in

Membangun Kesadaran Halal Umat

Prof Dr H Nur Khoirin MAg

Oleh : Nur Khoirin YD

Salah satu kewajiban umat Islam adalah mengonsumsi makanan, minuman, dan barang-barang yang halal dan baik (thayyib), baik halal dzatnya (barangnya) maupun halal cara mendapatkannya. Makanan yang thayyib artinya adalah yang tidak membahayakan bagi tubuh seseorang.

Sebab ada makanan yang halal tetapi tidak baik dikonsumsi oleh orang-orang tertentu. Misalnya, gula halal tetapi tidak baik bagi penderita diabetes. Daging kambing halal dan lezat, tetapi tidak baik bagi penderita hipertensi. Kacang-kacangan dan sayuran juga halal, tetapi tidak dianjurkan bagi penderita asam urat. Inilah bukti kemahaadilan Allah swt.

Ketika seseorang masih muda belum bisa membeli apa saja, ia tidak dilarang makan apa saja. Tetapi ketika seseorang sudah tua kaya dan bisa membeli apa saja, tetapi dia tidak boleh makan apa saja.

Perintah makanlah yang halal dan baik (halalan thayyiban) ini disebutkan secara tegas beberapa kali dalam Al Qur’an. Misalnya QS. Al Baqarah : 168
يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Perintah mengonsumsi yang halalan thayyiban juga disebut dalam Al-Maidah 88, Al Anfal 69, An Nahl 114, dan ayat-ayat senada yang lain.
Halal artinya adalah boleh, mubah atau jaiz. Lawan halal adalah haram atau dilarang dikerjakan. Jika dilakukan maka ada sanksi atau diancam dengan siksa. Daftar makanan yang diharamkan untuk dikonsumsi dalam syari’at Islam tidak banyak, yaitu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih tidak menyebut nama Allah (QS Al Baqarah 173).

Beberapa Hadits Nabi saw menambahkan binatang yang diharamkan adalah binatang buas yang memiliki kuku atau taring kuat dan binatang yang hidup di air dan di darat. Sedangkan minuman yang jelas diharamkan adalah khamr (QS. Al Maidah 90), yang sekarang disamakan dengan narkoba atau napza.

Barang-barang selainnya yang diharamkan hukumnya adalah halal, seperti semua tumbuhan, buah-buahan, biji-bijian, binatang laut, dan binatang darat yang disembelih secara sah.

Oleh karena itu hukum mengetahui mana yang halal dan mana yang haram bagi seorang muslim adalah wajib. Ada salah satu Hadits :”thalabul halal faridhatun” (mencari yang halal adalah wajib hukumnya). Bahkan salah satu syarat untuk menjadi seorang muslim adalah harus bisa membedakan mana yang hak dan yang batil, harus mengetahui yang halal dan yang haram.

Kedasaran halal rendah
Ada beberapa hasil penelitian yang menyimpulkan, bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara produk makanan minuman yang belebal halal dengan yang tidak ada label halal.

Para pembeli tidak peduli, abai, dan bahkan jarang yang tidak menganggap penting label halal. Yang menjadi pertimbangan jadi tidaknya membeli adalah harga yang kualitas produk, dan bukan jaminan halal. Seharusnya produk yang berlabel halal lebih laris dan diminati oleh umat Islam karena sudah ada jaminan halal dari produsennya, sehingga konsumen sudah terbebas dari haram.

Fakta ini menunjukkan rendahnya kasadaran halal di masyarakat dan sekaligus melemahkan minat pelaku usaha untuk mengikuti sertifikasi halal yang berbiaya. Ikhtiar untuk meningkatkan kesadaran halal ini harus terus dibangun.

Umat Islam harus terus diedukasi tentang pentingnya produk halal sebagai kesempurnaan ibadah. Demikian juga para pelaku usaha harus terus dipacu agar melakukan sertifikasi halal terhadap semua produknya untuk memberikan kenyamanan dan keamanan para konsumennya.

Mengubah keyakinan menjadi keraguan

Faktor yang menyebabkan masyarakat kurang peduli dengan label halal adalah kita sudah terbiasa makan halal, kita merasa yakin halal. Karena kita hidup di masyarakat yang mayoritas muslim, yang menjual orang muslim, yang kita beli juga makanan-makanan yang jelas halal, seperti ikan, ayam, daging sapi atau kambing, dan sayur mayur. Sehingga tidak ada keraguan tentang kehalalannya. Label halal menjadi tidak penting.

Keyakinan sudah pasti halal ini, untuk saat ini harus dirubah menjadi keragu-raguan. Ketika kita ingin mengonsumsi suatu makanan atau barang, maka harus muncul pertanyaan tentang kehalalnnya, terbuat dari bahan apa, bagaimana prosesnya, dan apakah ada campuran dari bahan yang haram.

Ketika kita mengonsumsi ayam atau daging yang sudah dimasak dan tinggal santap, maka harus dipertanyakan, apakah sudah disembelih secara syar’i atau tidak? Ketika kita mengonsumsi obat-obatan, juga harus dipertanyakan dibuat dari bahan yang halal tidak?.

Beberapa hari yang lalu beredar ramai vidio yang berisi himbauan tidak mengguganakan kuas untuk mengoles bumbu ikan bakar karena ditengarai terbuat dari bulu babi. Isu-isu serupa sebelumnya sering muncul, seperti sepatu, dompet, gantilan kunci atau suvenir yang terbuat dari kulit babi.

Makanan olahan seperti sosis, nagt, tempura, juga sering diterpa isu yang sama, katanya terbuat dari daging yang tidak disembelih. Kenyataannya entah benar atau tidak, tetapi cukup meresahkan. Setidaknya membuat hati umat Islam menjadi ragu-ragu jika akan mengonsumsi makanan olahan dalam kemasan.

Jangan-jangan yang kita konsumsi tercampur atau terbuat dari barang yang haram. Keragu-raguan seperti ini adalah bentuk kehati-hatian. Sebab pola konsumsi manusia modern sudah berbeda dengan orang-orang zaman dulu.

Dulu orang memakan tumbuhan atau buah-buahan begitu saja, langsung dimakan mentah atau sekedar dimatangkan dengan cara dibakar atau digodok. Mereka menangkap ikan di laut atau di sungai langsung dikonsumsi.

Demikian juga binatang, dipotong langsung dimasak dan dimakan. Tanpa ada berbagai campuran dan kemasan. Pada zaman modern sekarang ini pola konsumsi sudah sangat berbeda.

Sebagian besar makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetik yang kita konsumsi adalah sudah dalam olahan dan kemasan. Makanan atau minuman olahan terdiri dari berbagai bahan dasar, baik dari nabati maupun hewani, yang dicampur dengan berbagai bumbu-bumbu dan bahan lainnya, sehingga menjadi bahan makanan yang dikemas dan diawetkan.

Meskipun dalam kemasan tertera komponen bahan-bahan olahan, tetapi orang awam tentu tidak bisa mengerti. Apalagi ketika menggunakan bahasa atau istilah bahasa lain yang tidak familier. Orang awam juga tidak mungkin memeriksakan ke laboratorium atau mengecek proses produksinya.

Percaya label halal
Sebagian besar masyarakat tidak faham mengenai proses produksi halal. dan tidak semua orang wajib mengetahui secara detail. Maka serahkan saja kepada ahlinya, yaitu para pemeriksa halal dan para ahli yang sudah terlatih. Kita tinggal manut saja (ittiba’) dan percaya karena sudah dilabeli halal. Produk-produk olahan yang sudah mendapat sertifikasi halal, ibarat hidangan yang sudah siap santap.

Sebelumnya sudah dimasak dengan menggunakan bahan-bahan yang halal, tempat masak yang higenis, dengan racikan aneka bumbu, dan kemudian disajikan dengan kemasan yang menarik. Kita tidak perlu repot ikut memasak di dapur dan ikut memeriksa bahan-bahan atau bumbu-bumbu. Karena sudah ada ahlinya.

Kalau bukan ahlinya ikut masak, malah bisa kacau resepnya. Kita percaya saja, bahwa makanan atau minuman yang sudah dilabeli halal adalah benar-benar halal. Dengan demikian kita sudah terbebas dari makanan yang haram. Jika barang yang dilabeli halal itu ternyata ada campuran haram, maka kita sudah terbebas dari dosa. Dosa-dosa kita sudah ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal(BPJPS).

Inilah pentingnya program sertifikasi halal yang dicanangkan dalam UU-33/2014 tentang Jaminan Produk Halal, yaitu untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk, dan sekaligus meningkatkan nilai tambah bagi para pelaku usaha (Pasal 3).

Pemerintah terus melakukan kampanye wajib sertifikasi halal dengan berbagai cara, termasuk menfasilitasi sertifikasi halal gratis (SEHATI) bagi usaha menengah kecil menengah (UMK) dan besar.

Kewajiban sertifikasi halal ini akan dibatasi sampai pada 17 Oktober 2024 untuk produk makanan, minuman, hasil sembelihan dan jasa penyembelihan, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman.

Jika sampai batas waktu 17 Oktober 2024 belum bersertifikat halal, maka dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Upaya yang baik ini harus kita sambut dan kita dukung. Umat Islam wajib membeli dan mengonsumsi produk-produk yang sudah dinyatakan halal.

Semoga kita semua selalu dilimpahi rizqi yang halalan thayyiban mubarokan, dan dihindarkan dari barang-barang yang haram.

Disampaikan pada khutbah Jum’at di Masjid Agung Jawa Tengah, 13 Dzul Qa’dah 1444H/2 Juni 2023
DR. H. Nur Khoirin YD, MAg, Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo, Advokat, Mediator bersertifikat, Ketua BP4 Jawa Tengah, Ketua Nazhir Uang BWI Jawa Tengah, Sekretaris Bidang Humas dan Kerjasama Masjid Agung Jawa Tengah, Ketua Bidang Remaja dan Kaderisasi Masjid Raya Baiturrahman, Komisi Hukum dan HAM MUI Jawa Tengah, dll. Tnggal di Jl. Tugulapangan H.40 Tambakaji Ngaliyan Semarang. Jatengdaily.com-St

Written by Jatengdaily.com

RUPST Telkom Tahun Buku 2022, Telkomsel Fokus Perkuat Bisnis Broadband TelkomGroup

Pancasila Mengatasi Tantangan Bangsa dan Relevan bagi Dunia