
SEMARANG (Jatengdaily.com) – Sebuah atmosfer penuh harapan seolah hadir dalam ruang virtual. Layar Zoom dipenuhi wajah-wajah penuh semangat dari berbagai penjuru Indonesia. Lebih dari 200 peserta—akademisi, mahasiswa, pelaku usaha mikro, hingga perwakilan instansi pemerintah—berkumpul dalam satu bingkai digital untuk mengikuti webinar nasional yang diadakan oleh Fakultas Teknologi Pertanian (FTP), Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang.
Webinar bertajuk “Inovasi Produk Lokal: Mengangkat Potensi Daerah Menuju Pasar Global” ini bukan sekadar diskusi ilmiah. Ia adalah sebuah ajakan—sebuah pengingat, bahwa di setiap jengkal tanah Indonesia, tersimpan kekayaan pangan yang menunggu disentuh sentuhan inovasi. Sebuah peluang besar untuk berdiri tegak, bukan hanya di pasar lokal, tetapi juga di panggung dunia.
Dalam sambutan pembukaan, Rektor Untag Semarang, Prof. Dr. Drs. Suparno, M.Si., membangkitkan kesadaran kolektif tentang pentingnya peran perguruan tinggi. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mengolah potensi daerahnya menjadi kekuatan ekonomi,” tegasnya. Ucapannya seakan membentangkan jalan makna: bahwa perguruan tinggi bukan hanya pabrik ilmu, tapi juga ladang lahirnya solusi bagi masalah pangan dan ekonomi bangsa.
Dua ahli hadir mengisi ruang diskusi dengan perspektif yang menggugah. Dr. Ir. Mercy Irda Riantiny Taroreh, S.TP., M.Si. dari Universitas Sam Ratulangi, Sulawesi Utara, membuka mata peserta tentang kekayaan pangan nusantara dari wilayah timur. Ia bercerita dengan bangga tentang sagu, pala, kopi Kotamobagu, hingga pisang goroho—buah lokal yang istimewa karena hanya dapat dikonsumsi setelah diolah. “Ada yang bilang pisang goroho itu tak biasa, tapi justru di situlah letak potensinya,” ujarnya.
Lewat inovasi, ia telah mampu mengubah pisang sederhana itu menjadi yogurt, tepung bernilai tinggi, mie sehat, hingga biskuit bergizi. Sebuah bukti bahwa bahan pangan lokal bisa naik kelas—asal disentuh riset dan kreativitas.
Sementara itu, Dr. Pepita Haryanti dari Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), menambahkan perspektif penting tentang keberlanjutan. “Inovasi produk lokal bukan hanya soal ekonomi, tapi juga identitas dan keberlanjutan,” jelasnya. Ia menunjukkan bagaimana ubi kayu, bahan yang dianggap ‘biasa’, ternyata bisa diolah menjadi pangan fungsional bernilai tinggi. Ia menantang peserta untuk melihat pangan lokal lebih dari sekadar bahan konsumsi—melainkan sayap yang bisa menerbangkannya ke tingkat global.
Webinar semakin hidup ketika sesi tanya jawab dibuka. Mahasiswa FTP Untag Semarang antusias berbagi ide, bertanya, dan bertukar wawasan. Ada yang bertanya tentang peluang bisnis kuliner lokal di era digital, ada pula yang mengusulkan gagasan inovasi pangan berbasis rempah Nusantara. Suasana interaktif itu menjadi bukti bahwa generasi muda siap mengambil tongkat estafet untuk menjaga kearifan lokal sambil melangkah ke masa depan.
Di penghujung acara, satu hal menjadi jelas: Inovasi bukan hanya soal teknologi atau bisnis. Ia adalah cara untuk merawat warisan, mengangkat potensi, dan menyuarakan identitas bangsa. Dari webinar ini, bangkit harapan bahwa pangan lokal Indonesia akan menemukan tempat yang layak di pasar global—dengan semangat kolaborasi, keberanian berinovasi, dan rasa cinta pada negeri sendiri. St

