Spirit Kartini, Berjuang Tidak Menjadi Korban Kekerasan

kartini1

Spirit Kartini, Berjuang Tidak Menjadi Korban Kekerasan. Foto:ist

SEMARANG (Jatengdaily.com) – Melalui spirit Kartini, mari kita sama-sama berjuang dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, agar perempuan berdaya, tidak lagi menjadi gender kelas dua, tidak lagi menjadi korban kekerasan , demikian Dra Retno Sudewi Apt MSi MM , Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Jateng dalam webinar memperingati Hari Kartini, Rabu (20/4), dengan tema Dampak Kekerasan Seksual pada Mental.

Lebih lanjut dikatakan, korban kekerasan di Jawa Tengah tahun 2018 sebanyak 2407, tahun 2019 sebesar 2355, tahun 2020 berjumlah 2110, tahun 2021 jumlah 2257, dan tahun 2022 sampai bulan Maret sebanyak 293. Kekerasan dialami oleh laki-laki, perempuan dan anak, namun kekerasan paling banyak dialami perempuan.

Sementara itu Nihayatul Mukharomah dari LRC KJHAM menjelaskan yang dimaksud dengan tindak pidana kekerasan seksual, yaitu segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang undang. Bentuknya berupa eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, perkosaan, perbudakan seksual, pelecehan seksual fisik dan non – fisik, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual, kekerasan dalam pacaran (KDP), pemaksaan kontrasepsi, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

Ditambahkan, modus kekerasan seksual berupa: Disentuh, dianggap zina, dikawin dan diperkosa – dengan alasan sudah suami istri selama bertahun-tahun. Diperkosa berkali-kali, hamil kemudian dipaksa aborsi, dibatasi geraknya dan diasingkan. Dipacari, kemudian dibatasi pergaulan dan kreativitasnya

Online
Sedangkan modus kasus kekerasan seksual berbasis online berupa mengancam, menyebarkan, video/foto, hubungan seksual dengan meminta foto telanjang, meminta foto kemluan dan payudara. Memaksa melakukan video call, seks. Menggunakan foto atau video untuk mengancam korban dan minta tebusan, mengendalikan akun sosial media dengan memposting status yang membuat korban tidak nyaman.

Sementara hambatan yang dihadapi korban antara lain pelaporan kasus kekerasan seksual tidak diterima dengan alasan tidak memenuhi .unsur pidana. Alat bukti terlalu dipaksakan harus ada untuk kelanjutan proses hukumnya. Kasus didamaikan, korban disarankan, difasilitasi, didesak dikawinkan dengan pelaku.

Perkawinan anak korban kekerasan seksual (pemohon dispensasi kawin) karena kekhawatiran orang tua terhadap stigma, identitas anak, dan masalah ekonomi. Korban dikeluarkan dari sekolah, dikeluarkan dari pekerjaan.

Di sisi lain dalam penanganan kasus kekerasan seksual pendamping mendapatkan tekanan dan intimidasi. Oknum petugas di layanan pemulihan korban dan lembaga peradilan masih ada yang menstigma perempuan korban kekerasan seksual. Korban tidak berani melanjutkan pelaporannya karena mendapatkan tekanan dari pelaku.

Sementara itu Psikolog Kuriake Kharismawan mengatakan bahwa pemulihan mental korban kekerasan seksual butuh waktu tak terbatas, dan perlu dengan sentuhan cinta. Trauma akan terus – menerus melanda korban, dan bahkan korban kemungkinan akan melakukan hal serupa pada orang lain.

Pembicara dari Komnas HAM, Siti Aminah Tardi mengatakan elemen pencegahan tindak pidana kekerasan berbasis seksual dilakukan antara lain melalui bidang pendidikan, sarana dan prasaran publik, pemerintahan dan tata kelola kelembagaan, ekonomi dan ketenagakerjaan, kesejahteraan sosial, budaya, teknologi informatika, keagamaan dan keluarga .Webinar dipandu oleh Yuli KW dari Universitas PGRI Semarang. Penulis Humaini-st