Menakar Potensi Produksi Beras Jawa Tengah 2022

Oleh : Tri Karjono
Statistisi Ahli BPS Provinsi Jawa Tengah
JAWA TENGAH menduduki posisi yang strategis dalam pemenuhan pangan nasional terutama beras. Produksi beras Jawa Tengah dari sisi jumlah setiap tahun tidak lepas dari posisi runner-up sebagai penyuplai total beras yang dihasilkan seluruh provinsi di Indonesia. Bahkan pernah di tahun 2019 Jawa Tengah menjadi provinsi dengan produksi beras tertinggi.
Hingga Menteri Pertanian merasa perlu memberi penghargaan atas capaian prestasi langka tersebut. Harapannya tahun itu menjadi titik tolak leadingnya Jawa Tengah sebagai produsen utama beras nasional. Sayangnya ini hanya bertahan satu tahun saja dan di tahun berikutnya prestasi ini tidak bisa diulang. Posisi juara kembali direbut oleh Jawa Timur, yang memang secara tradisional menjadi lumbung beras utama.
Sejak tahun 2018, pengukuran produksi padi dan beras mengalami perubahan metode. Yang sebelumnya luas panen yang merupakan salah satu variabel pengukur, disamping produktivitas perhektar, dilakukan dengan eye estimate (pandangan mata) oleh personel dinas pertanian diubah dengan menggunakan metode kerangka sampel area.
Lahan baku sawah diambil titik sampelnya untuk diamati terus-menerus setiap bulan dalam kurun waktu satu tahun. Hasil pengamatan kondisi dan fase tanaman padi pada lahan atau titik sampel menjadi miniatur gambaran dari seluruh luas baku lahan sawah yang ada. Dimana luas baku lahan sawah ini secara nasional ditetapkan tiga tahun sekali oleh Kementerian ATR-BPN.
Dari hasil pengamatan lahan dan fase tanaman padi yang digabung dengan produksi per luasan pada saat panen, disamping dapat digunakan untuk menghitung total produksi yang ada sampai dengan saat tersebut, juga diklaim dapat memprediksi hasil yang akan diperoleh pada tiga bulan setelah pengamatan terakhir.
Potensi Turun
Inilah yang disampaikan BPS Provinsi Jawa Tengah saat rilis beberapa indikator statistik pada 1 Oktober 2022 kemaren. Dijelaskan bahwa potensi produksi beras Jawa Tengah pada tahun 2022, yang masih menyisakan tiga bulan lagi, diprediksi akan mengalami sedikit penurunan. Walau sebenarnya prediksi produksi beras di tiga bulan terakhir ini lebih tinggi dari realisasi tahun lalu. Namun selama sembilan bulan ini telah defisit 150 ribu ton, sehingga prediksi kenaikan di tiga bulan ini tidak mampu menutup defisit tersebut.
Terkait dengan luas panen sebenarnya tahun ini diperkirakan mengalami kenaikan. Jika pada tahun 2021 dengan luas panen yang mencapai 1,697 juta hektar mampu menghasilkan beras setara 5,53 juta ton. Sementara pada tahun ini dengan luas panen yang diprediksi naik sekitar 2 ribu hektar justru diperkirakan akan mengalami penurunan produksi beras menjadi 5,51 juta ton. Atau turun sekitar 20 ribu ton. Ini artinya ada potensi penurunan produktivitas beras per hektar dari 3,257 ton menjadi 3,243 ton atau secara rata-rata turun 14 kilogram per hektarnya.
Jika dikomparasikan dengan perkiraan produksi nasional yang dirilis sebelumnya, potensi penurunan yang terjadi di Jawa Tengah ini berbanding terbalik dengan potensi yang terjadi pada level nasional. Jika Jawa Tengah diperkirakan mengalami penurunan, secara nasional justru diperkirakan terjadi kenaikan 700 ribu ton lebih dari 31,36 juta ton menjadi 32,07 juta ton. Artinya daerah lain diperkirakan mengalami kenaikan produksi dengan jumlah yang lebih besar dari jumlah tersebut.
Lebih Rendah Lagi
Jika menilik dari pengalaman dua tahun sebelumnya, dimana terjadi perbedaan antara prediksi dengan realitas yang terjadi pada tiga bulan terakhir setiap tahunnya, maka diperkirakan pada tahun inipun mempunyai kecenderungan yang sama. Catatan menjelaskan bahwa pada tahun 2020 terjadi koreksi angka potensi sekitar 50 ribu ton dan tahun lalu terkoreksi 60 ribu ton. Ini terjadi karena pada tiga bulan angka produksi sementara yang di rilis pada awal November pada kenyataannya mempunyai kecenderungan lebih rendah dibanding prediksinya.
Ini bisa dipahami karena pada bulan-bulan tersebut menjadi awal musim tanam atau tanaman padi belum jatuh pada fase panen. Awal dan masa musim hujan yang terjadi pada bulan-bulan tersebut menjadi masa awal tanam raya dan tiga atau empat bulan kemudian yang telah memasuki tahun berikutnya baru panen. Apalagi ketika awal musim hujan tidak seragam.
Panen yang diperkirakan terjadi pada triwulan terakhir ini merupakan hasil penanaman triwulan sebelumnya yang kadang kecukupan air yang belum maksimal diawal tanam. Belum isu sulitnya pupuk yang masih sering dialami petani serta hama yang masih sering mengganggu.
Beberapa bencana yang terjadi ketika musim hujan tiba seperti banjir di beberapa wilayah jelas sangat mengganggu dan memberi potensi pada terjadinya gagal tumbuh dan gagal panen. Belum lagi ketika sebagian wilayah yang lain terganggu oleh hama tikus, wereng atau burung. Potensi gagal panen pada tiga bulan terakhir akibat berbagai kendala tersebut bisa jadi menjadi penyebab terjadinya pengalaman turunnya produksi dari perkiraan awal.
Dari pengalaman tersebut dan dengan asumsi kondisi cuaca dan kendala di tiga bulan terakhir ini sama dengan dua tahun sebelumnya, maka sangat dimungkinkan produksi beras Jawa Tengah pada tahun ini berpotensi lebih rendah lagi pada kisaran 5,45 atau 5,46 juta ton. Ini akan terjawab empat bulan ke depan.
Mitigasi Risiko
Kondisi cuaca dan penanganan dari kondisi tersebut menjadi salah satu kunci dari potensi penurunan lebih dalam. Potensi panen tiga bulan terakkhir yang telah diprediksi lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun lalu ini untuk diupayakan dapat tercapai dengan memitigasi risiko untuk diminimalisir terjadi pada lahan sawah, terutama sawah yang siap panen di tiga bulan ini.
Apalagi BMKG telah memperingatkan bahwa bulan-bulan ini terjadi peningkatan curah hujan di Jawa Tengah, dan akan mencapai puncaknya di bulan Desember. Daerah produsen padi seperti Cilacap, Sragen dan beberapa wilayah pesisir utara seperti Demak, Grobogan dan Pati seringkali menjadi langganan banjir.
Hama seperti tikus juga seringkali mengancam potensi penurunan produksi padi terutama di daerah terasering. Siklus biologi tikus yang belum dipahami oleh sebagian petani menjadikan penyebab gagal panen oleh padi yang ditanam tidak bersamaan pada hamparan yang sama. Dalam semalam tikus mampu menggagalkan potensi panen yang sudah di depan mata pada hamparan yang cukup luas. Walau ini sudah terlambat pada tanaman yang siap panen pada periode akhir tahun ini. Namun penanganan pemberantasan yang tepat akan sangat membantu.
Isu kelangkaan pupuk yang sudah berulangkali sebelumnya terjadi setiap kali musim tanam tiba semestinya sudah menjadi pelajaran untuk kemudian ditemukan formula yang tepat agar setiap kapan, dimana dan siapa yang membutuhkan segera dapat dipenuhi. Ini pula akan sangat membantu tidak hanya pada terjaganya potensi produksi pada akhir tahun ini, tetapi juga saat-saat yang lain.
Apalagi tanah sawah di Jawa Tengah sepertinya terus mengalami penurunan kualitas. Terbukti sejak tahun 2018 produktivitas per hektar padi setiap tahun selalu mengalami penurunan dari yang semula 3,30 ton beras per hektar menjadi 3,26 ton di tahun 2021.
Sementara waktu tahun ini mungkin baru kembali berupaya untuk tetap menjaga pada potensi yang ada untuk tidak semakin turun, untuk kemudian terus berupaya kembali pada cita-cita seperti yang pernah dicapai di tahun 2019 lalu. Jatengdaily.com-yds