Festival Cheng Ho 2025, Jejak Sejarah, Irama Budaya, dan Semangat Persatuan di Semarang

Suasana Semarang berubah menjadi lautan manusia pada Minggu pagi (27/7), saat ribuan orang tumpah ruah mengikuti kemeriahan Festival Cheng Ho 2025.Foto:dok
SEMARANG (Jatengdaily.com)– Suasana Semarang berubah menjadi lautan manusia pada Minggu pagi (27/7), saat ribuan orang tumpah ruah mengikuti kemeriahan Festival Cheng Ho 2025.
Dari Klenteng Tay Kak Sie di jantung Pecinan, iring-iringan budaya berarak menuju Klenteng Agung Sam Poo Kong, menapaki jejak legendaris sang pelaut besar, Laksamana Cheng Ho. Tahun ini menjadi momen istimewa—620 tahun sejak kedatangannya ke Nusantara—sekaligus perayaan kebhinekaan yang mengakar kuat di Kota Atlas.
Tak kurang dari 15 klenteng dari berbagai kota ikut memeriahkan kirab budaya yang menyusuri jalanan Kota Lama hingga Simongan. Diperkirakan 4.000 hingga 5.000 peserta ambil bagian dalam arak-arakan yang memadukan atraksi seni, musik tradisional, barongsai, liong, hingga replika kapal jung Tiongkok tempo dulu. Di sepanjang rute, masyarakat tampak antusias menyambut, berfoto, hingga larut dalam atmosfer yang menghidupkan kembali semangat persaudaraan antarbudaya.
Di halaman Klenteng Sam Poo Kong, panggung budaya dan bazar UMKM lokal menjadi pelengkap suasana. Aroma kuliner khas, dari lumpia hingga kue keranjang, bercampur wangi dupa dan tabuhan genderang, menyatu dalam harmoni. Festival ini bukan hanya selebrasi, tetapi juga ruang silaturahmi lintas etnis, lintas iman, dan lintas generasi.
Wali Kota Semarang, Agustina, yang hadir menyapa warga, menyampaikan kebanggaannya. Ia menyebut perayaan tahun ini jauh lebih semarak dan menunjukkan bahwa Festival Cheng Ho telah tumbuh menjadi magnet budaya yang membawa dampak nyata.
“Pesertanya lebih banyak, atmosfernya luar biasa, dan masyarakat begitu antusias. Ini bukti bahwa kita bisa merayakan sejarah dengan cara yang membanggakan dan inklusif,” ujar Agustina dengan semangat.
Ia juga mengungkap rencana ambisius untuk tahun-tahun mendatang: memperkuat infrastruktur, menghadirkan narasi sejarah yang lebih hidup, serta menjadikan Semarang tuan rumah festival budaya berskala internasional pada 2027. Salah satu langkah nyatanya adalah pembangunan kembali jembatan penghubung rute karnaval serta rencana pendirian Museum Maritim Cheng Ho di kawasan Kota Lama.
“Kita ingin tak hanya meriah, tapi juga mendalam secara historis. Kita ingin wisatawan datang bukan hanya untuk melihat, tapi juga belajar dan merasakan spirit Cheng Ho yang penuh perdamaian,” tegasnya.
Dukungan juga datang dari Ketua Yayasan Sam Poo Kong, Mulyadi Setiakusuma, yang menyebut festival ini sebagai simbol semangat kolaborasi antarwarga dan antarinstansi.
“Kami bersyukur atas dukungan luar biasa dari berbagai pihak—pemerintah pusat, Pemprov Jateng, hingga Ibu Wali yang hadir langsung. Ini bukan hanya festival komunitas Tionghoa, tapi milik semua warga Semarang,” kata Mulyadi.
Ia menegaskan bahwa figur Cheng Ho bukan hanya legenda maritim, tetapi juga lambang toleransi dan akulturasi. Dari kuliner seperti lumpia hingga tradisi gotong royong, semua menjadi bukti bahwa Semarang telah lama hidup dalam semangat keberagaman yang damai.
“Semakin kita rawat bersama warisan ini, semakin kokoh fondasi kota kita—dalam budaya, ekonomi, dan nilai kemanusiaan,” tambahnya.
Kehadiran tokoh nasional seperti utusan khusus presiden, Prof. Dr. Purnomo Yusgiantoro, juga memberi energi baru bagi panitia. Ini pertanda bahwa Festival Cheng Ho bukan sekadar agenda lokal, tapi telah menjadi bagian penting dari diplomasi budaya Indonesia di mata dunia.
Dengan gemerlap lampion, semerbak dupa, dan senyum ribuan wajah yang larut dalam perayaan, Festival Cheng Ho 2025 meneguhkan Semarang sebagai kota yang tak sekadar mengenang sejarah, tetapi merajut masa depan yang lebih inklusif dan membahagiakan.
Karena di tengah arus globalisasi yang cepat, Semarang membuktikan: harmoni adalah identitas paling berharga .St