Menyoal Goyahnya Stabilitas Harga

Oleh Irma Nur Afifah, SST, MSi
Statisti Muda BPS Kabupaten Kendal
NUANSA akhir dan awal tahun yang identik dengan perayaan natal dan tahun baru masih menyisakan lonjakan berbagai harga komoditas pokok di pasaran. Namun ternyata hal itu terus berlanjut hingga Maret 2022, menjelang Ramadhan 2 April 2022 mendatang, alih-alih harga turun justru sebaliknya makin bergejolak. Harga komoditas pokok menunjukkan kenaikan signifikan seperti minyak goreng, telur, cabai, bawang putih, daging ayam ras, daging sapi dan komoditas pokok lainnya.
Kenaikan barang dan jasa mengindikasikan kondisi unbalance antara supply dan demand yaitu demand lebih tinggi dan unbalance dengan supply sehingga berdampak pada kenaikan harga-harga atau disebut sebagai inflasi. Dengan kata lain inflasi terjadi manakala permintaan tinggi tidak diimbangi dengan penawaran yang mencukupi atau stok barang di pasar terbatas.
Hal senada dengan catatan Dinas Perdagangan menyebutkan melonjaknya harga-harga komoditas vital pangan nampaknya dipicu meningkatnya permintaan dan minimnya stok barang di pasaran, disisi lain tingkat daya beli masyarakat mengalami peningkatan. Contohnya komoditas yang tengah hangat diperbincangkan yaitu minyak goreng yang melambung tinggi karena ketersediaan terbatas sementara permintaan naik, sehingga memicu kenaikan harga.
Goyahnya Stabilitas Harga
Mencermati indeks harga konsumen (IHK), terjadi inflasi di bulan Desember sebesar 0.57 persen meningkat dibanding November yang sebesar 0.37 persen, pada Januari terjadi inflasi sebesar 0,56 persen, sedangkan Februari tercatat deflasi sebesar -0,02 (BPS). Perlu diketahui awal Februari berdasarkan Permendag no 6 tahun 2022 telah ditetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng curah sebesar Rp. 11.500/liter, kemasan sederhana Rp. 13.500/liter, dan kemasan premium Rp. 14.000/liter.
Kebijakan HET yang berlaku mulai 1 Februari tersebut dinilai cukup efektif mengendalikan inflasi hingga terjadi deflasi di bulan Februari, selain itu surplus telur yang meningkat berdampak pada menurunnya harga komoditas telur, demikian halnya dengan komoditas lain yang stabil.
Berselang satu bulan kemudian nampaknya kestabilan harga kembali goyah, pasalnya harga kebutuhan pokok, seperti minyak goreng yang sudah mulai normal pasca pengendalian hingga penetapan HET oleh Pemerintah faktanya sangat langka di pasaran, stok di minimarket kosong melompong, dan konsumen kesulitan menemukan minyak dengan harga murah, kenapa hal ini bisa terjadi?
Mengutip kementerian perdagangan terdapat dua kemungkinan yaitu pertama adanya kebocoran industri dan distribusi yang tidak merata, sehingga pedagang berspekulatif menjual dengan harga tidak sesuai patokan dan kedua adanya oknum yang menyelundupkan komoditas terkait. Tentu hal tersebut perlu penyelidikan lebih lanjut supaya tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.
Sungguh kejadian yang sangat disayangkan, dimana kondisi perekonomian yang sejatinya telah terpuruk sejak pandemi terjadi, dan mulai menunjukkan geliat perbaikan, disisi lain muncul sejumlah kejadian memilukan, gara-gara rebutan minyak goreng.
Terlihat berbagai media memberitakan kondisi sangat memprihatinkan, antrean panjang demi minyak goreng yang berujung kekecewaan karena stok tak ada. Belum tuntas masalah berlalu, ternyata HET minyak goreng dicabut oleh pemerintah dan ajaibnya minyak goreng mendadak muncul memenuhi rak-rak di minimarket, sungguh aneh tapi nyata dan lantas menimbulkan prasangka yang ditengarai ulah pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yaitu dugaan adanya penimbunan minyak goreng.
Menyusul harga komoditas lain seperti telur kembali merambah naik dengan harga di tingkat konsumen pada Maret mencapai Rp. 25.000/kg dari sebelumnya dikisaran Rp. 13.000-Rp. 17.000/kg. Komoditas berikutnya adalah cabai yang makin meroket hingga mencapai Rp. 70.000-Rp. 90.000/kg, biasanya di kisaran Rp. 30.000-Rp.40.000. Disusul kemudian daging ayam, yang berimbas pada menurunnya omset di kalangan pedagang hingga 20 persen akibat menurunnya pembeli. Daging sapi pun menunjukkan kenaikan, semula Rp. 120.000 menjadi Rp. 130.000-Rp. 135.000 di pasaran, dan konsumen dagaing sapi yang sebagian besar adalah pedagang bakso sapi mengeluhkan hal tersebut.
Penyesuaian harga LPG non subsidi nampaknya menambah beban berat bisnis kuliner yaitu dipatok naik sebesar Rp. 15.000 untuk tabung ukuran 5,5 kg dan 12 kg, sedangkan tabung 3 kg tetap.
Jelang Ramadhan dan Idul Fitri demand akan kebutuhan pokok selalu meningkat signifikan, namun apabila tidak diimbangi dengan pasokan cukup maka kemungkinan harga melejit pun terjadi. Melihat gelagat dampak dari kenaikan berbagai kebutuhan pokok tersebut, maka tentu peran Pemerintah untuk mengendalikan harga-harga dan memantau stok di pasaran sangat urgen segera dilakukan. Jika tidak maka inflasi bisa tak terkendali yang berdampak pada daya beli masyarakat dan lebih parah lagi kondisi rawan sosial lainnya mengintai mengingat kebutuhan pokok tak mampu terpenuhi.
Dampak dan Pengendalian Inflasi
Definisi inflasi mengacu pada penurunan daya beli mata uang. Contoh nilai Rp. 100.000 dapat digunakan untuk membeli barang tertentu, namun dengan inflasi nilai Rp. 100.000 tidak akan cukup untuk membeli barang yang sama, sehingga inflasi memberikan dampak yang besar bagi kondisi perekonomian.
Sejauh ini, inflasi bukanlah sesuatu yang menakutkan, dampak positifnya adalah memacu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, yaitu mendorong investasi dan melakukan aktivitas produktif, dibandingkan dengan mengendapkan uang yang tergerus penurunan nilai akibat inflasi. Namun disisilain, menurunnya daya beli berdampak pada melebarnya ketimpangan di masyarakat yang berpotensi memicu kerawanan sosial.
Kondisi sedemikian urgen perlu segera dilakukan koordinasi antara pemerintah dengan otoritas terkait untuk memantau stabilitas makro ekonomi, sistem keuangan dan stabilitas harga-harga komoditas bahan pokok. Semestinya segera diambil tindakan mengingat kondisi yang genting akibat minimnya stok yang berdampak pada kerawanan sosial.
Inflasi sejatinya terkait dengan harga-harga, maka peran Pemerintah menjadi kunci untuk mengendalikan inflasi dengan mematok harga eceran di pasaran dan memantau stok, sehingga konsumen di kalangan menengah ke bawah tidak berat dan tidak perlu terjadi drama seperti perebutan minyak goreng misalnya.
Sebagai contoh CPO diproduksi dalam negeri maka bisa dikendalikan harga yang sesuai, sedangkan telur tentulah berkorelasi dengan harga pakan ternak ayam seperti jagung dan bekatul perlu dipantau dan seterusnya. Stabilitas harga kebutuhan pokok harus betul-betul dikendalikan, karena dampak kerawanan sosial mengintai, jika tak segera ditangani secara serius fatal akibatnya.Jatengdaily.com-st