Fenomena Childfree: Tantangan Baru bagi Masa Depan Generasi

img_1758751317095

Oleh: Aisyah Asy Syifaa Un Naajibah

Di tengah kampanye global untuk melindungi dan menyejahterakan anak, muncul fenomena yang kian marak: pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak (childfree).

Keputusan ini bukan karena masalah kesuburan, tetapi merupakan pilihan sadar untuk tidak memiliki keturunan, baik secara biologis maupun melalui adopsi.

Kajian Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 berjudul “Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia” menyebutkan bahwa sekitar 8,2% atau sebanyak 71 ribu perempuan Indonesia berusia 15-49 tahun tidak ingin memiliki anak atau childfree.

BPS menyimpulkan bahwa prevalensi perempuan yang tidak ingin memiliki anak kemungkinan akan mengalami peningkatan di tahun berikutnya sejalan dengan kecenderungan peningkatan persentase perempuan childfree dalam empat tahun terakhir.

Fenomena childfree seiring dengan meningkatnya angka pasangan usia subur yang memilih menunda kehamilan. BPS mencatat bahwa sejak empat tahun terakhir, penggunaan alat kontrasepsi atau cara lain untuk mencegah kehamilan terus meningkat.

Pada 2020, tercatat 56,04% pasangan usia subur menunda kehamilan. Angka ini sempat turun menjadi 55,06% pada 2021, namun kembali naik menjadi 55,36% pada 2022 dan 55,49% pada 2023. Hingga 2024, persentasenya mencapai 56,26%, tertinggi dalam lima tahun terakhir.

Salah satu pemicu terbesar tren childfree adalah kekhawatiran finansial. Data yang dihimpun Litbang Kompas (2024) menunjukkan bahwa tingginya biaya pengasuhan, pendidikan, dan kebutuhan sehari-hari menduduki posisi teratas alasan pasangan memilih untuk tidak memiliki anak.

Analisis ini dilakukan bersama konsultan komunikasi SGH dan Teleskop.id Data Analytic dengan meneliti 937 konten media sosial X dan Instagram yang memuat kata childfree pada 16–21 September 2024. Dari jumlah tersebut, 69 konten berisi alasan memilih childfree.

Hasilnya, 20,3% menyebut faktor finansial, diikuti alasan ingin fokus pada kebahagiaan diri sendiri dan pasangan (17,4%), serta ketidakpuasan terhadap kondisi negara dari segi politik, ekonomi, pemerintahan, dan pendidikan (15,9%).

Meski semakin banyak pasangan yang memilih childfree, keputusan ini masih menuai pro dan kontra di Indonesia. Masyarakat cenderung memandang peran perempuan identik dengan menjadi ibu dan mengasuh anak. Norma tradisional yang mengakar membuat pasangan yang tidak memiliki anak sering dianggap melanggar kewajiban sosial.

Meskipun merupakan hak individu, fenomena childfree akan berdampak pada masa depan bangsa. Pengalaman negara Jepang dan Korea Selatan menunjukkan bahwa penurunan angka kelahiran dapat menyebabkan berkurangnya tenaga kerja yang produktif serta meningkatkan beban negara dalam menanggung kesejahteraan para lansia.

Dalam jangka pendek, keputusan childfree bisa mengurangi beban finansial keluarga dan pemerintah. Namun, dalam jangka panjang, fenomena ini berpotensi mengganggu struktur demografi.

Di Indonesia, orang tua lanjut usia yang sudah tidak produktif biasanya menjadi tanggungan anak-anak mereka. Tanpa anak, kesejahteraan orang tua akan menjadi tanggung jawab negara.

Apabila tren childfree semakin meningkat, pemerintah harus merancang strategi untuk mengatasi kemungkinan penurunan populasi yang produktif dan meningkatnya beban sosial di masa mendatang.

Fenomena childfree di Indonesia mencerminkan perubahan sudut pandang generasi muda mengenai pernikahan dan rumah tangga.

Di satu sisi, fenomena ini mencerminkan kesadaran tentang persiapan mental dan keuangan sebelum menjadi orang tua. Namun jika tidak diwaspadai, tren ini dapat berdampak pada pertumbuhan populasi, keseimbangan demografi dan ekonomi dalam jangka panjang.

Aisyah Asy Syifaa Un Naajibah
Pelajar kelas XII MAN Insan Cendekia Pekalongan
NISN: 0081169650