Oleh: Dwi Asih Septi Wahyuni SST, MSi
Statistisi Ahli Muda BPS Kabupaten Banyumas
SDGs (Sustainable Development Goals) merupakan rencana aksi dari Transforming Our World: The 2030 Agenda For Sustainable Development. SDGs dideklarasikan pada 25 September 2015 dalam siding PBB di New York. Agenda SDGs terdiri dari 17 goals, 169 target dan 240 indikator.
Target SDGs pada tahun 2030 diantaranya tercapai 100 persen target dan sasarannya adalah semua sepenuhnya dan tuntas mengakhiri kemiskinan, 100 persen penduduk memiliki akta kelahiran dan memerlukan fokus untuk merangkul mereka yang terpinggir dan terjauh.
Selaras dengan hal tersebut, prioritas Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2024 memiliki beberapa target yakni tingkat kemiskinan ekstrim mencapai 0 hingga 1 persen, tingkat kemiskinan 6,5-7,5 persen, tingkat pengangguran terbuka 5,0-5,7 persen, gini rasio 0,374- 0,377 persen, indeks pembangunan manusia 73,99-74,02, penurunan emisi gas rumah kaca 27,27, niilai tukar nelayan 107-110, nilai tukar petani 105-108.
Angka tingkat kemiskinan ekstrim Kabupaten Banyumas tahun 2022 telah mencapai 1,39 persen, Provinsi Jawa Tengah 1,97 persen dan Indonesia 2,04 persen. Dapat dikatakan bahwa capaian penurunan tingkat kemiskinan ekstrim di Kabupaten Banyumas hampir tercapai namun untuk Jawa Tengah dan Indonesia masih membutuhkan perhatian khusus guna mencapai target tingkat kemiskinan ekstrim 0 hingga 1 persen.
Capaian penurunan angka kemiskinan di Kabupaten Banyumas tahun 2015 hingga 2022 telah mengalami penurunan dari 17,52 persen pada tahun 2015 menjadi 12,84 persen pada tahun 2022. Jika dibandingkan dengan target SDGs tahun 2030 telah tuntas mengakhiri kemiskinan, maka menjadi tugas yang berat untuk pemerintah kabupaten banyumas untuk mencapai nol persen kemiskinan di tahun 2030. Jika dibandingkan dengan target capaian RKP tingkat kemiskinan sebesar 6,5-7,5 persen masih jauh dari target.
Upaya pengentasan kemiskinan pada angka di batas 10 persen dibandingkan dengan angka kemiskinan di atas 20 persen sangatlah berbeda. Penurunan angka kemiskinan pada batas 10 persen secara natural akan mengalami gradual penurunan yang lebih lambat. Hal ini dikarenakan terdapat banyak golongan dan layer penduduk miskin dengan karakteristik yang berbeda di setiap wilayah.
Stimulus pengurangan penduduk miskin pada level ini membutuhkan keselarasan antar sektor seperti sektor pendidikan dan transportasi. Penduduk miskin sebagian besar terkonsentrasi di pedesaan dengan karakteristik pekerjaan kepala keluarga adalah sebagai petani.
Dimana mayoritas penduduk di pedesaan memiliki karakteristik pendidikan tertinggi adalah SD hingga SMP. Perlu dipahami bahwa menekan angka kemiskinan pada level ini harus didahului dengan hal yang mendasar yakni memperluas akses kepada seluruh lapisan masyarakat yang nantinya akan meningkatkan kualitas masyarakat dan mempermudah akses transportasi antar wilayah.
Capaian Angka partisipasi sekolah (APS) pada usia 7-12 tahun telah mencapai 99,96 persen, usia 13-15 tahun mencapai 99,67 persen dan 16-18 tahun baru mencapai 65,32 persen. APS menunjukkan proporsi penduduk pada kelompok umur jenjang pendidikan tertentu yang masih bersekolah terhadap penduduk pada kelompok umur tersebut.
Dalam hal ini prioritas utama yakni bagaimana agar kebijakan pemerintah daerah mampu meningkatkan APS kelompok usia 16-18 tahun yang tadinya 65,32 persen menjadi 90-100 persen.
Kemiskinan tentu saja tidak hanya dipengaruhi oleh aspek pendidikan saja namun juga aspek lain yang saling berkaitan seperti kesehatan, akses terhadap transportasi, ketersediaan lapangan kerja, dll.
Oleh karena itu diperlukan pemisahan kebijakan pengentasan kemiskinan terhadap faktor utama penyebab kemiskinan di setiap wilayah agar tercapai target SDGs 100 persen pengentasan kemiskinan di tahun 2030 dan target RKP 2024 capaian kemiskinan sebesar 6,5-7,5 persen.Jatengdaily.com-St