in

Belajar Mendengar Kepada Seniman

Gunoto Saparie

Oleh: Gunoto Saparie

Suatu hari, seorang kawan bercerita tentang sebuah tarian tua dari kampungnya di Sulawesi yang kini dipertontonkan rutin dalam paket wisata eksklusif oleh sebuah perusahaan pariwisata asing. Penari-penarinya bukan penduduk setempat. Geraknya tak salah, tetapi nadanya lain. Ada sesuatu yang terlepas—seperti huruf yang tercerabut dari akar katanya.

Kita hidup dalam sebuah masa ketika segala yang bisa dijual, dijual. Termasuk budaya. Apalagi budaya. Namun yang lebih membingungkan dari segalanya adalah diamnya negara dalam menyusun pelindungnya sendiri. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, telah berjalan delapan tahun. Namun, tiga peraturan pelaksanaannya masih tertinggal di meja yang entah siapa penjaganya.

Yang pertama, dan yang paling mendesak, adalah Rancangan Peraturan Menteri tentang Tata Cara Izin Pemanfaatan Objek Pemajuan Kebudayaan oleh Industri Besar dan Pihak Asing. Namanya panjang, seperti daftar tamu di pesta yang tidak dihadiri empunya rumah. Padahal ini satu-satunya peraturan pelaksana yang secara eksplisit dimandatkan dalam tubuh UU tersebut. Sudah enam tahun terlambat. Bila ini sebuah pertunjukan, maka pemain utamanya belum juga naik ke panggung, sementara tirai sudah dibuka sejak lama.

Mengapa penting? Karena di sinilah tempat negara seharusnya berdiri di tengah-tengah: antara industri besar dan para pemilik pengetahuan lokal. Tanpa regulasi yang jelas, relasi kuasa miring ke satu sisi. Budaya menjadi komoditas, dan para pemiliknya jadi penonton dari jauh—kadang diundang, kadang tidak.

Rancangan kedua, tentang Pelindungan Objek Pemajuan Kebudayaan, juga belum hadir. Ini semacam pagar—bukan untuk membatasi, tapi untuk menjaga. Budaya, seperti juga ingatan, mudah goyah jika tidak dipagari. Ia bisa disalahpahami, direduksi, atau lebih buruk: diklaim. Dunia pernah menyaksikan batik menjadi sengketa, lagu daerah jadi milik asing. Kita belum belajar rupanya.

Rancangan ketiga adalah tentang Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu. Bayangkan sebuah bangsa yang tidak tahu pasti berapa banyak jenis alat musik tradisional yang dimilikinya. Atau tak punya daftar pasti bahasa daerah yang masih dituturkan. Pendataan bukanlah pekerjaan membosankan birokrat—ia adalah syarat awal pengakuan. Tanpa data, budaya mengapung, tanpa akar.

Goethe pernah menulis: hanya yang dikenali, bisa dicintai. Tetapi bagaimana bisa mencintai sesuatu yang tidak kita kenali—karena kita tak pernah mencatatnya, apalagi melindunginya?

Kita tahu, menulis peraturan bukan sekadar mengetik pasal-pasal. Ia membutuhkan kehendak politik, visi jangka panjang, dan keberanian untuk menempatkan budaya sebagai pusat, bukan aksesori. Tetapi waktu terus berjalan, dan yang tertunda bisa jadi terlupakan.

Sementara itu, para penari dari kampung di Sulawesi tadi mungkin masih menonton video turis menari versi budaya mereka. Mungkin mereka hanya tersenyum, mungkin mereka marah dalam diam. Atau mungkin mereka sudah berhenti peduli. Dan ketika itu terjadi, barangkali bukan hanya peraturan yang terlambat, tetapi juga negara.

Lahirnya Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan pada 2017 membawa satu terobosan besar yang nyaris luput dari keramaian: sistem perencanaan pembangunan di bidang kebudayaan yang bersifat bottom-up. Sebuah frasa yang di atas kertas mungkin terlihat teknokratis, tetapi sesungguhnya mengandung filsafat yang halus: bahwa budaya bukan sesuatu yang dibentuk oleh negara, melainkan dirawat oleh rakyat.

Di sinilah pemerintah belajar mendengar. Bukan hanya kepada seniman besar yang fotonya terpajang di galeri, tetapi juga kepada sinden di desa, dalang yang tinggal di rumah bambu, penutur bahasa ibu yang hanya dikenal dua puluh orang. Mereka diajak bicara, diajak menulis Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah—sebuah naskah yang bukan sekadar dokumen, tapi cermin dari denyut hidup kebudayaan lokal.

Harapannya jelas, agar program pemajuan kebudayaan yang kelak disusun pemerintah tidak lagi berbicara tentang “apa yang ingin negara berikan”, tetapi “apa yang benar-benar dibutuhkan oleh pelaku seni budaya di lapangan”. Dengan itu, kita berharap tak ada lagi bantuan alat musik yang dikirim ke daerah yang tak pernah memainkan musik itu. Tak ada lagi pelatihan menari di tempat yang sedang kehilangan bahasa. Tak ada lagi kebijakan budaya yang buta pada kenyataan.

Namun tentu, harapan selalu harus melewati jalan terjal. Kita tahu, mendengar bukan kemampuan alamiah bagi birokrasi. Ia perlu dilatih. Didorong. Dan dijaga dari godaan untuk kembali memutuskan dari atas. Bahwa partisipasi publik bukan seremoni, tetapi prinsip. Bahwa tak semua yang berasal dari pusat lebih tahu dari mereka yang hidup bersama warisan itu setiap hari.

Kita belum sampai. Tetapi kita sedang menuju. Dan mungkin, di tengah dunia yang semakin gaduh dan serba cepat, mendengar dengan sungguh-sungguh adalah bentuk paling radikal dari cinta.

Untuk pertama kalinya, suara dari bawah tidak hanya didengar, tapi juga diikuti. Kadang, perubahan besar dimulai dari langkah yang sangat kecil: pemerintah yang mau bertanya dan tidak buru-buru memberi jawaban.

*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah. Jatengdaily.com-st

What do you think?

Written by Jatengdaily.com

#KaburAjaDulu, Teriakan Sunyi Anak Muda Indonesia yang Merasa Kehilangan Ruang Tumbuh di Negerinya Sendiri

Kemensos Kebut Renovasi Sekolah Rakyat di Temanggung