Oleh : Nur Khoirin YD
Kisah Si Jad Anak Yahudi
Ada kisah nyata yang terjadi pada era 1940an. Jad adalah seorang kanak berusia 7 tahun yang tinggal bersama keluarganya di apartment modern di kota di Perancis.
Dia lahir dari keluarga Yahudi yang taat dan berpendidikan tinggi. Ibunya salah seorang professor di universiti terkemuka di Perancis ketika itu.
Di salah satu sudut ‘ground floor’ apartment tersebut, ada sebuah kedai kecil yang menjual aneka kebutuhan tempat bagi warga sekitar untuk belanja memenuhi keperluan sehari-hari mereka, termasuk keluarga Jad. Kedai itu milik seorang Turki bernama Ibrahim, 67 tahun.
Seorang muslim yang sangat sederhana, bukan dari kalangan kaya yang berpendidikan tinggi.
Hampir setiap hari Jad berbelanja di kedai ini. Bila berbelanja, Jad selalu secara diam-diam mengambil sebiji coklat. Sampai suatu hari ia lupa mencuri coklat tersebut.Ketika melangkah meninggalkan kedai itu, Ibrahim memanggilnya dan berkata, “Jad, kamu lupa sesuatu, nak.”
Jad memeriksa barang-barang belanjaannya. Tetapi, tidak menemui sesuatu yang terlupa. “Bukan itu,” kata Ibrahim. “Ini.”Sambil memegang coklat yang biasa dicuri Jad. Tentu saja Jad terkejut dan ketakutan.
Baca Juga:Pertamina RJBT Sukses Gelar UMK Academy, 133 UMK Siap Naik Kelas
Takut bila Ibrahim menyampaikan ‘hal memalukan’ tersebut kepada orang tuanya. Reaksinya, bingung dan pucat. “Tidak apa-apa, nak. Mulai hari ini kau boleh mengambil sebiji coklat gratis sebagai hadiah. Tapi, berjanjilah untuk jujur dan mengatakannya,” kata Ibrahim sambil tersenyum penuh kasih sayang.
Sejak hari itu, Jad menjadi sahabat Ibrahim. Ia tidak hanya datang untuk berbelanja, tetapi Ibrahim kawan tempat bercerita dan berkonsultasi berbagai masalah yang dihadapi. Bila ia menghadapi suatu masalah, Ibrahim adalah orang yang pertama diajaknya berbicara.
Dan, bila itu terjadi, Ibrahim tidak pernah langsung menjawabnya, namun selalu menyuruh Jad untuk membuka halaman sebuah buku tebal yang tersimpan di sebuah kotak kayu. Ibrahim akan membaca dua halaman tersebut tanpa suara, kemudian menjelaskan jawapan dari masalah yang dihadapi Jad.
Hal tersebut berlangsung selama lebih kurang 17 tahun. Sampai satu ketika salah seorang anak Ibrahim mendatangi Jad yang sudah tumbuh menjadi remaja dewasa, mengabarkan bahwa Ibrahim, sahabat sejatinya itu telah meninggal dunia.
Di akhir hayatnya Ibrahim berwasiat agar kotak berisi kitab itu diserahkan kepada Jad. Kotak berisi kitab itu diterimanya dengan sedih dan terharu.
Satu ketika, Jad sedang menghadapi masalah pelik. Ia mengambil kotak itu dan membuka kitab yang ada di dalamnya, sebagaimana yang sering ia lakukan dengan Ibrahim.
Ternyata kitab itu bertuliskan huruf Arab. Dia pun memohon temannya yang berbangsa Tunisia untuk menjelaskan makna dari 2 halaman yang dipilihnya secara acak. Si teman itu pun kemudian membacakan makna tulisan itu.
Sungguh, apa yang disampaikan sahabatnya seakan jawapan khusus bagi masalah yang sedang dia hadapi. Jad lalu bertanya kepada sahabatnya: “Ini kitab apa?” Temannya itu menjawab, “Al-Qur’an, kitab suci Umat Islam.” Jad terkejut dan takjub mendengar jawaban tersebut.
Ia langsung bertanya bagaimana syarat untuk menjadi seorang muslim?. Dijawab oleh Si Tunisia : “Mudah, anda mengucapkan syahadat dan berusaha menjalankan syariah.” Hari itu juga Jad memeluk Islam dan menambah namanya menjadi “Jadullah Al-Qurani”. Dia berjanji untuk mempelajari Al-Quran dengan sebaik-baiknya dan semampunya.
Tentu saja keluarga Jad yang beragama Yahudi taat, terutama ibunya yang profesor, sulit menerima hal tersebut dan berusaha untuk mengembalikan Jad kepada keyakinannya semula. Ibunya berjuang dengan pelbagai cara, bahkan mengajak teman-teman dari kalangan intelektual Yahudi untuk memberi penjelasan kepada Jad. Ini berlangsung selama 30 tahun. Namun, tidak berhasil.
Jadullah Al-Qur’ani meninggal dunia pada tahun 2003. Dalam perjalanan dakwahnya sebagai seorang Muslim, selama lebih kurang 30 tahun, dia telah mengislamkan lebih dari 6 juta orang di Afrika. Sementara Ibunya yang sejak awal gigih menentang keislamannya, diakhir hayatnya juga memeluk Islam pada tahun 2005, pada usia 78 tahun, dua tahun setelah Jadullah Al-Qur’ani wafat.
Orang lain melihat Islam melaui akhlaq kita
Pelajaran apa yang kita bisa ambil dari kisah ini? Pengaruh Ibrahim yang bersahaja, ternyata mengalahkan semua orang pintar di sekitar Jad. orang-orang hebat, seperti profesor doktor yang sengaja dipanggil oleh ibunya untuk mengembalikan Jad ke imannya semula, tidak berhasil. Jadullah pernah berkata, “Saya menjadi muslim di tangan seorang lelaki yang justeru tidak pernah berbicara tentang konsep-konsep agama.
Dia tak pernah berkata : “kamu Yahudi”, “kamu kafir”, “belajarlah agama”, “jadilah muslim”. “Tapi, ia menyentuh saya dengan akhlak, sebaik-baiknya perilaku. Memperkenalkan kepada saya sebaik-baiknya kitab, yaitu Al-Qur’an, sumber solusi keidupan”.
Ternyata orang lain tertarik dengan Islam bukan karena keimanan kita yang kuat, bukan karena shalat kita yang taat, bukan karena rajin puasa atau karena haji umroh kita yang berkali-kali. Keimanan hanya bersemayam di dalam hati yang tidak nampak. Ibadah kita juga sering hanya rutinitas yang tidak berbekas.
Keislaman kita tidak sempurna hanya dengan iman dan ibadah. Iman adalah akar yang menghunjam agar mampu menopang tegaknya pohon yang kokoh dan dahan-dahan yang rimbun. Ini saja tidak cukup. Akar yang kuat, pohon yang kokoh dan daun-daun yang menghijau harus memberi buah yang lebat. Buah itulah adalah akhlaqul karimah, perilaku yang baik, yang bisa dirasakan oleh orang-orang lain, bahkan oleh non muslim sekali pun.
Ternyata orang luar tertarik dengan Islam, tentu selain karena kebenaran dan keunggulan ajaran Islam, tetapi yang terpenting adalah karena akhlaq yang baik seorang muslim. Bukan dengan hanya teori-teori yang rumit, bukan dengan diskusi yang sulit, bukan dengan ceramah-cemarah yang hebat dan mahal. Apalagi dengan dengan memaksa dan mengancam.
Ternyata sosok Ibrahim yang sederhana, tidak berpendidikan tinggi, dan tidak pandai berceramah, bisa meluluhkan hati seseorang untuk mendapatkan hidayah Islam. Banyak orang luar yang tertarik masuk Islam adalah karena keluhuran budi dan kelembutan akhlaq kita.
Kunci sukses keberhasilan Rasulullah dalam menyebarkarkan risalah Islamiyyah yang hanya dalam wakatu singkat, 23 tahun (13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madidah) mampu mengislamkan seluruh Jazirah Arab, dan sekarang ajaran-ajarannya menjadi petunjuk dunia, adalah karena Syari’at Islam disebarkan melalui akhlaq Beliau yang mempesona. Nabi sedikit berceramah, tetapi benyak memberi contoh dan mempraktekkan sendiri. Nabi saw adalah sosok teladan dan manusia percontohan.
Hal ini disebutkan dalam Al Qur’an QS. Al Ahzab 21 :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.
Akhlaq Nabi adalah Al Qur’an. Ucapan-ucapannya adalah nasihat kehidupan, perilakuknya adalah model manusia ideal, dan bahkan diamnya adalah pelajaran berharga.
Sekarang ini sudah banyak orang mendiskusikan Islam, dakwah dengan ceamah-ceramah dan pengajinan juga terus berkembang. Yang masih kurang adalah dakwah dengan keteladanan, dan dakwah dengan tindakan nyata. Karena lisanul hal afshahu min lisanil maqal (bahasa perbuatan lebih fasih dari bahasa perkataan).
Marilah kita perbaiki citra Islam dengan akhlaq Al Qur’an, akhlaqul karimah, dengan perilaku yang mempesona. Agar orang lain siapapun agamanya dapat melihat sendiri keindahan akhlaq Al Qur’an dan kemudian masuk mengikutinya.
Khutbah Jum’ah di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), 26 Muharram 1446H/2 Agustus 2024M
Prof. Dr. H. Nur Khoirin YD, MAg, Guru Besar Hukum Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo/Advokat/Mediator/Arbiter Basyarnas/Ketua BP4 Propinsi Jawa Tengah/Ketua Nazhir wakaf Uang BWI Jawa Tengah/Komisi Hukum dan HAM MUI Jawa Tengah/Wakil Sekretaris II PP Masjid Agung Jawa Tengah/ Ketua Bidang Remaja dan Kaderisasi Masjid Raya Baiturrahman Semarang. Tinggal di Jln. Tugulapangan H40 Tambakaji Ngaliyan Kota Semarang.
Jatengdaily.com-St