
Oleh: Nurul Kurniasih, S.ST
Statistisi Ahli Muda, BPS Kota Pekalongan
MEMASUKI usia 77 tahun kemerdekaan Republik Indonesia dirayakan dengan menggaungkan tema ‘Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat’. Momen ini bertepatan dengan masa pemulihan bangsa dari hantaman Pandemi Covid-19 yang tidak hanya melesukan perekonomian nasional tapi juga mematikan banyak usaha pada berbagai sektor di nusantara. Tagline ini memberikan semangat agar masyarakat optimis untuk kembali bangkit dan ekonomi Indonesia juga kembali bergeliat. Optimisme akan pulihnya kondisi perekonomian Indonesia mulai ditunjukkan dengan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tumbuh 5,44% yoy atau tumbuh 3,72% qtq pada Q2 2022 di tengah krisis global yang meliputi krisis kesehatan, pangan, energi, dan keuangan.
Berita pertumbuhan ekonomi ini ternyata tidak cukup menghibur hati rakyat karena semangat Agustusan disambut dengan realita naiknya harga telur ayam. Sontak rakyat seketika terbelalak karena telur tak tanggung-tanggung kenaikan harganya hingga tembus Rp.31.000 per kilogram melebihi hebohnya harga telur menjelang hari raya. Seakan tak mau sendiri menjadi sorotan berjuta mata rakyat Indonesia, telur ditemani oleh realita kenaikan tarif ojek online dan tarif angkutan penerbangan. Kementrian Perhubungan menerbitkan regulasi baru tentang tarif dasar ojek online dengan sistem zonasi dalam Keputusan Menhub Nomor KP564 Tahun 2022 pada 4 Agustus 2022. Selain itu Kementrian Perhubungan juga mengeluarkan keputusan Menhub Nomor 142 Tahun 2022 tentang besaran biaya tambahan yang mengizinkan maskapai penerbangan menaikkan tarif perjalanan akibat adanya fluktuasi harga bahan bakar.
Tak cukup itu saja kejutan yang diberikan pada masyarakat, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dalam sebuah acara pada 9 Agustus 2022 menyatakan bahwa harga mie instan akan naik 3 kali lipat akibat perang Rusia Ukraina menahan gandum untuk keluar dari negara produsennya. Meskipun berita ini dibantah oleh Fransiscus Welirang, Direktur PT Indofood Sukses Makmur, Tbk. Beliau menyatakan bahwa impor gandum masih tetap bisa berjalan meski ada kenaikan harga akan tetapi tidak berimbas terlalu parah pada biaya produksi mie instan.
Kenaikan harga barang-barang kebutuhan ini tak ayal membuat masyarakat berkunang-kunang. Bagaimana tidak, baru berusaha untuk berdiri tegak setelah perekonomian dihantam badai Covid-19 tiba-tiba harus menerima keadaan harga-harga melonjak, termasuk adanya wacana kenaikan harga BBM.
Wacana tentang kenaikan harga BBM ini tak hanya membuat masyarakat pusing tapi juga membuat pemerintah tak kalah pening Bagaikan makan buah simalakama, jika pemerintah menaikkan harga BBM maka inflasi akan meroket karene afek dominonya akan bergerak ke berbagai sektor perekonomian, daya beli masyarakat akan kembali terpuruk dan tagline ‘Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat’ hanyalah menjadi hiasan Agustusan.
Faktanya, harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan dan nilai tukar rupiah terhadap US Dolar makin melemah dengan nilai yang melebihi asumsi makro pada Perpres 98/2022. Jika pemerintah tidak melakukan penyesuaian harga BBM, maka anggaran subsidi energi dan kompensasi harus ditambah, beban APBN akan semakin berat. Sebesar Rp.502,4 T yang digelontorkan dalam APBN 2022 selama ini untuk subsidi energi diperkirakan akan habis pada Oktober 2022.
Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah?
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Maret 2021, sebanyak 89% solar subsidi dinikmati oleh dunia usaha dan 11% dinikmati oleh rumah tangga. Dari nilai itu hanya 5% saja yang dinikmati oleh rumah tangga miskin. Sementara itu sebanyak 14% Pertalite dinikmati oleh dunia usaha, 86% dinikmati oleh rumah tangga. Akan tetapi ternyata 80% nya dinikmati oleh rumah tangga mampu. Begitupun dengan LPG 3kg yang disubsidi pemerintah, sebanyak 68% justru dinikmati oleh rumah tangga mampu. Padahal menurut Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual eceran Bahan Bakar ditentukan bahwa BBM bersubsidi hanya ditujukan untuk rumah tangga tidak mampu, usaha transportasi, nelayan, usaha mikro, layanan umum, dan usaha pertanian.
Bukan langkah penyesuaian harga BBM bersubsidi yang seharusnya diambil pemerintah, akan tetapi regulasi pembatasan sasaran pengguna BBM bersubsidi yang harus dikeluarkan. Anggaran subsidi energi harus jatuh ke tangan yang tepat yaitu rumah tangga tak mampu yang memang membutuhkan ulur tangan pemerintah. PT Pertamina sebagai distributor BBM harus tegas dalam menerapkan regulasi pembatasan pendistribusian BBM bersubsidi.
Kerja sama dengan Pemerintah Daerah juga bisa dilakukan dengan melakukan sidak penggunaan BBM bersubsidi pada usaha-usaha besar, menerapkan konsekuensi pembatasan perijinan usaha bagi usaha-usaha besar yang menggunakan BBM bersubsidi juga akan menimbulkan efek jera pada penggunanya. Jika hal ini diterapkan, maka nilai konsumsi BBM bersubsidi bisa dikendalikan dan beban APBN tidak menjadi lebih berat dan berat saja dari hari ke hari. Sisa anggaran yang tadinya dipakai untuk subsidi energi bisa dialihkan untuk membiayai pembangunan yang lebih produktif dan membawa manfaat yang lebih besar untuk rakyat. Jatengdaily.com-st

