Indahnya Paket Kebijakan Ekonomi Baru

gunoto30

ADA sebuah kata yang belakangan semakin sering muncul dalam setiap pidato pejabat negara: percepatan. Kata itu meluncur dengan mantap dari bibir Menko Perekonomian, disambung oleh Menteri Keuangan, di hadapan wartawan di Jakarta, 12 September lalu.

Percepatan pembangunan, percepatan program, percepatan manfaat. Seolah yang lambat sudah tak lagi ditoleransi. Seolah negeri ini hanya butuh satu hal: cepat.

Tetapi, cepat menuju apa? Percepatan yang bagaimana?
Pemerintah, dalam suara Airlangga Hartarto dan Purbaya Yudhi Sadewa, menegaskan paket-paket kebijakan ekonomi baru.

Ada janji magang bagi lulusan baru yang sering tercekat di gerbang pasar kerja. Ada perpanjangan bantuan pangan yang, seperti oase singkat, menunda lapar beberapa bulan.

Ada rencana memperluas insentif pajak, hingga perlindungan jaminan sosial untuk ojek online, pekerja lepas, mereka yang sehari-hari hidup di jalan. Bahkan ada fasilitas BPJS Ketenagakerjaan untuk membantu kepemilikan rumah; sebuah mimpi yang sering hanya jadi angan bagi kelas pekerja urban.

Semua itu terdengar indah, dalam satu konferensi pers. Tetapi seperti setiap janji yang datang dari podium, kita tak bisa menahan diri untuk bertanya: seberapa jauh antara kata percepatan dan kenyataan?

Ada sebuah ironi kecil dalam kebijakan publik: yang sering dijual adalah waktu. Pemerintah menjanjikan percepatan, seperti sebuah kereta yang sudah dijadwalkan berangkat.Padahal, di ruang tunggu, publik sering menunggu jauh lebih lama dari yang dijanjikan.

Kita pernah mendengar jargon serupa di masa lalu. Pada 1970-an, pembangunan disebut turbo. Pada 1990-an, jargon reformasi struktural meluncur dengan bahasa teknokrat. Kini, percepatan jadi mantra baru. Kata itu sederhana, nyaris seperti slogan iklan. Dan seperti iklan, ia menjual harapan lebih dulu, hasilnya belakangan.

Apakah rakyat percaya?
Program magang, misalnya. Setiap tahun, ratusan ribu sarjana lahir. Banyak dari mereka menemui pasar kerja yang sempit, penuh syarat, dan seringkali menuntut pengalaman.

Magang disebut jalan keluar. Tetapi kita tahu, magang bisa jadi ruang antara: tak jelas apakah itu jembatan menuju kerja tetap, atau hanya cara baru perusahaan mendapat tenaga murah.

Bantuan pangan juga demikian. Ia memberi jeda, tapi tidak menyelesaikan masalah struktur harga, distribusi, atau daya beli. Ia seperti obat penghilang rasa sakit: melegakan sementara, tapi tidak menyembuhkan.

Perluasan insentif pajak pun mengundang pertanyaan. Kepada siapa ia diberikan? Apakah benar menyentuh pelaku kecil, atau lagi-lagi lebih bermanfaat bagi perusahaan besar yang sudah kuat?

Yang menarik adalah rencana jaminan sosial untuk pekerja ojek online. Barangkali ini salah satu kebijakan yang paling dekat dengan denyut hari-hari urban Indonesia. Di lampu merah, di terik siang, di malam yang mendung, ribuan motor hijau atau oranye itu melintas. Mereka bukan pegawai tetap, bukan karyawan dengan kontrak, tapi denyut ekonomi digital yang tak bisa diabaikan.

Dengan jaminan sosial, pemerintah seakan hendak mengatakan: mereka juga bagian dari republik, layak dilindungi. Namun di situ pula letak problemnya. Pekerja lepas tetap berada di wilayah abu-abu: bukan pegawai, bukan wirausaha penuh.

Mereka disandera oleh algoritma, tapi juga oleh kebutuhan sehari-hari. Memberikan jaminan separuh iuran, seperti yang dijanjikan, barangkali hanya langkah kecil.

Apakah cukup?
Kebijakan rumah dan renovasi melalui BPJS Ketenagakerjaan juga terdengar menggiurkan. Siapa yang tak ingin punya rumah di kota besar? Tetapi harga tanah dan rumah sudah melambung jauh di luar jangkauan gaji rata-rata. Kredit perumahan seperti menuntut separuh hidup untuk melunasinya.

Cash for work, uang tunai untuk kerja di sektor perhubungan dan perumahan, pun muncul dalam daftar. Sekilas, ini seperti program padat karya di masa lalu. Tapi kita tahu, padat karya adalah solusi darurat, bukan transformasi.

Ia memberi uang, tapi seringkali tidak memberi keterampilan jangka panjang.
Lalu datanglah sebuah nama baru: Tim Akselerasi Program Prioritas. Sebuah tim yang akan memastikan semua berjalan lebih cepat.

Di titik ini, saya teringat lelucon lama tentang birokrasi: ketika ingin mempercepat sesuatu, pemerintah membentuk tim baru. Tim yang punya rapat, punya sekretariat, punya laporan berkala, dan pada akhirnya, punya alasan untuk menjelaskan kenapa percepatan itu justru tertunda.

Barangkali ini memang sinis. Tetapi sejarah kita tak jarang menunjukkan begitu.

Kita tentu tidak bisa begitu saja menolak semua rencana ini. Setiap kebijakan adalah niat baik, meski belum tentu baik hasilnya. Dan setiap niat baik, meski sering tersandung, layak dicatat.
Tetapi catatan lain pun tak bisa diabaikan.

Negara ini pernah mencoba banyak jalan keluar. Dari Trilogi Pembangunan Orde Baru hingga Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di era SBY.

Dari reformasi pajak hingga bansos digital. Dari janji rumah murah hingga kartu sakti. Semua lahir dengan tekad mempercepat.

Pertanyaannya, mengapa masalah-masalah lama tetap ada? Mungkin jawabannya ada pada satu hal yang jarang disebut dalam konferensi pers: struktur.

Produktivitas tak hanya soal insentif pajak atau magang. Ia juga soal pendidikan yang merata, riset yang hidup, birokrasi yang tidak korup. Perlindungan sosial tak hanya soal jaminan iuran, tapi juga soal bagaimana negara mengatur hubungan kerja di era platform digital.

Perumahan tak hanya soal kredit murah, tapi juga soal tata ruang, spekulasi tanah, dan relasi antara pusat-pinggiran kota.

Tanpa menyentuh struktur, percepatan hanya seperti menekan pedal gas pada mobil yang rodanya masih terjebak lumpur. Ada suara bising, ada debu, ada gerak kecil, tapi kendaraan tetap tak melaju jauh.

Apakah pemerintah menyadari itu? Barangkali. Tetapi politik sering kali menuntut sesuatu yang lebih sederhana: hasil cepat yang bisa diumumkan, dipotret, dijadikan narasi. Percepatan, dalam hal ini, bukan sekadar kebijakan ekonomi. Ia adalah strategi politik.

Rakyat mungkin tak mengingat detail teknis insentif pajak, tapi mereka bisa melihat headline: “Pemerintah Percepat Pembangunan.” Dan di situlah kata percepatan menemukan fungsinya.

Ia bukan hanya janji, tapi juga citra.
Namun sejarah juga mengingatkan: citra tak bisa menutupi kenyataan terlalu lama. Ketika harga beras naik, ketika anak muda tetap sulit mencari kerja, ketika rumah tetap tak terjangkau, maka kata-kata indah itu akan kehilangan gaungnya.

Pada akhirnya, rakyat tak hidup dari percepatan, tapi dari kenyataan sehari-hari. Dari harga cabai di pasar, dari tarif kos-kosan, dari ongkos bensin yang naik-turun.

Barangkali, dalam arti yang lebih sederhana, pembangunan bukan soal percepatan. Ia soal arah. Dan arah itu bukan ditentukan oleh betapa cepatnya kita melangkah, namun ke mana kita hendak pergi. Kita bisa berlari, tetapi jika jalannya salah, kita hanya semakin jauh dari tujuan.

Maka, dari konferensi pers 12 September itu, yang tersisa barangkali bukan deretan janji teknis. Tapi pertanyaan mendasar: apakah percepatan ini punya arah yang jelas? Atau kita hanya sedang dikejar waktu, berlari agar tampak bergerak, tanpa benar-benar tahu hendak ke mana?

Kata percepatan memang enak didengar. Ia singkat, tegas, modern. Tetapi sejarah bangsa ini, seperti juga hidup sehari-hari, jarang tunduk pada slogan.

Mungkin, yang kita butuhkan bukan sekadar percepatan, melainkan kesabaran yang berpikir panjang. Sebuah keberanian untuk menyentuh struktur, bukan sekadar menambal permukaan. Sebuah politik yang lebih dari sekadar citra.

Sebab, yang lambat itu bukan rakyat. Yang lambat itu, sering kali, negara itu sendiri.

*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah. Jatengdaily.com-St