Jatengdaily.com

Tanpa Latihan, Ganjar Nimbrung Ikut Main Ketoprak Sumpah Amukti Palapa

Pentingnya Legalitas Usaha dan Produk Bagi UMKM