in ,

Raih Gelar Profesor Kehormatan dari Unissula, Henry Yosodiningrat Optimalkan Pengabdian

Henry Yosodiningrat (kiri) saat dikukuhkan menjadi guru besar dari Unissula, oleh Rektor Unissula Prof Dr Gunarto. Foto: siti

SEMARANG (Jatengdaily.com)- Rektor Unissula Prof Dr Gunarto SH MH berpesan kepada Profesor baru Dr KRH Henry Yosodiningrat pasca dikukuhkan menjadi profesor atau guru besar kehormatan dari Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang.

”Semoga ke depan, ilmunya akan bermanfaat bagi dunia pendidikan untuk mewujudkan Indonesia yang sejahter. Tugas penting profesor tidak hanya mengajar, menguji dan meluluskan doktor baru, tapi yang lebih utama mewujudkan Indonesia sejahtera bersama alumni Unissula dan Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia,” papar Rektor Unissula, Jumat (2/6/2023), di kampus Unissula, Jalan Kaligawe Semarang.

Henry Yosodiningrat yang merupakan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Nasional Anti Narkotika (DPP GRANAT) dikukuhkan sebagai Profesor Kehormatan Bidang Hukum dari Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum (FH) Unissula.

Advokat senior yang juga Anggota DPR RI Periode 2014-2019 tersebut merasa bahagia dan bangga atas pengukuhan gelar Profesor Kehormatan oleh Unissula Semarang sebagai salah satu universitas sangat terkemuka di Indonesia.

“Saya menyadari bahwa, gelar Profesor kehormatan bukan merupakan gelar karena kepangkatan dalam dunia akademik, melainkan didasari dengan pertimbangan akademik dari Universitas, dan saya menyadari bahwa Profesor Kehormatan adalah merupakan The Highest Honor For Highly Educated Person (kehormatan tertinggi untuk seorang yang sangat terpelajar), sehingga hal itu benar-benar merupakan suatu kehormatan bagi saya. Dengan dikukuhkan menjadi guru besar, saya akan lebih banyak belajar sehingga akan maksimal dalam berbagi ilmu pengetahuan, juga akan banyak mengajar,” ujar Henry usai upacara pengukuhan oleh Sidang Senat Unissula yang dipimpin Ketua Senat Rektor Unissula.

Pada kesempatan ini Henry Yosodiningrat menyampaikan orasi ilmiahnya berjudul “Politik Hukum Pencegahan Korupsi: Optimalisasi Legislasi Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.”

”Dari berbagai kejahatan yang merupakan ancaman terhadap kelangsungan bangsa yang termasuk katagori the most serious crime dan extra ordinary crime, saya telah menaruh perhatian bahkan telah mewakafkan diri saya untuk memerangi kejahatan narkotika dan obat-obat berbahaya lainnya dengan cara yang sistematis dan konsepsional. Yang secara kongkrit saya telah menggagas dan membentuk serta memimpin sebuah Organisasi Kemasyarakatan sejak 23 Tahun yang lalu,” jelasnya.

Dalam berbagai kesempatan baik diskusi maupun seminar, bahkan berbagai literatur, orang selalu berbicara mengenai masalah korupsi dari sisi pemberantasan dalam arti penegakan hukum, dalam hal ini tindakan represif. Tidak demikian halnya dengan saya, saya lebih cenderung menyampaikan gagasan tentang upaya preventif. Yaitu dilakukan dengan “Politik Hukum

Gagasan tersebut di atas, diawali oleh hasil perenungan dan pengalaman, bahwa siapa yang memenangi perang gagasan, pemikiran, penafsiran maka dia yang akan memenangi peperangan politik hukum. Semoga gagasan ini mendapat perhatian dan dukungan berbagai pihak, sehingga akan menjadi pemenang di panggung politik legislasi nasional.

Bahwa strategi pencegahan khususnya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia “tidak menjadi fokus perhatian pembentuk Undang-Undang” apalagi aparatur penegak hukum, karena yang didahulukan adalah strategi penindakan sehingga tujuan utama Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2011 dalam praktiknya dapat dikatakan tidak berhasil, meskipun dalam Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK telah diamanatkan agar KPK juga melaksanakan fungsi pencegahan.

Berdasarkan perundang-undangan dan kenyataan praktiknya tersebut, proses mengamankan dan menyelamatkan uang negara tidak berhasil dilaksanakan baik oleh kepolisian, kejaksaan, maupun KPK. Bahkan, negara telah mengalami kerugian secara nyata (actual loss) dalam pemberantasan korupsi, yaitu total uang negara yang berhasil dikembalikan dari ketiga lembaga penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan KPK) sebesar kurang dari 10 triliun rupiah selama 2009-2022, meskipun masyarakat telah “terkecoh” oleh berbagai pemberitaan dari berbagai media, yang seolah-olah bahwa KPK telah berhasil mengembalikan kerugian keuangan negara sebesar Rp. 57 Triliun, dengan tidak memperhatikan bahwa angka tersebut merupakan “potensi kerugian” sebagai akibat tindak pidana korupsi.

Oleh karenanya saya berpendapat, bahwa kerugian nyata bagi keuangan atau perekonomian negara yang berhasil dikembalikan dari ketiga lembaga penegak hukum tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan alokasi dan pengeluaran negara untuk ketiga institusi tersebut, yaitu kurang lebih sebesar 50 triliun per tahun anggaran.

Aspek pencegahan, mungkin kalah populer dibandingkan aspek penindakan, hal itu disebabkan antara lain karena penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi memang lebih mudah dinalar sebagai sebuah bentuk tindakan konkret dengan dampak yang memiliki wujud dan bisa dilihat secara langsung dengan kasat mata, misalnya aset berupa rumah, gedung, uang tunai yang disita serta “mudah diukur” secara kuantitatif ketimbang upaya pencegahan yang baru dapat dijelaskan secara kualitatif dan cenderung baru dapat dinilai jauh di masa depan. Ini lah yang menyebabkan masyarakat cenderung menikmati hiruk pikuk berita operasi tangkap tangan (OTT) KPK dan menimbulkan kesan bahwa penindakan lebih penting daripada pencegahan. Pencegahan menjadi tersisih dari perhatian publik dan dianggap kegiatan yang tak begitu penting.

Padahal, korupsi adalah kejahatan yang berkaitan dengan nasib orang banyak karena keuangan negara yang dapat dirugikan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Menurut catatan Bank Dunia setiap 100 juta dollar dana pembangunan yang tidak dikorupsi dapat membangun 240 kilometer jalan, mengimunisasi 4 juta bayi dan memberikan air bersih bagi 250 ribu rumah.

Pencegahan menarik dicermati, karena kenyataan, bahwa korupsi sebenarnya adalah persoalan budaya ketimbang persoalan hukum. Bahwa penyelesaian korupsi harus menitikberatkan ke perihal budaya. Pandangan semacam ini terutama datang dari kalangan filsuf dan budayawan. Di Indonesia, korupsi lebih diperlakukan sebagai persoalan hukum ketimbang persoalan budaya.

Hadir dalam Upacara Pengukuhan diantaranya Rektor Universitas Islam Sultan Agung Prof. Dr. Gunarto, SH, M.Hum, Ketua Senat Unissula, Sekretaris Senat Unissula, segenap Anggota Senat Unissula, Ketua Mahkamah Agung RI Prof Dr H M Syarifuddin SH MH, Kabaharkam Polri Komisaris Jenderal Polisi Dr Mohammad Fadil Imran MSi, Inspektur Jenderal Kemendagri Komjen Pol Drs Tomsi Tohir Balau MSi, Gubernur AKPOL diwakili Irjen Pol Drs Rudi Setiawan SIK SH MH, dan Ketua Umum DPN Peradi Prof Dr Otto Hasibuan SH MM. Selain itu, turut hadir Mukhlis Basri Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, H Andi Ridwan Wittiri SH Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan dan jajaran Pengurus DPP GRANAT dan masih banyak lagi sejumlah pejabat yang hadir. she

Written by Jatengdaily.com

Unissula Masuk World Class University Versi Times Higher Education

Polisi Bongkar Pabrik Ekstasi di Semarang dan Tangerang, Ada Puluhan Butir Yang Disita