SEMARANG (Jatengdaily.com) – Wakil Gubernur Jateng, H Taj Yasin Maemoen secara resmi membuka Kongres Nasional Perempuan 2023 yang dilaksanakan di Auditorium Prof. Sudharto, SH, Universitas Diponegoro (UNDIP) Tembalang, Semarang, Kamis (24/08).
Kongres Nasional Perempuan diikuti sekitar 1.000 peserta mengambil tema ”Demokrasi dan Kepemimpinan Perempuan Menuju satu Abad Indonesia”. Taj Yasin dalam sambutannya menyatakan, hendaknya dipahami bahwa pergerakan dan perjuangan pemenuhan hak asasi perempuan mengalami proses panjang.
Kongres Wanita I (Pertama) Tahun 1928 di Yogyakarta mengangkat isu pendidikan dan perkawinan anak. Hasil kongres tersebut merekomendasikan penguatan pendidikan dan alokasi anggaran beasiswa untuk anak perempuan serta pencegahan perkawinan dini.
Selanjutnya Kongres Wanita II (Kedua) Tahun 1935 di Jakarta dan Kongres Wanita III (Ketiga) Tahun 1938 di Bandung mengangkat isu kesenjangan/ketidak-adilan yang dialami perempuan seperti buta aksara, pendidikan rendah, kematian ibu melahirkan, pemaksaan perkawinan dan perkawinan anak, hak memilih dan dipilih, poligami dan kekerasan dalam rumah tangga serta kekerasan seksual.
”Kita bersyukur pemerintah selalu merespons atas tuntutan pemenuhan hak asasi perempuan, meski arah kebijakannya mengalami pasang surut pada tiap rezim. Hal demikian antara lain juga dipengaruhi oleh situasi nasional dan tuntutan global,” ujar Wagub.
Seiring perkembangan peradaban dunia dalam tata kelola pemerintahan yang demokratik, membangun partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan, kontrol sosial masyarakat sipil kepada penyelenggara negara dan akuntabilitas penyelenggara pemerintahan, maka diterbitkan sejumlah regulasi untuk menjamin pemenuh-an hak asasi perempuan serta mekanisme hukum. Hal ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan dan pemulihan pelanggaran atas hak asasi perempuan.
Hendaknya dipahami, bahwa reformasi 1998 menjadi tonggak sejarah pembaharuan politik dan hukum yang lebih memberi kepastian peme-nuhan dan perlindungan hak asasi perempuan. Amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menegaskan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, mendapatkan pendidikan, lingkungan hidup yang baik, pelayanan kesehatan, bebas atas perlakuan diskriminatif dan mendapat perlindungan atas perlakukan diskriminasi.
Selain itu juga, lanjut Wagub, mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama. Lebih menggembirakan lagi karena negara berkewajiban memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
Implementasi norma UUD 1945, melahirkan sejumlah Undang-Undang (UU) yang menjamin keadilan dan kesetaraan gender. Beberapa di antaranya adalah kebijakan kuota 30 persen keterwakilan perempuan sebagai calon anggota legislatif, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Peng-hapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dan peningkatan batas usia perkawinan menjadi 19 tahun.
Selain itu juga adanya upaya dalam penyeleng-garaan layanan terpadu bagi perempuan korban kekerasan di seluruh provinsi dan kab/kota, penurunan angka buta aksara dan putus sekolah, penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), mening-katnya akses perempuan terhadap pendidikan tinggi, pekerjaan layak dan kesehatan reproduksi.
Terkait hal tersebut maka regulasi yang memberi perlindungan terhadap perempuan perlu didukung oleh aparatur pelaksana hukum dan budaya hukum masyarakat. Maka di sinilah kongres perempuan selalu relevan untuk melakukan refleksi dan proyeksi pemenuhan hak asasi perempuan menyongsong 1 (satu) abad Indonesia.

Sementara itu Ketua BKOW Jateng yang juga Ketua Umum Panitia Kongres Nasional Perempuan, Hj Nawal Arafah Yasin mengatakan, sebentar lagi tahun 2045, 21 tahun lagi bangsa Indonesia akan memasuki satu abad Indonesia merdeka. Kemerdekaan bangsa dan negara ini adalah hasil dari perjuangan seluruh rakyat Indonesia, baik pelajar, santri, petani, pedagang, tokoh agama, pemuda, laki-laki dan juga perempuan.
Ada Cut Nyak Dien dari Aceh, Martha Crhistina Tiahahu dari Maluku, RA Kartini dari Jepara, Dewi Sartika dari Jawa Batrat, Maria Walanda Marawis dari Minahasa, Laksamana Malahayi dari Aceh, Fatmawati Soekarno dari Bengkulu, Nyai Ageng Serang dari Puwodadi, Ande Deppu Maraddia Balanipa dari Polewali Mandar dan banyak lagi perempuan-perempuan yang memimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia yang mengorbankan kemapanan, harta, keluarga, dan nyawa untuk Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
”Pertanyaanya sekarang, apakah setelah hampir satu abad Indonesia Merdeka, perempuan – perempuan di seluruh negeri tercinta ini sudah mendapatkan kebebasan, kemerdekaan, dan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia ?,” ujar Hj Nawal.
Sulit bagi kita, lanjut dia, semua untuk menerima sebuah pernyataan “bahwa perempuan-perempuan di seluruh penjuru negeri sudah memperoleh hak-haknya sebagai warga negara, sudah menempati posisi yang strategis dalam kemimpinan nasional dan daerah”. Karena pengalaman hidup kita sebagai perempuan dari usia anak, remaja, dewasa hingga lanjut usia memberikan fakta-fakta yang berbeda dan membantah pernyataan tersebut.
Kemiskinan, pendidikan rendah, pekerjaan tanpa upah, beban ganda, perkawinan anak, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, perdagangan perempuan, stereotipe, gizi, akses terhadap kepemilikan tanah, dan masalah perempuan dengan kedaulatan pangan masih terus terjadi di Indonesia.
Masalah-masalah hak asasi manusia ini yang menghambat, menghalangi dan membatasi kepemimpinan perempuan di Indonesia baik di nasional, provinsi, kabupaten /kota dan di desa.
Pasal 28 UUD 1945, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi CEDAW, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah melarang segala bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi terhadap perempuan. Memastikan semua perempuan memiliki kesempatan untuk terlibat dan dipilih sebagai pemimpin – pemimpin di negeri ini, baik di pemerintahan, parlemen, partai politik, BUMN, perusahaan swasta, serta organisasi masyarakat.
Tidak ada demokrasi tanpa adanya kepemimpinan perempuan, tidak ada kesejahteraan tanpa kemajuan perempuan, dan tidak keadilan tanpa perlindungan perempuan.
Pemerintahan dan kehidupan politik pascareformasi menjasi lebih terbuka, desentralis, demokratis serta melahirkan banyak kepemimpinan perempuan di tingkat nasional dan daerah, serta meningkatkan kerja kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, organisasi perempuan, dunia usaha, perguruan tinggi, dan media massa untuk memajukan hak asasi perempuan.
Kongres Perempuan Nasional mengangkat tema “Demokrasi dan Kepemimpinan Perempuan, Menuju Satu Abad Indonesia” yang merupakan kelanjutan dari Kongres Perempuan Jawa Tengah tahun 2018 dimaksudkan untuk ; (i) mempromosikan perubahan dan dampak-dampak baik atas kehadiran kepemimpinan perempuan; (ii) mempertemukan dan menghubungkan ragam kapasitas, prakarsa, dan inovasi penguatan kepemimpinan perempuan; (iii) mendorong posisi dan peranan substantif kepemimpinan perempuan; serta (iv) merumuskan isu-isu dan agenda gerakan perempuan untuk visi indonesi satu abad yang berkeadilan gender.
Dalam laporannya Hj Nawal menyebutkan, Kongres Perempuan Nasional ini diikuti 1000 peserta dari 24 provinsi di Indonesia. Selama tiga hari ke depan, Konggres akan dimulai dengan stadium genneral atau seminar dengan pembicara Ibu mentri KPPPA (Ibu I Gusti Ayu Bintang Darmawati, S.E M.Si), dilanjutkan oleh Ibu Prof. Dr. Dra. Sulistiowati Irianto, MA dan Ibu Dr. Hartuti Purnaweni, MPA.
Setelah itu dilanjutkan dengan sidang komisi yang akan membahas masalah terkait kepemimpinan perempuan dalam tata kelola pemerintahan; perempuan dan kedaulatan pangan; kebijakan adil gender dan penghapusan kekerasan; perubahan iklim dan energi bersih; serta isu terkait perempuan dengan media dan kebudayaan. Setelah itu dilanjutkan dengan perumusan, pembacaan dan penyerahan hasil-hasil dan rekomendasi Konggres Perempuan Nasional.St