Urban Farming dan Peran Petani Milenial di Kota Salatiga

Oleh: Raina Damarsari
Statistisi Muda di BPS Kota Salatiga
SEKTOR Pertanian yang selama ini identik dengan keterlibatan penduduk usia tua, mengalami perubahan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu tren menarik yang muncul adalah semakin banyaknya kaum milenial yang tertarik dan terlibat dalam dunia pertanian. Mereka bukan hanya melihat pertanian sebagai pekerjaan biasa, tetapi juga sebagai peluang untuk menciptakan perubahan positif dan berkelanjutan di sektor ini.
Hasil Sensus Pertanian 2023 menyebutkan jumlah pengelola usaha pertanian perorangan di Kota Salatiga sebanyak 6.171 orang, sebanyak 2.270 orang merupakan usia muda atau Petani Milenial. Petani Milenial merupakan penduduk yang melakukan usaha pertanian berusia 19 sampai dengan 39 tahun. Perbandingan antara petani usia tua dan petani muda melibatkan sejumlah opini dan pandangan yang beragam, tergantung pada konteks budaya, geografis, dan sosial.
Petani usia tua biasanya memiliki pengalaman bertahun-tahun dalam pertanian dan memegang tradisi pertanian. Mereka memiliki pengetahuan mendalam tentang tanaman, cuaca, dan metode tradisional. Sedangkan petani muda meskipun mungkin kurang pengalaman, petani muda membawa pemikiran segar, kecenderungan untuk mencoba inovasi baru, dan kemungkinan menggunakan teknologi modern dalam praktik pertanian. Petani muda cenderung lebih terbuka terhadap penggunaan teknologi dan aplikasi pertanian yang dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas.
Di tengah urbanisasi yang terus berkembang, muncul tren menarik yang mengubah wajah pertanian tradisional, yaitu urban farming atau pertanian perkotaan. Fenomena ini tidak hanya memperkenalkan pendekatan baru terhadap produksi pangan, tetapi juga melibatkan generasi muda atau petani milenial yang berperan kunci dalam mewujudkan masa depan pertanian yang berkelanjutan.
Urban farming merujuk pada praktik pertanian yang dilakukan di wilayah perkotaan atau pinggiran kota. Kota Salatiga, dengan kepadatan penduduk dan lahan yang terbatas, menjadi tempat ideal untuk mengembangkan konsep ini.
Beberapa keuntungan utama urban farming di Kota Salatiga melibatkan pemanfaatan lahan terbatas, peningkatan aksesibilitas pangan lokal, dan pengurangan dampak lingkungan yang disebabkan oleh transportasi dan distribusi jarak jauh. Beragam metode urban farming dapat ditemui di Kota Salatiga, termasuk pertanian vertikal, hidroponik, dan penanaman pangan di atap bangunan. Hal ini tidak hanya memanfaatkan ruang yang terbatas, tetapi juga mengurangi penggunaan air dan pestisida, menghasilkan hasil yang lebih efisien dan berkelanjutan.
Salah satu aspek yang membedakan urban farming di Kota Salatiga adalah keterlibatan aktif petani milenial. Generasi muda ini membawa semangat baru, gagasan kreatif, dan pemahaman teknologi ke dalam dunia pertanian. Mereka tidak hanya melihat pertanian sebagai pekerjaan fisik, tetapi juga sebagai peluang untuk berinovasi dan berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan.
Urban farming di Kota Salatiga merupakan salah satu contoh di mana pertanian dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan kebutuhan masyarakat. Peran vital yang dimainkan oleh petani milenial tidak hanya menciptakan lapangan kerja lokal dan memasok pangan berkualitas, tetapi juga menciptakan fondasi bagi pertanian yang berkelanjutan di masa depan. Melalui kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku industri, Kota Salatiga dapat menjadi model inspiratif bagi kota-kota lain dalam mengembangkan pertanian perkotaan yang berdaya tahan dan inovatif. Jatengdaily.com-yds