Oleh: Gunoto Saparie
Di sebuah gang kecil di Jalan Taman Karonsih, Ngaliyan, Kota Semarang, seorang Ketua RT membuka map merah. Di dalamnya, bukan undangan hajatan, bukan pula daftar iuran sampah. Tetapi lembar-lembar petunjuk teknis penggunaan dana operasional RT. Nilainya: Rp25 juta per tahun, dimulai Agustus 2025. Sebuah jumlah yang dalam ukuran kampung cukup mengguncang: seperti arisan raksasa yang tiba-tiba dititipkan ke satu orang paling disegani di pojok kampung.
Uang itu tentu saja bukan hadiah. Ia bukan datang dari langit dan boleh dibagi rata lalu lenyap dalam kemeriahan lomba Agustusan atau rapat lingkungan yang tak berjejak. Uang itu datang bersamaan dengan sebuah pertanyaan pelik: Siapakah yang sebenarnya siap mengelolanya?

Di kota seperti Semarang, RT bukanlah institusi resmi negara. Ia tak tercantum dalam pasal-pasal konstitusi. Namun ia hadir nyata. Ia menangani tetangga yang melahirkan, menangani surat pengantar kematian, hingga keributan karena parkir. RT adalah satuan sosial terkecil yang bekerja tanpa hiruk-pikuk, dengan keikhlasan yang kadang tak dinilai sebagai pekerjaan. Maka ketika negara, lewat pemerintah kota, memasukkan angka dalam relasi ini, terjadi perubahan cara pandang.
Dana operasional RT, bagi sebagian, adalah bentuk pengakuan. Bagi sebagian lain, tantangan. Pengurus RT kini tak hanya mengatur ronda, tetapi juga mesti belajar laporan keuangan. Di sejumlah wilayah, pelatihan mulai dilakukan: tentang bagaimana membuat RAB, cara melaporkan belanja alat kebersihan, atau mendokumentasikan kegiatan. Ada formulir, ada bukti pengeluaran, ada sanksi jika menyalahi prosedur.
Dan seperti semua urusan negara, muncul juga yang tak tertulis: rasa canggung. Seorang Ketua RT di Purwoyoso, misalnya, mengaku gamang. Ia terbiasa memegang palu sidang rapat warga, tetapi kini ia harus memegang kas kecil yang diaudit. Ia pernah menjadi tukang kebun, kini ia harus belajar jadi bendahara.
Pemerintah kota tak tinggal diam. Dibentuklah tim pendamping, yang bertugas mendampingi dan memverifikasi perencanaan serta pelaporan dana RT. Ada pula sistem pengawasan berlapis: mulai dari kelurahan, kecamatan, hingga inspektorat. Tapi di luar itu, pengawasan sejati tetap berasal dari dalam kampung: dari tetangga yang bertanya, dari warga yang jeli melihat keganjilan. Dalam komunitas kecil, korupsi bukan hanya soal hukum, tetapi soal malu.
Yang menarik adalah tafsir “operasional”. Sebab kata itu bisa melebar: Apakah boleh untuk beli kipas angin di Balai RT? Bolehkah untuk pelatihan UMKM atau public speaking? Atau sekadar biaya fotokopi undangan kerja bakti? Di sinilah politik harian RT diuji, di tengah tarikan keinginan warga dan batasan aturan.
Uang 25 juta bukanlah jumlah yang mengubah struktur sosial. Tetapi ia bisa menjadi semacam kaca pembesar: memperlihatkan mana pengurus yang bekerja dengan cinta, mana yang dengan kalkulasi. Ia juga bisa menjadi perangsang keadaban baru: ketika warga belajar mempertanyakan, dan pengurus belajar menjelaskan.
Dalam pelajaran yang lebih luas, inisiatif ini adalah eksperimen desentralisasi yang paling mikro. Ketika republik memercayakan dana ke unit paling dasar, kita tak hanya bicara tentang efisiensi. Kita bicara tentang kedewasaan berdemokrasi. Sebab demokrasi tak selalu hadir dalam bilik suara lima tahunan. Ia hadir dalam daftar belanja terigu untuk perayaan 17-an, atau kuitansi pembelian cat dinding pos ronda.
Jika benar dilaksanakan dengan disiplin, transparansi, dan integritas, program ini bukan hanya akan memperkuat fungsi sosial RT, namun juga memperkuat akar dari republik itu sendiri. Dan mungkin kelak kita akan mengenang: bahwa demokrasi Indonesia pernah diperbaiki, bukan lewat pidato di televisi, tetapi lewat laporan keuangan sederhana yang ditulis dengan tangan bersih oleh Ketua RT di sebuah gang sempit Kota Semarang.
*Gunoto Saparie adalah Ketua RW IV Kelurahan Ngaliyan, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Jatengdaily.com-st