in ,

Kolaborasi untuk Negeri, Karena Kita Tak Bisa Sendiri

Oleh: Laelatul Qomariyah, SST

BEBERAPA tahun terakhir, kesadaran akan pentingnya data semakin meningkat. Jika dulu pembangunan cenderung budget based, saat ini pembangunan sudah menuju program based. Apa dampaknya? Kebutuhan akan data semakin meningkat.

Setiap program pembangunan saat ini sudah  melihat data yang ada. Slogan “data itu mahal, tetapi membangun tanpa data lebih mahal” sudah semakin dikenal di kalangan perangkat daerah level terkecil, di desa atau kelurahan.

Kita sebagai insan statistik tentu senang dengan segala perubahan tersebut. Berbagai program pemanfaatan data semakin banyak.

Namun, tantangan berikutnya muncul. Apa itu? Pertama, tumpang tindihnya pendataan yang sebenarnya memiliki tujuan yang sama atau mirip. Kedua, belum sehatinya antar elemen negeri ini, antara masyarakat, pemerintah, penyedia data, akademisi dan lainnya belum bersinergi dengan baik.

Seringkali, data yang ada belum tersosialisasikan dengan baik, atau data yang ada belum termanfaatkan, sebaliknya seringkali pula data yang diperlukan untuk pengambilan kebijakan malah belum tersedia. Lantas apa yang harus kita lakukan?

Badan Pusat Statistik sebagai pengemban amanah pengumpulan data di Indonesia bertanggungjawab dalam menyediakan data-data yang dibutuhkan untuk pembangunan.

Selama ini, BPS banyak sekali mengeluarkan indikator-indikator pembangunan mulai tingkat nasional, provinsi hingga kabupaten/kota. Berbagai indikator ini ada yang dirilis rutin bulanan, triwulanan, tahunan, lima tahunan bahkan sepuluh tahunan. Sayangnya, seringkali data yang ada kurang dapat ditindaklanjuti. Kenapa? Karena ada gap antara BPS sebagai penyedia data dengan OPD terkait sebagai pengambil kebijakan.

BPS seringkali hanya sempat memproses pengumpulan data, namun tak punya waktu dan tenaga untuk melakukan analisis. Sebaliknya, institusi pemilik kewenangan mengambil kebijakan seringkali tak bisa memahami apa yang harus dilakukan dengan data yang dirilis tersebut. Di sinilah peran akademisi mengambil tempat.

Kerjasama antara pemangku kepentingan (baca: kementerian, Organisasi Perangkat daerah, atau Lembaga berwenang lainnya), BPS, Akademisi, dan masyarakat harus diperkuat lagi. Mereka semua masuk dalam sirkulasi penentu bagaimana pembangunan akan mengarah dan bagaimana tujuan bangsa untuk memakmurkan rakyat akan terwujud.

BPS bertugas sebagai penyedia data yang diperlukan pemerintah. Pengumpulan data ini tentu berasal dari masyarakat sebagai responden, baik masyarakat sebagai individu, keluarga, rumahtangga, perusahaan atau apapun bentuknya.

Kesediaan masyarakat memberikan jawaban dengan jujur, baik, benar dan ikhlas meluangkan waktunya tentu sangat diharapkan. Hasil pendataan yang dirilis BPS tentu tak bisa langsung dibaca oleh masyarakat ataupun pemangku kepentingan.

Perlu Analisa dari para ahli dalam hal ini akademisi, untuk meneliti, menelaah dan melihat keterkaitan antara satu indikator dengan indikator lainnya, antara satu angka dengan angka lainnya, antara satu data dengan data lainnya. Karena seringkali angka hasil pendataan tak selalu sama dengan teori yang ada. Akademisi dan peneliti selayaknya mengulik fenomena-fenomena yang ada dan ditindak lanjuti dengan saran kebijakan kepada pemangku kepentingan. Apa harapannya?

Agar data yang ada tidak salah baca dan dapat dibuat kebijakan yang tepat. Dampaknya, kemakmuran masyarakat akan meningkat.

Dari semua data yang ada, tentu yang paling pokok dan utama adalah data kependudukan. Saat ini, data penduduk yang dipakai berasal dari beberapa sumber. Pertama, dari data SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan).

Data ini merupakan data administratif atau data lapor diri dari masyarakat. Sebagai data lapor diri, tentu data ini sangat tergantung kesadaran masyarakat untuk mengupdate dan melaporkan perubahan data kependudukannya kepada pemangku kepentingan (baca: Dukcapil).

Data ini biasa disebut dengan istilah data de jure, yaitu data berdasarkan administrasi kependudukan. Kedua, data hasil Sensus Penduduk dari Badan Pusat Statistik.

Data ini tersedia setiap sepuluh tahun sekali. Data ini menggunakan konsep de facto, yaitu data penduduk di mana dia biasa tinggal. Ketiga, data hasil proyeksi penduduk. Data ini merupakan data perkiraan untuk tahun-tahun mendatang yang dihitung berdasarkan data hasil sensus kemudian digerakkan dengan asumsi-asumsi yang disepakati. Asumsi-asumsi ini meliputi asumsi tentang berbagai komponen pengubah jumlah penduduk (tingkat kelahiran, kematian, dan migrasi).

Mana data yang paling valid? Tak layak rasanya masing-masing institusi mengklaim lebih valid daripada institusi lainnya. Kita selayaknya bekerjasama, bersatu padu, duduk bareng, bagaimana menyelesaikan permasalahan data ini.

emua data yang dirilis masing-masing instansi tepat, asalkan sesuai dengan tujuan penggunaan data itu sendiri. Untuk pengambilan keputusan terkait kebijakan, tentu data de facto lebih pas. Sasaran kebijakan akan lebih relevan jika dibuat berdasarkan data de facto. Tapi masalahnya, data de facto semacam Sensus Penduduk hanya bisa dilakukan sepuluh tahun sekali. Lalu, bagaimana data untuk tahun-tahun yang tidak dilaksanakan Sensus Penduduk? Tidak bisakah sensus dilaksanakan setiap tahun misalnya?

Baiklah, kalau tentang bisa atau tidak, tentu bisa saja sensus dilaksanakan setiap tahun. Namun, alangkah sayangnya. Sayang dalam hal anggaran, waktu dan tenaga. Bagi kami penyelenggara dan pelaksana kegiatan sensus, sesungguhnya sensus ini merupakan kegiatan yang paling menghabiskan anggaran. Bagaimana tidak? Melaksanakan kunjungan wawancara dari rumah ke rumah, di setiap bangunan di negeri ini, tentu membutuhkan jumlah petugas yang banyak, otomatis kebutuhan honor petugas, transport, dokumen, waktu pelatihan dan sebagainya berlipat-lipat dibandingkan survei pada umumnya. BPS sesungguhnya memiliki mimpi besar, mimpi untuk memanfaatkan data administratif dengan lebih maksimal, sehingga pada saatnya nanti BPS tak perlu melakukan sensus door to door. Terbayang, kan? berapa digit rupiah yang akan terhematkan.

Mungkinkah hal itu terjadi? Sangat mungkin, salah satu kunci utamanya adalah kesadaran masyarakat untuk bersedia mengupdate data kependudukannya. Seandainya, semua warga masyarakat sudah melek update data kependudukan, tentu harapan data de jure mendekati data de facto semakin besar. Selain menghemat dari sisi biaya, BPS juga akan lebih fokus dalam menghitung proyeksi. Jadi, bagaimana peran semuanya?

Singkatnya, masyarakat aktif mengupdate data kependudukan, tentu perlu dibuat regulasi yang mempermudah akses masyarakat untuk mengupdate dan dengan tetap menjaga agar pengubahan data tidak dilakukan sesuka-suka. Ini perlu regulasi yang mantap. Dari hasil ini, data penduduk tahun berjalan bisa langsung diperoleh dari SIAK di bawah kewenangan Kemendagri dan Dukcapil. BPS berperan menghitung perkiraan jumlah penduduk di masa yang akan datang, dengan basic data dari Dukcapil, atau dikenal dengan penduduk proyeksi. Kenapa harus dilakukan proyeksi? Karena para pemangku kebijakan sangat membutuhkan data proyeksi ini untuk merancang segala kebijakan yang akan mereka ambil di tahun mendatang.

Saat ini, di tengah kondisi pandemi, pemerintah sangat bersungguh-sungguh berupaya menyelamatkan masyarakat agar tak semakin terjepit.

Berbagai jenis bantuan digelontorkan untuk berbagai jenis masyarakat sasaran. Sayangnya, masih ada saja pihak-pihak yang memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi. Seperti contoh, kasus joki kartu prakerja.

Program prakerja yang tujuan awalnya untuk memberikan kompetensi keahlian kepada masyarakat usia kerja yang sudah tidak bersekolah lagi, nyatanya sebagian malah dimanfaatkan untuk konsumsi. Ada pihak masyarakat yang sengaja menjadi joki, mandaftarkan dan mengikuti tes atas nama salah satu warga. Mereka mendapatkan fee atas setiap NIK yang berhasil mendapatkan program pra kerja. Tentu saja, tujuan awal untuk meningkatkan kompetensi keahlian gagal didapatkan. Perlu upaya mengingatkan masyarakat melalui iklan media TV misalnya, agar masyarakat semakin memahami kondisi ini.

Akhirnya, penulis ingin menyampaikan, bahwa kita semua harus bersinergi. Saatnya berkolaborasi. Saatnya semua bergandengan tangan sesuai peran masing-masing. Seperti mars statistik yang senantiasa kita gaungkan setiap kali, mari “bergandeng tangan membangun negara”. Jatengdaily.com/she

Penulis adalah JFU pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukoharjo

Written by Jatengdaily.com

Geliat Pariwisata Jawa Tengah di Tengah Ancaman Omicron

Bantu Warga Pasca Pandemi, Sebanyak 971 Mahasiswa Unissula Selesai Ikuti KKN