Oleh: Eman Sulaeman
SEBUAH upacara yang sangat sakral dan mulia yang dibalut oleh limpahan rahmat Allah SWT, yakni upacara akad nikah. Dengan upacara akad nikah ini, maka akan terjadi perubahan besar dalam kehidupan calon pengantin berdua.
Nafsu berubah menjadi cinta dan kasih sayang, perbuatan yang tadinya diharamkan menjadi halal, hubungan yang semula maksiat berubah menjadi ibadah bahkan bernilai shadaqah, kekejian menjadi kesucian dan kebebasan menjadi tanggung jawab.
Begitu besarnya perubahan ini sehingga Al-Qur’an menyebut akad nikah sebagai mitsaqan ghalizhan (perjanjian yang agung, ikatan yang sangat kuat). Pengantin, hanya tiga kali kata Mitsaqan Ghalizhan disebut dalam Al-Qur’an.
Pertama ketika Allah membuat perjanjian dengan para Nabi yang bergelar Ulul Azmi, yakni Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad saw (QS Al-ahzab : 7). Kedua ketika Allah mengangkat Bukit Thur di atas kepala Bani Israil dan menyuruh mereka bersumpah setia di hadapan Allah (QS Annisa : 154). Dan ketiga ketika Allah menyatakan hubungan pernikahan (QS Annisa : 21).
Karena itu upacara akad nikah ini bukanlah peristiwa kecil di hadapan Allah. Akad nikah yang dilakukan berdua sama tingginya dengan perjanjian para Rasul, sama dahsyatnya dengan perjanjian Bani Israil di bawah bukit Thur yang bergantung di atas kepala mereka.
Maka peristiwa akad nikah ini tidak saja disaksikan oleh kedua orang tua, para kerabat, para tetangga dan sahabat-sahabat kalian, tetapi juga disaksikan oleh para malaikat di langit yang tinggi dan terutama sekali disaksikan oleh Allah Rabbul ’Alamin.
Sehingga bila peristiwa sakral ini disia-siakan perjanjian yang sangat luhur ini, bila menceraikan ikatan yang sudah terjalin, bila memutuskan janji yang sudah terpatri, maka pasangan pengantin bukan saja harus bertanggung jawab kepada mereka yang hadir dalam upacara pernikahan. Tapi kedua pengantin juga harus mempertanggungjawabkan di hadapan Allah Rabbul ‘alamin.
Kehidupan pengantin baru memang sangatlah indah, hubungan kedua pengantin akan romantis, dan selalu ingin bersama. Namun setelah masa bulan madu berlalu, pasangan pengantin ini akan menemukan berbagai masalah dalam rumah tangga.
Perbedaan kecil kadang memicu persoalan besar, kesalahpahaman akan menjadi pertengkaran hebat/ ujian hidup akan datang silih berganti menghantam rumah tangga.
Jika itu terjadi maka harus ingat bahwa pasangan pengantin telah diikat oleh Allah dengan Mitsaqan Ghalizhan. Sebesar apapun masalah keluarga baru, akan selalu ada jalan keluar, sepanjang bisa menjaga kesucian lembaga perkawinan dan menyerahkan semua persolan kepada Allah. Karena Allah memberikan ujian kepada setiap hamba justru karena Allah menghendaki kebaikan dari ujian tersebut :
“Rasul bersabda : barang siapa dikehendaki Allah (mendapatkan) kebaikan, maka Allah akan mengujinya”.
Tugas dan kewajiban kedua mempelai adalah bekerja sama membentuk rumah tangga bahagia, sebagaimana tujuan perkawinan kedua belah pihak. Meskipun itu sulit, namun harus diperjuangkan dan setiap ikhtiar untuk membentuk rumah tangga bahagia akan diganjar pahala yang sangat besar, seperti ganjaran pahala perang dan ganjaran pahala haji.
“Berbahagialah orang yang setiap pagi mendapat pahala perang dan setiap sore mendapat pahala haji. Yaitu seorang laki-laki yang bisa membentuk keluarga bahagia : Yang puas, yang bisa menutup aib, dan banyak tertawa bersama”
Ciri pertama: (nerima/Puas), pihak pengantin putri harus puas bersuamikan pasangannya. Demikian sebaliknya, pengantin pria pun harus puas pula memiliki istri. Kepuasan inilah yg menyebabkan rumah tangga menjadi harmonis dan langgeng. Jangan pernah berpikir untuk mencintai apalagi mencari jodoh yang lain, sehebat apa pun orang menggoda, karena kedua mempelai ini telah berjanji setia dengan ikatan mitsaqan ghalizhan. Banyak suami-istri bisa berbuat baik dan memuaskan orang lain, tetapi tidak kepada pasangan hidupnya.
Ciri Kedua: (mampu menutup aib) dan kekurangan, pihak besan wajib menutup aib dan kekurangan besan. Suami wajib menutupi aib dan kekurangan istri, begitu pun sebaliknya. Jangan sampai ada masalah rumah tangga, kemudian diceritakan kepada pihak luar, apalagi diunggah di medsos. Maka hal ini hanya akan menyenangkan orang yang memusuhi dan akan membuat sedih orang yang menyayangi. .
Ciri Ketiga: (sering tertawa bersama), Tertawa adalah persoalan mudah dan sepele, tapi kenapa menjadi syarat keluarga bahagia, karena salah satu ciri rumah tangga bahadia adalah pasangan suami-istri masih bisa bercanda dan tertawa bersama. Banyak orang bisa bercanda dan tertawa dengan kawan-kawannya, tapi tidak bisa tertawa dan bercanda dengan suami-istrinya. Rumah tangga Nabi selalu dihiasi dengan tawa dan canda bersama dengan para istrinya :
Ciri keempat: Musyawarah (tambahan diluar hadits).
Ciri Rumah tangga bahagia adalah jika masih ada musyawarah.
Musyawarah adalah ruhnya RT dan merupakan cara yang sehat untuk memelihara komunikasi, untuk saling meminta masukan dan menghargai pendapat pasanganya dan untuk mengambil putusan yang terbaik dari setiap kebutuhan dan persoalan rumah tangga, sehingga jangan ada sikap otoriter dan menang-menangan dalam hubungan suami-istri.
Rata-rata rumah tangga bertengkar karena suami istri gagal dalam bermusyawarah. Termasuk bagian dari musyawarah adalah saling menerima kritik dari pasangannya untuk perbaikan dan kebaikan bersama. “apabila kalian berdua sepakat dlm musyawarah, maka aku tidak akan menyalahi kalian berdua” (artinya nabi akan bersama kalian).
Rasulullah SAW dalam hadits yang dinukil oleh Imam Ghozali dalam kitab Ihya Ulumiddin bersabda: “Barang siapa yg menikah krn Allah, dan orang tua yg menikahkan anaknya krn Allah, maka perjalanan rumah tangganya akan selalu dlm pertolongan dan lindungan Allah”
Drs KH Eman Sulaiman MH, Ketua Komisi Hukum dan HAM MUI Jateng, Dosen FSH UIN Walisongo, Wakil Ketua BP4 Jawa Tengah. Jatengdaily.com-st