in

Menganiaya Yunior, 6 Taruna PIP Semarang Cuma Divonis 10 Bulan Penjara, Orang Tua Korban Kecewa Berat

SEMARANG (Jatengdaily.com) – Enam taruna Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang divonis masing-masing 10 bulan penjara dipotong masa tahanan sementara. Hakim ketua Kukuh Kalinggo Yuwono menyatakan para terdakwa dinyatakan terbukti menganiaya yuniornya, dalam sidang di Pengadilan Negeri Semarang, Senin (14/10/2024).

Usai hakim menjatuhkan vonis, kedua orang tua korban MG (20), yakni Yk (52) dan GH (52) yang hadir pada sidang putusan menyatakan sangat kecewa. Vonis yang menjerat senior dari korban MG tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa, yang meminta keenam terdakwa dihukum satu tahun penjara atas dakwaan melanggar Pasal 351 ayat 1 juncto Pasal 55 (1) KUHP. Pasal itu mengatur tentang penganiayaan.

BACA JUGA: Stasiun Tawang Siapkan 16 Pompa Air untuk Antisipasi Banjir di Musim Hujan

Sejak persidangan pembacaan dakwaan hingga hakim ketua menjatuhkan vonis, para terdakwa cuma dihadirkan secara virtual, yakni MD, ZA, IY, PD, RN, dan DP. Mereka adalah taruna tingkat II Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang. Adapun korban MG merupakan taruna tingkat I PIP Semarang.

Dalam persidangan terungkap, para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menganiaya MG, taruna PIP Semarang pada 2 November 2022 di ruang fitness PIP Semarang. Para terdakwa bergantian memukul MG di perut, masing-masing sebanyak lima kali. Akibat pemukulan tersebut, MG mengalami sakit dan memar di perutnya. PIP Semarang pun telah menskorsing para terdakwa selama satu tahun.

Hakim ketua, Kukuh Kalinggo Yuwono SH (tengah) membacakan vonis kepada enam taruna PIP Semarang, masing-masing 10 bulan penjara di PN Semarang, Senin (14/10/2024). Foto:dok

Hakim menilai, hal-hal yang memberatkan para terdakwa akibat perbuatannya para terdakwa merugikan dunia pendidikan, khususnya di PIP Semarang. Adapun hal yang meringankan para terdakwa masih berusia muda dan masih mengikuti pendidikan di PIP Semarang.

Sedangkan hal meringankan, para terdakwa belum pernah dihukum dan mengakui perbuatannya. Mereka juga sudah meminta maaf kepada korban dan menyesali perbuatannya. Hakim berpendapat, hukuman pidana terhadap para terdakwa bukanlah balas dendam, melainkan mendidik para terdakwa agar tak melakukan perbuatan seperti itu lagi. Para terdakwa pun diperintahkan untuk tetap ditahan. Atas vonis itu, baik jaksa maupun penasihat hukum terdakwa menyatakan pikir-pikir.

Membiarkan Premanisme di Kampus

Sementara itu GH, orang tua korban menyatakan sangat kecewa dengan putusan hukuman yang ringan bagi para terdakwa. Hal ini menunjukkan bahwa negara jelas-jelas tidak hadir memberantas premanisme, penganiayaan, bahkan menyebabkan kematian, dalam pendidikan yang sudah lama berlangsung dan tidak pernah dibongkar akarnya, yaitu normalisasi praktik kekerasan baik secara sembunyi sembunyi, maupun terang-terangan.

”Kalau lapor akan lebih parah akibatnya. Setelah kejadian anak saya pun, masih juga terjadi kejadian kematian taruna, baik di Poltekpel Surabaya di bulan Februari tahun 2023, maupun di STIP Jakarta di bulan Mei tahun 2024,” ujar GH.

Dia menilai, vonis ringan yang dijatuhkan kepada para terdakwa tidak terlepas dari perubahan pasal yang digunakan oleh jaksa penuntut umum (JPU) yang awalnya menerapkan pasal 170 dengan ancaman hukuman 5 tahun, diubah menggunakan pasal 351 ayat 1 jo pasal 55, dengan ancaman hukuman dua tahun.

”Selain itu kami sangat kecewa dengan tuntutan satu tahun dari JPU yang tidak mempertimbangkan kerugian yang dialami korban. Selain luka-luka dalam, trauma psikologis, putus sekolah, dan hilangnya peluang menjadi CPNS karena jalur yang telah diraihnya adalah kedinasan, yaitu pola pembibitan Kementerian Perhubungan,” ujarnya.

Hal yang sama dikatakan ibu korban, Yk merasa terpukul dan kecewa sekali usai hakim menjatuhkan vonis sangat ringan. Setelah dikecewakan JPU yang hanya menuntut satu tahun penjara kepada pelaku, kini kembali dikecewakan majelis hakim yang sama sekali tidak berpihak pada korban yang faktanya mengalami sakit dan trauma.

”Anak kami yang menjadi korban. Putusan ringan kepada para pelaku sama saja menormalkan kekerasan di dunia pendidikan yang sudah terjadi bertahun-tahun, padahal saat masuk pihak kampus meminta kepada calon taruna untuk menandatangani pernyataan tidak boleh melakukan kekerasan, tetapi kenyataannya aksi kekerasan masih saja berlangsung di kampus itu,” ujar ibu korban, Yk.

Nico Wauran SH, pengacara publik dari LBH Semarang mengecam atas vonis ringan yang dijatuhkan hakim. Karena dengan vonis 10 bulan tersebut, berarti para terdakwa sudah terbukti dan meyakinkan telah melakukan tindak kekerasan penganiayaan.

”Vonis ringan ini jelas membuat kedua orang tua korban merasa kecewa, sebab hukuman penjara itu tidak sebanding dengan luka, trauma, dan kesakitan yang dialami anaknya, yakni MG,” ujar Nico.
Terkait vonis ringan kepada enam taruna PIP tersebut, LBH Semarang bersama YLBHI Pusat akan melakukan advokasi secara nasional, yakni meminta kepada negara melakukan perbaikan sistem pendidikan agar tidak ada lagi praktik kekerasan di kampus kedinasan. Hal ini agar tidak ada korban baru di dunia pendidikan di kampus kedinasan.

”Praktik kekerasan ini tidak hanya terjadi di PIP Semarang, tetapi juga terjadi di sejumlah kampus kedinasan lainnya. Oleh karena itu, langkah selanjutnya LBH bersama YLBHI akan mengadvokasi secara nasional kepada pemerintah pusat. St

Written by Jatengdaily.com

Kuliah Pakar MM USM, Prof Kesi: Mahasiswa Harus Kreatif dan Resilient

Kembali Catat Prestasi, PT Semen Gresik Raih Predikat Silver Winner di Ajang AHI 2024