Oleh Gunoto Saparie
SEJARAH sastra Indonesia, kita tahu, sering disusun seperti parade yang rapi. Ada barisan. Ada tongkat estafet. Dimulai dari Angkatan Balai Pustaka, lalu Pujangga Baru, Angkatan ’45, Angkatan ’66, Angkatan Reformasi, Angkatan 2000, hingga sesuatu yang belakangan disebut Angkatan Puisi Esai. Tetapi, benarkah sastra berjalan seperti barisan tentara, tegap dan satu komando?
Angkatan Balai Pustaka, misalnya, sering disebut sebagai awal dari sastra Indonesia modern. Di sana ada Marah Rusli, Merari Siregar, Abdul Muis. Kita membaca novel Siti Nurbaya, dan kita melihat modernitas yang setengah hati. Mereka menulis dalam bahasa Indonesia yang baru lahir—bahasa yang bahkan belum merasa cukup tua untuk bicara tentang cinta tanpa disensor. Zaman itu adalah zaman moral kolonial: sastra harus mendidik. Tugasnya: memperbaiki akhlak, bukan mengguncang batin.

Tetapi justru dalam keterbatasan itulah, kita menemukan semacam kelahiran. Marah Rusli menuliskan konflik antara cinta dan adat. Itu bukan sekadar drama, tapi juga benturan antara masa lalu dan masa depan. Antara tanah Minang dan modernitas Hindia Belanda.
Lalu datang Pujangga Baru dan kita mengenal nama-nama seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, atau Sanusi Pane. Mereka ingin sastra menjadi nyala api kebangsaan. Mereka bicara tentang kebudayaan tinggi, tentang roh zaman, tentang peradaban yang katanya mesti condong ke Barat. Di sinilah ide tentang sastra sebagai pelopor modernitas benar-benar digemakan. Mereka tidak menulis untuk pasar, tetapi untuk sejarah. Sastra menjadi bagian dari proyek kebangsaan.
Tetapi suara itu pecah ketika Chairil Anwar datang, membentak dan meledak. Angkatan ’45 bukan angkatan dalam arti kronologis semata, tetapi semacam tekad eksistensial. Chairil menulis puisi yang “aku”-nya tak takut mati. Atau setidaknya, tak takut terlihat takut mati.
Di angkatan ini, kita temukan semacam kebebasan bahasa. Tidak ada lagi diksi yang dijaga seperti porselen. Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin; mereka membawa bahasa Indonesia ke jalan-jalan, ke tubuh, ke kegetiran.
Tetapi setelah revolusi selesai, sastra kembali mencari tempat. Lahir Angkatan ’66—sebuah generasi yang hidup di bawah bayang-bayang trauma 1965. Nama-nama seperti Taufiq Ismail, WS Rendra, Ajip Rosidi, muncul membawa suara zaman yang baru: antikomunis, nasionalistik, religius. Taufiq menyerukan bahwa “kami adalah angkatan yang menolak warisan Bung Karno.” Rendra menjadi Burung Merak, meneriakkan kritik sosial dalam bahasa yang teatrikal.
Namun, banyak yang merasa, justru sejak saat itu, sastra kehilangan ketajamannya. Ia menjadi alat propaganda negara, dijinakkan, diseleksi, dan dibungkam.
Sampai tahun 1998 tiba, dan Orde Baru roboh. Maka lahirlah Angkatan Reformasi, atau ada yang menyebutnya Angkatan 2000. Di sini tidak ada manifesto bersama. Tidak ada kredo. Hanya keberagaman. Ada Ayu Utami dengan novel Saman, yang bicara tubuh dan seksualitas secara frontal. Ada Djenar Maesa Ayu, Linda Christanty, Eka Kurniawan—yang menulis dalam ragam bentuk dan tema. Di angkatan ini, pasar mulai menjadi penentu. Sastra tak lagi bertanya, “apa fungsi sosialku?” melainkan “apa yang ingin kuceritakan?”
Dan kini, muncul sesuatu yang disebut Angkatan Puisi Esai, gerakan yang dimotori oleh Denny JA. Mereka menulis puisi yang panjang, naratif, dan penuh dengan data sosial. Kadang lebih mirip laporan jurnalistik ketimbang puisi. Di sinilah polemik meletus. Ada yang menyambutnya sebagai “pembaruan bentuk.” Ada pula yang mengecamnya sebagai “iklan sastra”.
Sapardi Djoko Damono, seorang penyair yang lebih suka diam ketimbang berdebat, pernah berkata, “angkatan-angkatan itu seringkali dibikin-bikin.” Memang. Siapakah yang berhak menunjuk bahwa seseorang adalah “angkatan ini” dan bukan “angkatan itu”? Seringkali kita menemukan satu penyair yang masuk ke dua angkatan, atau tak masuk ke mana-mana. Seperti Sapardi sendiri, di manakah ia mesti diletakkan?
Kadang saya berpikir, mungkin kita terlalu suka mengelompokkan. Padahal sastra berjalan lebih seperti arus sungai yang diam-diam. Tidak melulu maju, kadang juga memutar. Tidak semua penyair ingin disebut “angkatan”. Beberapa dari mereka hanya ingin disebut “penyair”.
Toh, puisi lahir dari kesendirian. Dari pertarungan antara aku dan dunia. Bukan dari kehendak menjadi bagian dari parade.
Maka angkatan, pada akhirnya, adalah semacam ilusi katalog. Berguna, tapi bukan kebenaran mutlak. Seperti label pada rak buku di perpustakaan: membantu mencari, tapi tak pernah menjelaskan isi buku itu sendiri.
Sejarah sastra Indonesia modern sesungguhny adalah sejarah dari upaya manusia menulis dirinya di tengah zaman yang berganti. Dari Angkatan Balai Pustaka hingga Angkatan Puisi Esai, kita menyaksikan lebih dari sekadar perubahan gaya, tetapi juga pergulatan ide, bahasa, dan identitas. Apakah angkatan-angkatan itu nyata? Mungkin ya. Mungkin pula tidak. Tetapi selama masih ada orang menulis, maka sejarah sastra Indonesia akan terus menulis dirinya sendiri.
*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah. Jatengdaily.com-st