Gen Z dan Etika Akademik : Ujian di Era Distraksi Digital

Oleh : Edi Widodo
Dosen Sistem Informasi, Universitas Semarang

KITA hidup di masa di mana Gen Z yang merupakan populasi dominan di kampus hari ini bernapas dalam udara digital yang sama sekali asing bagi generasi pendahulunya (dosen). Smartphone bukan sekadar alat, tapi telah menjadi bagian dari aktualisasi diri. Media sosial bukan sekadar hiburan, tetapi dia adalah ruang hidup tempat mereka berinteraksi. Fenomena ini membawa konsekuensi serius yang patut kita renungkan, bagaimana gempuran teknologi ini mengikis etika akademik di pendidikan tinggi?

Etika akademik, dimana kejujuran, integritas, dan tanggung jawab adalah nyawa pendidikan. Namun, realitas saat ini memperlihatkan sebuah paradoks, akses informasi tanpa batas justru berpotensi mengaburkan batas kejujuran. Kebiasaan copy-paste, diskusi jawaban ujian via group chat, atau plagiarisme “tak disengaja” kerap muncul dari kebiasaan mengonsumsi konten secara instan, bahkan lebih parah lagi, mengerjakan ujian bermodalkan AI generatif tanpa membaca apa isi ujian tersebut. Apakah kita sedang memproduksi generasi yang cerdas secara teknis, tetapi rapuh secara integritas?

Bagi mahasiswa Gen Z, dunia digital adalah habitat alamiah mereka. Membuka Google saat diskusi kuliah dianggap collaborative learning. Berbagi jawaban tugas dianggap kerjasama. Menggunakan ChatGPT merupakah keahlian mengkonstruksi prompt. Sementara bagi banyak dosen, praktik itu adalah pelanggaran integritas akademis.

Dalam proses perkuliahan, distraksi digital menggerogoti kedisiplinan. Notifikasi media sosial di tengah kuliah, godaan multitasking antara catatan kuliah dan TikTok, atau mengerjakan tugas sambil live streaming semua ini mengaburkan garis sakral antara ruang belajar dan hiburan.

Dosen kerap dihadapkan pada pilihan sulit: melarang teknologi akan dianggap kuno dan tidak menyesuaikan perkembangan jaman atau membiarkannya terjadi dengan menanggung risiko kecurangan. Perbedaan persepsi ini bukan sekadar masalah aturan. Ini adalah benturan nilai antara generasi yang dibesarkan dengan kebebasan digital (digital natives) dan pendidik penjaga tradisi akademik.

Kampus harus mulai mencari jalan terbaik, untuk menjadi jembatan kesenjangan pola fikir antara dosen dan mahasiswa, karena melarang total teknologi bukanlah solusi terbaik, teknologi adalah sebuah keniscayaan, maka hal yang dibutuhkan adalah,

Dialog antar generasi, Kampus harus menjadi ruang diskusi terbuka antara dosen dan mahasiswa untuk menyelaraskan persepsi definisi “kecurangan” di era digital. Literasi Etika Digital, setiap mata kuliah harus memberikan muatan pendidikan etika akademik dan harus melebur dalam kurikulum pembelajaran. Keteladanan Proaktif, dosen harus menjadi role model dalam keteladanan etika akademis dalam penggunaan teknologi untuk proses pembelajaran.

Tantangan ini bukan tentang “benar-salah”, melainkan tentang adaptasi nilai. Jika kampus gagal memahami alam pikir Gen Z, aturan etika akademik akan jadi monumen yang terabaikan oleh pergerakan jaman. Sebaliknya, jika mahasiswa mengabaikan esensi integritas, gelar sarjana hanya akan menjadi sertifikat kosong tanpa arti.

Masa depan pendidikan kita diuji, bisakah kita menggunakan kemajuan teknologi tanpa mengorbankan ruh kejujuran akademik? Jawabannya terletak pada kesediaan kedua belah pihak untuk bertemu mencari titik tengah, mengakui bahwa gawai boleh ada di tangan, tetapi integritas harus tetap ada di dalam hati. Jatengdaily.com-st