Oleh: Mohammad Agung Ridlo
Pesisir merupakan wilayah yang seringkali rawan terhadap bencana banjir, erosi, abrasi dan peristiwa/fenomena terjadinya penurunan tanah (land subsidence) serta intrusi air laut. Beberapa wilayah pesisir di Indonesia yang rawan terhadap bencana tersebut meliputi pantura Jawa, Lampung, Palembang, Aceh, Sumatra Barat, Manado, Minahasa, dan Pulau Sumbawa.
Problem tersebut telah mencapai tahapan kritis, karena banyak lahan produktif yang hilang akibat erosi. Erosi atau abrasi pantai di Indonesia dapat diakibatkan oleh proses alami, aktivitas manusia ataupun kombinasi keduanya. Akibat aktivitas manusia misalnya pembangunan pelabuhan, reklamasi pantai (untuk pemukiman, pelabuhan udara, dan industri).
Namun demikian penyebab utamanya adalah gerakan gelombang pada pantai terbuka, seperti pantai selatan Jawa, Selatan Bali dan beberapa areal Kepulauan Sunda. Di samping itu, karena keterkaitan ekosistem, maka perubahan hidrologis dan oseanografis juga dapat mengakibatkan erosi/abrasi pada wilayah pesisir.
Begitu juga sebaliknya jika ada problem erosi/abrasi, maka akan terjadi pula problem sedimentasi/akresi. Sebagai contoh, kegiatan penebangan hutan atau pertanian di lahan atas (up land) yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah, mengakibatkan peningkatan laju erosi dan masukan beban ke dalam perairan sungai, yang pada akhirnya sedimen ini akan terbawa oleh aliran air sungai dan mengendap di sungai sampai dengan perairan pantai di wilayah pesisir.
Selanjutnya dalam banyak kasus, pendekatan pembangunan sektoral tidak mempromosikan penggunaan sumberdaya pesisir secara terpadu dan efisien. Penekanan sektoral hanya memperhatikan keuntungan sektornya dan mengabaikan akibat yang timbul dari atau terhadap sektor lain, sehingga terjadi konflik penggunaan ruang di wilayah pesisir dan lautan karena belum adanya atau diabaikannya tata ruang yang mengatur kepentingan berbagai sektor yang dapat dijadikan acuan oleh segenap sektor yang berkepentingan.
Pada dasarnya hampir di seluruh wilayah pesisir dan lautan Indonesia terjadi konflik-konflik antarberbagai kepentingan. Penyebab utama dari konflik tersebut, adalah karena tidak adanya atau terabaikannya aturan tentang penataan ruang pesisir dan lautan dan alokasi sumberdaya yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan. Setiap pihak yang berkepentingan mempunyai tujuan, target, dan rencana untuk mengeksploitasi sumberdaya pesisir.
Perbedaan tujuan, sasaran dan rencana tersebut mendorong terjadinya konflik pemanfaatan sumberdaya (user conflict) dan konflik kewenangan (jurisdictional conflict). Akibat pengembangan wilayah yang sangat cepat, dengan aktivitas manusia (anthropogenic) yang beragam di wilayah pesisir, namun kesiapan pemerintah untuk mengantisipasi perkembangan tersebut terbatas, pada gilirannya akan memunculkan berbagai konflik dan permasalahan.
Berbagai konflik dan permasalahan yang terkait dengan wilayah pesisir yang sampai saat ini tak kunjung selesai antara lain:
Pertama, Merebaknya permukiman kumuh (slum dan squatter) di wilayah koridor sungai, yang menggambarkan kurangnya pengawasan dari pihak yang berwenang pada area sempadan sungai.
Kedua, kesadaran masyarakat tentang kebersihan dan membuang sampah belum sepenuhnya baik. Terlihat berbagai jenis sampah yang berada di saluran drainase, sungai dan muara sungai, dan tentunya berdampak pada terganggunya aliran sungai, lingkungan kotor dan polusi sampah di muara sungai dan laut.
Ketiga, aktvitas pembukaan lahan atau alih fungsi lahan dari lahan konservasi menjadi lahan budidaya (terbangun) dengan berbagai fungsi, tanpa mengindahkan kaidah-kaidah planologis. Kegiatan tersebut salah satunya adalah penebangan pohon (penggundulan hutan) di area konservasi yang berada di wilayah hulu yang seharusnya merupakan area dilindungi.
Keempat, Perkembangan wilayah di bagian hulu, menyebabkan kurangnya daya resap tanah pada wilayah tersebut, pada gilirannya meningkatkan aliran permukaan ( surface run-off) yang berupa banjir.
Kelima, Kebijakan reklamasi pantai di area rawa-rawa di wilayah pesisir mengakibatkan hilangnya fungsi sebagai wilayah tampungan air, sehingga memperbesar aliran permukaan.
Keenam, Laju sedimentasi di muara semakin bertambah yang berarti mengurangi luas tampang basah sungai di muara, hal ini menimbulkan efek pembendungan yang cukup signifikan, pada gilirannya meningkatkan frekuensi banjir.
Ketujuh, Terbatasnya kemampuan pemerintah dalam penyediaan prasarana air bersih dan pelayanan dari PDAM yang kurang memadai dan terbatas, pada gilirannya masyarakat memenuhi kebutuhan air bersih melalui sumur artesis (eksploitasi ABT) menyebabkan terjadinya perembesan atau penyusupan air laut (intrusi air laut) melalui pantai menuju ke daratan.
Kedelapan, Terjadinya eksploitasi air bawah tanah (ABT) yang semakin banyak melalui sumur artesis. Penggunaan ABT yang berlebihan (terganggunya keseimbangan ABT) mengakibatkan penurunan tanah (land subsidence), hal ini juga akan berpotensi terkait dengan bencana banjir.
Sebagai catatan akhir dalam upaya penanganan berbagai problem yang terkait dengan wilayah pesisir adalah perlu adanya keseriusan dari pemangku kepentingan yang terdiri dari pihak-pihak internal maupun eksternal yang berkepentingan, berpengaruh dan terkait langsung dengan permasalahan yang terjadi. Setiap pemangku kepentingan memiliki kebutuhan yang berbeda sehingga diperlukan pemetaan pemangku kepentingan secara akurat sesuai dengan kebutuhan, tujuan, target, dan rencana masing-masing. Namun demikian tetap dalam perencanaan yang komprehensif, sehingga tidak terjadi konflik-konflik kepentingan.
Selain itu peran stakeholders (terutama masyarakat) dalam perencanaan wilayah pesisir dan laut perlu lebih ditingkatkan, sehingga konsensus dan komitmen pada tingkat masyarakat (sebagai penerima manfaat terbesar) dari potensi sumber daya pesisir dapat dicapai dan dapat dilaksanakan.
Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, M.T., Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota (Planologi) FT Unissula dan Dewan Pakar PKS Kota Semarang. Jatengdaily.com-st